Oleh : Nor Aliyah, S.Pd
Pendidik
Mahkamah Agung (MA) tekah membatalkan Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur kenaikan iuran BPJS. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Timur, dr Dodo Anondo memastikan iuran BPJS batal naik tidak akan berdampak pada pelayanan rumah sakit.
“Loh sebetulnya iuran naik atau tidak, itu kan intinya untuk menutup defisitnya (utang) BPJS. Tetapi selama ini rumah sakit tidak ada pengaruh apapun mau iuran naik atau tetap,” kata Dodo kepada wartawan, Surabaya (kronologi.id, 10/03/2020).
Pemerintah diminta mencari solusi lain terkait defisit anggaran menyusul pembatalan kenaikan iuran BPJS yang diketok Mahkamah Agung(MA).
“BPJS bisa menerapkan sejumlah masukan yang diberikan DPR. Seperti melakukan subsidi anggaran dll,” kata Anggota Komisi IX DPR Nur Nadlifah dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Senin(9/3/2020) malam.
Menurut Nadlifah, penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS untuk peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) kelas III yang jumlahnya mencapai 19,9 juta orang itu sangat memberatkan. Apalagi keputusan tidak menaikkan iuran BPJS kelas III sudah disepakati dalam rapat gabungan antara Komisi IX DPR, Kemenkes, BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada November 2019 lalu.
“Seharusnya pemerintah berpegangan pada keputusan bersama sewaktu rapat gabungan di DPR 2019 lalu. Bukan justru tutup mata, dan malah membuat kebijakan yang bertentangan hasil rapat gabungan bersama legislatif,” ujarnya (tribunnews.com, 10/03/2020).
Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran BPJS pada semua kelas. Menurut DPR, penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS untuk peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) kelas III yang jumlahnya mencapai 19,9 juta orang itu sangat memberatkan. Pemerintah juga Nampak keberatan karena kesulitan mencari solusi atas kerugian/defisit operasional BPJS. Hal ini menunjukkan makin banyak bukti bahwa BPJS bukanlah jaminan layanan kesehatan oleh pemerintah bagi rakyat. Karena sumber pemasukannya mengandalkan iuran dari rakyat.
Konsep BPJS adalah asuransi sosial yang didanai melalui kontribusi peserta, selain subsidi pemerintah, berdasarkan prinsip-prinsip asuransi. Ia bukan jaminan negara atas kebutuhan dasar rakyatnya yang murni didanai oleh APBN. Peserta/rakyat melindungi diri mereka dari berbagai risiko seperti cacat, sakit, kematian dan pensiun dengan membayar premi secara reguler kepada badan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selain itu, faktanya ada pemaksaan dalam hal kepesertaan. Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah bekerja di Indonesia selama minimal 6 bulan wajib menjadi anggota BPJS (UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS Pasal 14). Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS.
Badan jaminan kesehatan yang ada menunjukkan bahwa kesehatan harus ditanggung bersama oleh rakyat. Sebenarnya rakyat diminta untuk saling membahu memenuhi kebutuhan pembayaran pelayanan kesehatan. Jaminan kesehatan yang diselenggarakan pemerintah melalui BPJS faktany justru telah memberatkan rakyat. Dengan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), rakyatlah yang sejatinya menjamin sendiri kesehatannya.
Biaya yang sangat besar harus dibayarkan, padahal di luar kemampuan masyarakat. Hal sangat memberatkan masyakat. Harusnya penguasa menyadari kesulitan ini. Biaya yang cukup besar menambah kesulitan hidup masyarakat. Kebijakan BPJS ini menguatkan bukti pengabaian tanggungjawab dan komersialisasi layanan kesehatan oleh negara.
Jauh berbeda dengan mekanisme jaminan kesehatan dalam islam dan bagaimana khilafah atasi kesulitan pembiayaan jaminan kebutuhan rakyat. Penguasalah yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan hajat pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik setup individu publik. Tidak boleh negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya.
Negara tidak boleh memberikan layanan kesehatan dengan membebankan pembiayaannya kepada masyarakat, baik dengan sistem asuransi atau pengenaan pajak. Negara harus mengambil peran sebagai pelayan rakyat, bukan pebisnis.
Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya”. (HR. Al- Bukhari).
Padahal seharusnya dalam pandangan Islam, negara wajib hadir sebagai pelayan rakyat yakni mencukupi kebutuhan hidup mereka. Jaminan sosial adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat. Harusnya pemenuhan layanan kesehatan ini dijamin oleh negara untuk dipenuhi hak-hak warga negara. Hal ini sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, kemudian dipraktikkan oleh para Khalifah setelahnya.
Keseluruhan layanan publik, berupa pendidikan, keamanan termasuk layanan kesehatan harus diberikan oleh negara kepada rakyat secara cuma-cuma, tanpa memandang kelas. Semua rakyat, baik kaya atau miskin memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan kesehatan dari negara. Dalam hal ketercukupan dana, dibutuhkan pemerintahan dan kebijakan yang menjadikan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alamada di tangan pemerintah, bukan swasta.
Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”
Rakyat negeri ini hanya akan mendapatkan pelayanan terbaik ketika urusan mereka diatur dengan aturan terbaik. Oleh karenanya, diperlukan perubahan totalitas di bidang kesehatan menuju sistem kesehatan berdasarkan tuntunan syariah Islam. Sehingga layanan kesehatan dapat diberikan secara maksimal oleh negara bagi rakyatnya.