Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Pembebasan Napikor dengan Kedok Covid-19 Bukti Ketidakseriusan Pemberantasan Korupsi

×

Pembebasan Napikor dengan Kedok Covid-19 Bukti Ketidakseriusan Pemberantasan Korupsi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr. Mispansyah, SH, MH
Ahli Tindak Pidana Korupsi

Penghianatan Agenda Reformasi

Android

Penulis perlu mengingatkan kepada Bapak Menteri Hukum dan HAM, bahwa kebijakan pembebasan Napikor Covid19 adalah alasan yang mengada-ada dan dicari-cari saja sebagai wujud sikap pemerintah yang tidak pro dalam pemberantasan korupsi, Kita tahu bahwa selama ini terjadi Upaya pelemahan pemberantasan korupsi baik secara substansi (aturan peraturan perundang-undangan), struktur (structure) (kelembagaan), dan budaya hukum (culture) suap-menyuap seolah merupakan suatu yang sudah dimaklumi. Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem pelaksana pidana merupakan tahapan akhir dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu bagian pembinaan Narapidana Korupsi (Napikor) agar mereka layak bisa hidup bermasyarakat keluar dari LP nantinya. Berbeda dengan Napi tindak pidana umum lainnya yang berada dalam satu sel dengan jumlah yang banyak dan berdesak-desakan, tentunya yang harus dibijaksanai adalah Napi dalam  tindak pidana umum khususnya kasus-kasus kecil yang dibebaskan atau segera memproses mereka yang sudah menjalani pidana 2/3 masa pidana di LP untuk di bebaskan,atau memberikan hak cuti menjelang bebas kepada mereka yang telah memenuhi syarat dalam rangka mengurangi overload kapasitas LP.Kemudian di masa mendatang dalam membangun sistem hukum yang baik, tentu melakukan perubahan terhadap substansi aturan yang selama ini beroerintasi pada pemidanaan dalam kasus-kasus pidana ringan dan sedang, yang orientasi pada restorative justice.

Kalaupun adanya kehawatiran wabah Covid-19 menjalar ke LP, selama ini menularnya Covid-19 menular karena seseorang berada atau melalui wilayah merah Covid19 atau berinteraksi dengan orang yang terinfeksi Covid-19, apakah selama ini Napikor  “leluasa berinteraksi keluar LP”, atau ada petugas LP yang postif Covid-19 di seluruh LP di Indonesia, sehingga berpotensi atau ada yang positif Covid-19 di LP, sehingga muncul kecurigaan ada apa ini. Kalau tidak benar dugaan tersebut, maka sistem karantia yang menempatkan mereka di LP, merupakan langkah yang sudah tepat terhadap Narapikor, mereka justru aman di berada di LP karena itu salah satu bentu lockdown, justru yang harus dilakukan adalah meniadakan kunjungan fisik orang di luar LP ke dalam LP, karena Wabah Covid datang dari luar, bukan dari dalam LP. 

Kembali pada wacana Menteri Hukum dan HAM yang hendak membebaskan Napikor dengan merubah PP No.99 Tahun 2012, tentu hal ini melukai dan menciderai rasa keadilan masyarakat dan merupakan penghianatan terhadap agenda Reformasi Tahun 1998. Kelahiran reformasi pemicunya adalah karena masalah korupsi dianggap sudah mengakar pada masa Orede Baru. Agenda setelah Orde Baru tumbang, di masa pemerintahan transisi Bapak BJ.Habibie adalah melahirkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 (selanjutnya disebut UUPTPK). Kemudian  di Pada Tahun 2002 lahirlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), kelahiran KPK karena desakan masyarakat karena terjadi krisis kekurangpercayaan terhadap lembaga penegak hukum Kepolisan dan Kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) menegaskan pemberantasan korupsi dengan cara luar biasa. Kemudian  dalam Preambul ke-4 United Nations Convention Againts Corruption tahun 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003, juga disebutkan dalam bagian menimbang huruf b dan huruf c, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620). Kemudian disebutkan dalam Penjelasan Umum alinea ke-2 UU KPK bahwa korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa.

Upaya Pelemahan Pemberantasan Korupsi secara Sistematis

Setelah berbagai macam upaya melalui draf usulan perubahan UU Pemberantasan Korupsi, sampai pelemahan KPK melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun point yang krusial dalam UU KPK setelah di sahkan, KPK tidak dapat melakukan penggeledahan, penyitaan, penangkapan harus berdasarkan izin Dewan Pengawas (Pasal 37E UU KPK Revisi). Setelah dibentuknya Dewan pengawas yang diangkat oleh Presiden adalah, Pada pengembangan kasus operasi tangkap tangan salah satu anggota Komisioner KPU (WS) diduga menerima suap sebesar RP 400 juta atas penetapan (HM) sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu (PAW) menggantikan caleg terpilih dari Partai tertentu atas nama (NK) yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu, KPK gagal melakukan penggelahan kantor sebua partai. Kasus ini menjadi kasus pertama pasca berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sejak awal dinilai cenderung melemahkan ketimbang menguatkan KPK. (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1c53b696f4c/gagal-geledah-kantor-pdip–bukti-pelemahan-kpk/ .Kasus gagalnya KPK melakukan penggeledahan dinilai berbagai kalangan merupakan bukti pelemahan KPK, karena segala tindakan KPK harus mendapat izin dari Dewan Pengawas, dimana Ketua dan Anggota Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden, ini bukti bahwa KPK berada dalam kendalai Presiden di rumpun eksekutif.

Begitu pula dengan wacana pembebasan Napikor oleh Menteri Hukum dan HAM merupakan pemikiran yang mundur dan tidak sejalan dengan mindset yang memahami tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Perlunya Memahami Korupsi sebagai Kejahatan luar biasa bahkan merupakan kejahatan transnasiona, harus dimiliki oleh penegak hukum di Indonesia, dari sub-lembaga penyidikan, sub-lembaga penuntutan, sub-lembaga mengadili, juga sampai sub-lembaga pelaksana pidana (lembaga pemasyarakatan), jadi memahami korupsi harus merupakan satu kesatuan sistem dalam penegakan sistem peradilan pidana terpadu.

Iklan
Iklan