Oleh : Nida Ariyatni, ST
Pemerhati sosial politik
Kegelisahan sebagian masyarakat mulai menyeruak menyusul kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo Subianto. Kegelisahan tersebut tampak dari poster-poster yang beredar saat aksi mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap”. Meski Kepala Kantor Komunikasi Presiden Hasan Nasbi mengatakan, efisiensi anggaran tidak dilakukan kepada kebutuhan dasar pegawai atau pelayanan publik. Pemangkasan anggaran dilakukan untuk seremonial kantor, seminar luar negeri, dan agenda akhir tahun yang dipandang publik menghabiskan anggaran.
Namun ternyata pemerintah melakukan kegiatan retret kepala dan wakil kepala daerah yang baru dilantik. Kegiatan retret ini bahkan menjadi sorotan media asing. Salah satunya media asal Prancis AFP yang menyoroti hal ini dalam artikel berjudul Glamping Retreat for Indonesia Leaders Sparks Criticism as Cuts Bite (Retret dengan Perkemahan Mewah untuk Pemimpin Indonesia Picu Kritik karena Bersamaan dengan Pemotongan Anggaran). AFP menangkap reaksi publik yang kontra dengan kebijakan ini. Pasalnya, acara ini memakan biaya Rp13,2 miliar dan dilakukan saat Indonesia sedang melakukan efisiensi anggaran hingga Rp306,7 triliun.
Masalah Rumusan Kebijakan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 memunculkan dampak yang cukup besar dan meluas. Beberapa instansi dikabarkan mulai membatasi fasilitas kantornya. Sebagian instansi lain bahkan terpaksa merumahkan pekerja honorernya. Ini menunjukkan, penetapan kebijakan publik tidak boleh trial and error.
Apalagi, kebijakan yang diusulkan pemerintahan tampaknya sering kali menimbulkan polemik. Hal ini menunjukkan ada masalah dalam proses perumusan kebijakan, baik dari segi perencanaan maupun komunikasi dengan publik.
Selain itu, orientasi pengambilan kebijakan yang tidak mementingkan kepentingan rakyat menjadikan kebijakan ini malah menyusahkan rakyat sehingga melahirkan aksi penolakan dari rakyat yang terus berulang.
Program anak emas
Pemerintah semestinya jauh lebih cermat dengan target efisiensi anggaran tersebut. Pembiayaan program “anak emas” tidak semestinya jika harus menumbalkan pembiayaan sektor-sektor yang tidak kalah vital.
Selain itu, dari berbagai sudut pandang, jelas bahwa MBG tidak seharusnya menjadi program prioritas, apalagi “anak emas”. Realisasi MBG semata karena sudah kadung menjadi janji kampanye pilpres. Pelaksanaannya di lapangan pun banyak polemik akibat perencanaan yang tidak matang.
Program MBG bahkan rawan korupsi karena berurusan dengan dana fantastis. Aspek profit dalam MBG juga tampak dominan karena melibatkan sejumlah vendor swasta yang mengejar laba. Belum lagi persoalan seputar kebocoran anggaran akibat pemilihan pejabat yang tidak amanah, tidak kapabel, dan aji mumpung dengan jabatannya. Ini buah pemilihan pejabat yang tidak berdasarkan kapabilitas, melainkan karena kekuatan uang dan koneksi “orang dalam”.
Dana asing
Sedangkan pada saat yang sama, pemangkasan anggaran juga akan berimplikasi pada fenomena baru untuk tetap memperoleh dana segar. Sinyal itu tampak sebagaimana pernyataan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno bahwa akan ada berbagai cara lain yang dapat dicari untuk mencapai pelaksanaan program-program kementerian.
Potensi dana segar ini dimungkinkan bersumber dari utang luar negeri, juga dana dari lembaga/perusahaan swasta, baik lokal maupun asing. Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, masuknya dana asing, baik berupa utang maupun selainnya, adalah sebuah keniscayaan yang mengandung konsekuensi berbahaya secara politik bagi negara debitur (pengutang).
Kucuran utang maupun dana swasta tentu saja berbeda dengan subsidi negara, sebaliknya justru mengandung jebakan yang memiliki pamrih, alias bukan “makan siang gratis” (no free lunch). Lebih dari itu, sungguh akan ada yang menjadi tumbal berupa liberalisasi ekonomi, politik, dan pemikiran.
Anggaran yang Menyejahterakan
Penguasa dalam Islam adalah pelayan (raa’in) bagi rakyat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Imam (pemimpin) adalah raa’in (pelayan) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya”. (HR Bukhari dan Muslim). Tugas penguasa adalah mengurus negara, termasuk aspek keuangan, hingga terwujud kesejahteraan di tengah masyarakat.
Anggaran dalam Khilafah wajib dikelola berdasarkan syariat Islam untuk kemaslahatan rakyat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid 2 halaman 163 menjelaskan, Asy-Syari’ mewajibkan penguasa untuk memerintah dengan kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya serta melarangnya untuk melirik kepada selain Islam atau mengambil sesuatu pun dari selain Islam. Kewajiban ini melekat pada penguasa karena ia dibaiat untuk menjalankan hukum Allah Taala, bukan yang lain. Dengan demikian, penguasa tidak boleh mengelola anggaran menggunakan hukum buatan manusia.
Khilafah tidak akan membebani APBN dengan utang luar negeri karena pada umumnya utang luar negeri ribawi, padahal Allah Taala telah mengharamkan riba dalam QS Al-Baqarah ayat 275, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Utang luar negeri juga berbahaya bagi kedaulatan negara karena akan memberi jalan bagi negara lain untuk menguasai kaum muslim, padahal Allah Taala telah melarangnya, “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”. (QS. An Nisa : 141). Dengan demikian, anggaran tidak tersedot untuk membayar utang dan bunganya. Rakyat juga tidak terbebani pajak yang “mencekik”.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid 2 halaman 163 menjelaskan, Rasulullah SAW telah memperingatkan dengan sangat keras agar penguasa tidak “menyentuh” harta kekayaan umum dengan alasan apa pun. Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, tidak seorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menanggungnya pada hari kiamat.” (HR Bukhari).
Demikianlah penerapan Islam kafah dalam institusi Khilafah, yang berperan strategis dalam membuat profil penguasa, pejabat, dan pegawai yang amanah serta menjaga anggaran negara agar dikelola sesuai syariat sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.