oleh: Baiq Lidia Astuti SPd
Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan
GEBYAR pesta kembang api dimalam pergantian tahun baru, menjadi gong yang meresmikan kenaikan pajak menjadi 12%. Meskipun pemerintah berkelit, bahwa kenaikan pajak yang terjadi hanya diperuntukan untuk barang mewah. Meski PPN 12 persen secara resmi diumumkan untuk berlaku pada 1 Januari 2025, penerapan penuh baru dimulai pada 1 Februari 2025, memberikan kesempatan bagi konsumen untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru ini.
Apakah pajak naik ataupun tidak naik untuk barang barang kebutuhan pokok, sejatinya sama sama sudah menjadi beban bagi rakyat. Faktanya meskipun katanya kenaikan pajak hanya untuk barang mewah, kenaikan harga harga kebutuhan pokok pun tidak bisa dihindarkan, karena rakyat kembali menghadapi dunia nyata dimana kehidupan yang sudah sulit semakin terbelit dengan kebijakan penguasa yang tidak memihak pada kepentingan rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani merasa bangga atas kinerja jajarannya di Direktorat Jendral Perpajakan (Ditjen Pajak) sebab penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus meningkat. Ia pun memberikan apresiasi yang tinggi kepada Ditjen Pajak lantaran dianggap telah berhasil menjadi tulang punggung negara.
Faktanya adalah peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan ini sejatinya menunjukan peningkatan pungutan atas rakyat. Sudahlah penghasilan tidak menentu, rakyat masih harus dibebani pungutan pajak yang makin hari nominalnya makin besar, dan jenisnya makin banyak.
Target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 diusulkan sebesar Rp2.189,3 triliun. Ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp2.000 triliun. Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025 menunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami kenaikan pada 2025 menjadi Rp2.189,3 triliun.
Dalam sistem Kapitalis, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara yang paling besar dalam APBN. karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Tingginya pajak dengan segala variasinya sungguh mencekik dan mengimpit kehidupan rakyat. Untuk kehidupan sehari-hari saja rakyat harus berjibaku mengais rezeki. Di tengah kesulitan itu, mereka harus membayar pajak atas rumah dan lahan yang mereka tinggali, kendaraan yang mereka beli, kebutuhan pokok yang mereka beli, juga pajak penghasilan mereka yang tidak seberapa. Semua komponen itu dikenai pajak. Belum lunas rasanya semua beban hidup, pemerintah malah membebani rakyat dengan pajak yang bejibun. Disisi lain beban rakyat untuk membiayai pendidikan dan kesehatan juga makin berat. Lalu dimana keberpihakan terhadap rakyat?
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara
Pungutan pajak jelas mneyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Wajar jika negara dengan gigih mendorong rakyat membayar pajak, bahkan mempropagandakan bahwa warga negara yang baik adalah yang taat pajak.
Berbagai lapisan masyarakat, mulai buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN. Ada berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan pajak akan menurunkan inovasi teknologi. Namun pemerintah tetap menaikkan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN. Lalu suara siapa yang di dengar pemerintah, jika suara rakyat di abaikan?
Solusi untuk mengatasi kezaliman pajak adalah kembali kepada syariat Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariat Islam secara kafah, perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.
Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme dimana barang-barang dikenakan pajak, termasuk rumah, kendaraan, bahkan makanan. Nabi saw. dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak ada riwayat sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya.
Dalam Islam, memerintahkan penguasa negara untuk mengurusi rakyat dan memudahkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokok dan komunalnya dalam rangka ketaatan pada Allah. Negara mengelola sumber daya alam yang hasilnya digunakan untuk mengurusi rakyat, termasuk di dalamnya pendidikan dan kesehatan yang gratis, serta menjamin keamanan rakyat.
Jadi, dengan cara pandang Islam tersebut, jika sumber daya alam Indonesia yang berlimpah dikelola sesuai dengan perintah Allah, maka dapat menjadi sumber APBN yang besar yang mampu mengurusi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyat.
Dalam Islam, pajak bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan negara, bahkan dapat dikatakan merupakan alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara sedang genting. Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Ia hanya dipungut saat kas negara kosong. Manakala problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan.
Ketika kas negara kosong untuk memenuhi pengeluaran yang wajib bagi negara dan umat, contohnya kewajiban yang dibebankan kepada negara dan umat adalah pembiayaan jihad, pembangunan industri senjata, nafkah fakir dan miskin, membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim, dan guru. Juga pembiayaan kondisi darurat, seperti gempa, banjir, topan, tsunami, invasi musuh, dan sebagainya.
Pemerintah berhak memungut pajak terhadap warganya dengan syarat ia seorang warga negara muslim. Artinya, tidak diwajibkan bagi warga negara nonmuslim. Ia juga harus dari kalangan orang yang kaya atau mampu, itu pun dari kelebihan harta yang mereka miliki, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu, beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat. Sehingga tidak boleh dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.
Sudah seharusnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan dari Rasulullah SAW tentang pemimpin yang menyusahkan atau memberatkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi.
Rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya”. Wallahu A’lam