Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Kisah Penulis Film Jendela Seribu Sungai, Miranda Telusuri Hutan Jam 1 Dihihari Hingga Bujuk Balian Agar Memberikan Mantra

×

Kisah Penulis Film Jendela Seribu Sungai, Miranda Telusuri Hutan Jam 1 Dihihari Hingga Bujuk Balian Agar Memberikan Mantra

Sebarkan artikel ini
IMG 20230621 WA0023
Penulis novel Jendela Seribu Sungai, Miranda Seftiana bersama Mathias Muchus pemeran Awat (Kakek Kejora) dalam film Jendela Seribu Sungai. (kalimantanpost.com/facebook Miranda Seftiana)

BANJARMASIN, kalimantanpost.com – Masyarakat di Kalimantan Selatan, khususnya yang di Kota Banjarmasin sudah pasti tak sabaran ingin menyaksikan film asli Banua, Jendela Seribu Sungai yang akan rilis di bisokop pada 20 Juli 2023.

Jelang tayang, film garapan rumah produksi Radepa Studio ini pun merilis posters dan trailer resmi pada 7 Juni lalu.

Baca Koran

Poster yang ditampilkan film Jendela Seribu Sungai pun cukup menarik dan jelas menginforasikan kalau film yang disutradara Jay Sukmo ini bertema anak-anak.

Terlepas akan tayangnya film tersebut, mungkin banyak tidak tahu bagaimana siapa yang penulis novel Jendela Seribu Sungai, berasal dari mana dan bagaimana perjuangannya membikin novel sebelum diangkat ke layar lebar.

Masih ingat dengan film Laskar Pelangi sempat menjadi salah satu film inspiratif Indonesia yang tayang pada 2008. Film ini diadaptasi dari novel best seller berjudul sama karya Andrea Hirata dan mendapat sambutan positif dengan perolehan penonton mencapai 4.6 juta di bioskop.

Terinspirasi Laskar Pelangi tersebut, Avesina Soebli yang menjadi associate producer di film 2008 tersebut, ingin mengulang kembali, tapi dengan mengambil kisah kehidupan anak-anak Seribu Sungai di Banjarmasin dan anak Dayak Loksado, Hulu Sungai Selatan.

Supaya roh novelnya pas, Avesina menggandeng
penulis muda berbakat asal Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Miranda Septiana.

“Saya bertemu dengan Pak Avesina Soebli itu tanggal 15 Desember 2015 di Bandara Syamsudin Noor jelang beliau flight ke Jakarta. Awalnya diperkenalkan oleh pak Zulfaisal Putera,” cerita Miranda.

Ditambahkan cewek kelahiran Kandangan, Hulu Sungai Selatan,16 September 1996 ini, Aves ternyata sempat membaca cerpen pertamanya yang terbit di SKH Kompas dengan Sebatang Lengkeng yang Bercerita, terbit 1 November 2015.

Dipertemuan itu, associate produser film Garuda Di Dadamu (2009) dan Sang Pemimpi ini mengajak Miranda menulis sebuah novel.

“Awalnya novel ini akan diberi judul Sungai Seribu Jendela. Terilhami dari perjalanan Pak Aves menyusur Sungai Martapura hingga Barito dari subuh sampai magrib. Saat bertemu dan saya ‘menego’ judul itu. Saya menawarkan menggantinya menjadi Jendela Seribu Sungai dengan alasan Banjarmasin terkenal dengan julukan Kota Seribu Sungai,” paparnya.

Baca Juga :  Banjarmasin Bikin Gebrakan, Cegah Konflik Lewat Rumah Mediasi

Tanggal 11 Januari 2016, Miranda dikirimi Aves sinopsi pendek novel ini. “Saya diberi waktu beberapa hari untuk membuat teaser berupa tiga halaman pertama novel,” katanya sejatinya menulis berdua.

Di awal diskusi, beliau pernah berujar, “Mir, kamu terbiasa menulis cerpen akan berbeda saat menulis novel. Seperti berpindah dari Iqra ke Qur’an, napasnya perlu panjang. Ini perjalanan marathon. “Meskipun ini novel pertamamu, saya percaya kamu bisa,” ungkapnya seraya menambahkan pak Aves banyak menuntunnya saat menulis.

Ditambahkan Miranda, riset novel ini menguras energi lahir batin. “Risetnya 2 tahun. Dari kajian literatur, bertemu narasumber, obrservasi. Termasuk membujuk Balian agar memberikan mantra. Saya juga melewati hutan jam 1 dinihari. Saya juga menyusur sungai Kuin Kacil, bertemu buaya muara,” ungkapnya.

Novel Jendela Seribu Sungai sendiri resmi terbit pada 15 September 2018 lalu di Gramedia Duta Mall Banjarmasin. Bersamaan terbitnya novel itu, waktu itu Miranda berharap nantinya diangkat ke layar lebar seperti Laskar Pelangi.

Setelah menanti lima tahun, mimpi lulusan S1 Prodi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ini pun menjadi kenyataan. Ceritanya di angkat dari novel Jendela Seribu Sungai ini akan tayang di bioskop-bioskop Tanah Air, termasuk di Kalimantan Selatan pada 20 Juli mendatang.

“Bagi saya dan Pak Aves berharap novel dan film ini menjadi sungai berkah bagi banyak orang. Amal jariyah bagi banyak orang yang terlibat. Ladang rezeki,” kata
HR di perusahaan tambang di Jakarta ini.

Terpenting lagi, kata Miranda, berkarya bisa bermanfaat bagi orang sekitar, sebagaimana filosofi pohon pulantan yang dianggap pohon kehidupan bagi orang Dayak Loksado. Tumbuh tinggi, bertumpang tiga seperti payung saat orang bertamat mengaji. “Saya ingin seperti itu. Bisa kokoh dan rindang untuk hanyak orang,” tandasnya.

Miranda pun bercerita, dalam pembuatan film Jendela Seribu Sungai nanti melibat artis cilik Banjarmasin, Loksado, dan Nagara.

“Karena ini berkaitan dengan kekhasan karakter tokoh novel Jendela Seribu Sungai sendiri yang memang hidup di tiga daerah tersebut,” ucapnya.

Film yang diangkat Novel Jendela Seribu Sungai. Bercerita tentang tiga anak yang mimpinya terbelenggu oleh keadaan. Bunga, seorang anak yang menderita cerebral palsy bermimpi menjadi seorang penari. Namun mimpinya nyaris karam, sebab pengabaian orangtuanya.

Baca Juga :  Wagub Hasnuryadi Harapkan Sinergi, Kokoh dan Solid Antar Legislatif Juga Eksekutif

Lalu Kejora, anak Dayak Meratus yang bercita-cita menjadi seorang dokter namun ditentang oleh ayahnya sendiri. Ayahnya ingin Kejora melanjutkan tradisi keluarga untuk menjadi seorang balian.

Terakhir Arian, cita-citanya menjadi seorang seniman kuriding mulai dihinggapi ragu setelah Abahnya mengatakan bahwa pekerjaan seniman kuriding adalah pekerjaan masa lalu. Padahal Abahnya merupakan seniman kuriding. Sampai suatu ketika mereka bertemu Bu Sheila yang mengenalkan arti sungai mimpi bagi ketiganya.

Siapakah Miranda? Dari namanya, orang mengira bukan Urang Banjar, apalagi saat ini tinggal di Jakarta

Sebenar perempuan cantik ini merupakan penulis Kalsel. yang handal. Cerpennya tak hanya terbit di koran lokal, tapi hingga nasional seperti SKH Kompas.

“Cerpen saya berjudul Sebatang Lengkeng yang Bercerita menembus koran Kompas pada 1 November 2015,” tandasnya.

Cerpen ini pula yang menghantar Miranda tembus di buku kumpulan cerpen pilihan Kompas 2015.

Kemudian cerpen berjudul Sekuntum Melati Ibu masuk dalam buku kumpulan cerpen pilihan Kompas 2017. Cerpen ini mengangkat makna rangkaian bunga melati pengantin dengan setting cerita sungai Pangambangan, Banjarmasin.
“Setelahnya karya saya memang lebih banyak membawa konten lokalitas Kalimantan Selatan,” tegasnya.

Seperti pada buku kumpulan cerpen tunggal Miranda yang berjudul Stadium Rindu, terbit pertengahan tahun 2018.

Novela terbaru lulusan Psikologi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarbaru ini berjudul Lalu Tenggelam di Ujung Matamu.

Juga ada antologi karya Miranda diantaranya Mereka Mengeja Larangan Mengemis (2020), Dole dan Kantung Plastik (2020, Kasur Tanah (2018), Hujan dan Jatuh Cinta (2018), Menembus Kegelapan, Menggapai Kerinduan (2017),
Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? dan lain-lain.

Lalu cerpennya yang terbit di media cetak diantaranya, Semangkuk Perpisahan di Meja Makan (Kompas, 17 Maret 2019), Tungku Perkawinan (Kompas, 8 April 2018), Ada Apa dengan Mimo? (Suara Merdeka, Januari 2018), Sekuntum Melati Ibu (Kompas, 9 Juli 2017), Papadaan (Banjarmasin Post, 16 April 2017) dan lain-lain. (Mau/KPO-3)

Iklan
Iklan