Oleh : Paulus Mujiran
Pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata, pegiat parenting keluarga
Dalam sebuah kelas parenting terhadap ibu dan pengasuh anak, saya meminta mereka membuat daftar 5 keinginan orang tua pada anak di pagi hari ketika anak bangun dari tidur. Kemudian orang tua menulis keinginan mereka terhadap anak : anak bangun pagi, cuci muka, sholat, mandi, sarapan dan berangkat sekolah. Lalu saya bertanya apa yang orang tua lakukan ketika anak tidak melaksanakan keinginan tersebut.
Mereka menjawab ada yang diguyur dengan air, dibangunkan dengan suara keras, diseret dari tempat tidur, mengomel sambil terus membangunkan anak. Kemudian saya meminta orang tua menulis lagi keinginan pada anak ketika anak mereka sudah berusia 20 tahun. Orang tua pun menulis : anak yang saleh, rajin, sukses, hormat kepada orang tua, sayangi teman. Pertanyaan saya lanjutkan andai orang tua ketika membangunkan anak mempergunakan cara-cara seperti itu apakah akan diperoleh anak seperti yang mereka inginkan.
Mereka menjawab : tidak. Hari ini banyak orang tua direpotkan dengan bagaimana menjadikan anak disiplin namun tanpa melakukan kekerasan. Kekerasan terjadi karena keinginan orang tua untuk mencapai keinginan jangka pendek seperti bangun pagi berbenturan dengan keinginan orang tua menggapai keinginan jangka panjang. Orang tua sering beranggapan jika anak tidak dibiasakan bangun pagi, mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah anak akan cenderung bandel dan tidak penurut. Anak-anak pun akan gagal mencapai cita-citanya.
Maka segala cara dilakukan orang tua setiap pagi untuk menegakkan aturan kepada anak. Dan anak harus menaati aturan yang dibuat orang tua. Di saat yang sama orang tua ingin anaknya kelak menjadi anak yang saleh, penurut, disiplin dan berhasil dalam belajar. Menurut para orang tua, mereka sepakat jika anak setiap hari menghadapi omelan bahkan tindakan kasar dari orang tua, anak akan berkembang menjadi anak yang mbandel dan tidak menurut.
Ada banyak alasan mengapa orang tua lebih suka mempergunakan kekerasan dalam mendidik anak. Pertama, sebagian besar orang tua dididik dengan cara-cara serupa pada masa lalunya dan dianggap berhasil. Banyak dari antara kita baik sebagai guru, orang tua dengan bangga mengatakan bisa menjadi seperti ini karena cara-cara keras yang ditanamkan guru dan orang tua mereka pada masa lalu. Dalam anggapannya, kekerasan mampu membentuk karakter mereka sehingga tahan banting dalam menghadapi setiap persoalan.
Kedua, banyak orang tua tidak mempunyai cukup pengetahuan/pengalaman mendisiplinkan anak selain dengan kekerasan. Bagi orang tua, satu-atunya menjadikan anak penurut ialah dengan ungkapan fisik, psikis, verbal yang bernuansa kekerasan. Anak-anak tidak belajar membaca reaksi marah orang tua ketika keinginan terhadap anak tidak terpenuhi.
Ketiga, tidak banyak orang tua memiliki kesempatan hadir dalam kelas ke orangtuaan atau yang dalam bahasa sekarang dikenal dengan kelas pengasuhan atau kelas parenting. Model pengasuhan yang mereka lakukan berasal dari yang mereka lihat dan alami dari orang tua atau kakek dan nenek mereka. Tak banyak pengetahuan dan keterampilan yang berkembang sekalipun jaman terus berkembang.
Disiplin positif
Penulis ingin berbagi salah satu kiat yang dikembangkan penulis di kelas pengasuhan anak yakni konsep disiplin positif. Disiplin positif adalah pendekatan yang memfokuskan pada tingkah laku positif anak. Pendekatan disiplin positif mengajak orang tua menyadari dan meyakini, bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah tingkah baik dan tingkah laku buruk.
Disiplin positif adalah proses untuk pengembangan diri dan pembentukan karakter dengan cara yang efektif dan menetap. Metode ini fokus pada kekuatan positif anak. Tujuannya menghasilkan anak yang bertanggung jawab mengelola perilaku mereka sendiri dan tidak bergantung pada orang tua mengatur perilaku mereka. Dalam mengembangkan disiplin positif anak akan belajar konsekwensi alami yang dikerjakan anak.
Ketika anak malas bangun pagi, melaksanakan sholat, mandi dan berangkat ke sekolah anak tahu resikonya terlambat masuk sekolah. Ketika terlambat anak tidak diijinkan masuk kelas, harus menghadap kepala sekolah, dimarahi, buru-buru di jalan yang bisa menyebabkan kecelakaan, lupa membawa pekerjaan rumah atau tidak konsentrasi selama pelajaran. Anak akan belajar konsekwensi dari perilakunya yang salah. Orang tua lebih mudah menetapkan aturan-aturan yang disepakati bersama dengan anak tanpa harus melakukan kekerasan.
Konsekwensi alami adalah akibat yang akan diperoleh anak sebagai hasil dari perilakunya yang salah tanpa orang tua melakukan apapun terhadap anak. Selain konsekwensi alami anak juga belajar konsekwensi logis dari tindakan yang salah. Ketika anak sering terlambat sekolah maka nilainya akan jelek karena tidak fokus selama pelajaran. Sedangkan konsekwensi logis adalah konsekwensi yang disepakati oleh orang tua dan anak sebagai akibat yang diterima anak atas perilakunya yang salah.
Disipin positif mengajari anak untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Pendidikan karakter lebih mudah dengan menerapkan disiplin positif. Mereka juga tahu konsekwensi atas tindakan tersebut. Dalam kehidupan kita belakangan ini terutama di era instan banyak orang tidak paham konsekwensi tindakan dan akibatnya bagi orang lain. Media sosial menjadi pelampiasan kemarahan, sumpah serapah bahwa yang kita lakukan dapat mempengaruhi/merugikan orang lain. Akibatnya persekusi pun ditunai. Banyak sumpah serapah keluar tanpa ada yang bertanggung jawab.
Racun di media sosial menyebabkan orang kehilangan empati kepada sesama. Disiplin positf mengajari anak bertindak sekaligus bertanggung jawab. Kita sepakat kebiasaan baik dalam berbangsa dan bernegara akarnya dari keluarga. Cara orang tua menginternalisasi nilai-nilai kehidupan kepada anak anak berbuah keluar. Buah yang terpancar adalah nilai-nilai yang pernah ditanam.
Cara ini barangkali dapat menjadi solusi di tengah masih maraknya kekerasan maupun tayangan media sosial yang kian kurang bertanggung jawab. Persekusi dan bully di media sosial atau dalam hidup nyata tidak perlu terjadi manakala memahami cara melakukan pendisiplinan tanpa melakukan kekerasan.