BANJARMASIN, Kalimantanpost com – Mantan Bupati Kabupaten Barito Kuala (Batola) Hj Normiliyani, mengatakan sejak berdirinya BPR Barito Kuala sampai berakhirnya jabatan Bupati dipenghujung tahun 2022, tidak pernah memberikan dividen kepada pemerintah Kabupaten Barito Kuala.
Hal ini disampaikan mantan Bupati tersebut sebagai saksi pada sidang lanjutan terdakwa Bahrani, mantan Direktur PT BPR Batola, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Senin (1/4/2024) dihadapan majelis hakim dipimpin Yusrianyah.
Lebih lanjut saksi mengatakan BPR tersebut memperoleh dan dari pemerintah kabupaten dan Provinsi Kalsel yang dilakukan secara bertahap jumah mencapai Rp10 miliar.
Nurmiliyani juga mengaku tidak pernah mendapatkan laporan pertanggungjawaban resmi dari BPR Batola. Sesekali ia mengaku hanya mendapatkan laporan lisan oleh komisaris perwakilan Pemkab Batola yang ada di BPR.
“Pertanggungjawaban nihil. seharunya ada. Tapi kita mau memaksakan seperti apa,” sebutnya.
Ditambahkan Nurmiliyani, permasalahan pada BPR Batola diketahuinya melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dimana ia mendapatkan laporan angka NPL (Non Performing Loan) atau kredit bermasalah di BPR Alalak sangat tinggi atau jauh diatas angka minimal.
“Awalnya OJK melaporkan ke saya BPR Alalak sangat bermasalah, NPL nya sangat tinggi. OJK mau menutup,” ujarnya.
Sementara saksi Sekda Batola, Zulkipli tak berbeda jauh dengan keterangan mantan Bupati Batola jika permodalan BPR Batola bersumber dari pemerintah kabupaten dan provinsi sebesar Rp10 miliar.
Zulkipli juga mengatakan jika belum ada keuntungan yang dihasilkan dari bank milik pemerintah daerah tersebut.
“BPR berdiri sejak 2016 bergerak di bidang simpan pinjam. Dan belum ada keuntungan yang didapatkan pemda,” katanya.
Bahrani selaku Direktur Utama PT. BPR (Badan Perkreditan Rakyat) kini duduk dikursi terdakwa pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)Banjarmasin, karena di dakwa telah merugikan pertuisahan daerah tersebut di angka yang cukup besar yakni nilainya mencapai Rp. 8.480.000.000. Hal ini dilakukan terdakwa sejak tahun 2019-sampai 2022.
Dalam modus operandinya terdakwa menurut Jaksa Penuntut Umum Rizka Nurdiansyah dari Kejaksaan Negeri Barito Kuala, dilakukan dengan meloloskan persyaratan kredit untuk 17 orang debitur.
Hal ini menurut JPU tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di BPR tersebut, akibatnya kerugian ditanggung BPR yang merupakan kerugian negara sebesar Rp. 8.480.000.000.
Dalam menjalankan modus tersebut ternyata terdakwa tidak sendirian, beberapa karyawannya yang menjadi saksi kemungkinan juga akan menjadi terdakwa.
JPU pada dakwaannya mematok pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, pada dakwaan primairnya.
Sedangkan dakwan subsidair JPU mematok pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (hid/KPO-3)