Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Mural dan Kritik Sosial

×

Mural dan Kritik Sosial

Sebarkan artikel ini

Oleh : Paulus Mujiran
Alumnus Pascasarjana Undip Semarang

Pembuatan mural Jokowi “404 : Not Found” rupanya menarik perhatian publik. Bahkan polisi pun sempat menyatakan akan memburu pembuat mural yang bertuliskan 404 : Not Found setelah sebelumnya telah dihapus oleh aparat Polsek dan Koramil Batuceper, Kota Tangerang. Mural Jokowi ini ramai diperbincangkan di media sosial dan dua pekan lalu tagar #Jokowi404NotFound terpantau treding topics di Twitter. Yang menarik belakangan ini marak mural bernuansa kritik sosial di berbagai tempat.

Baca Koran

Banyak orang melampiaskan pengapnya menjalani masa pandemi dengan menuangkan dalam bentuk mural sebagai ajang kritik sosial. Sebagai sebuah karya seni mural dapat dipandang sebagai ekspresi seni. Di pihak lain mural dapat dianggap juga sebagai sarana menyalurkan kritik sosial. Melalui mural publikasi itu murah dan mudah dibaca oleh banyak orang. Namun sayangnya, pemerintah menunjukkan sikap represifnya terhadap para pembuat mural yang mengandung kritik sosial.

Terkait sikap represif para pembuat mural pemerintah kembali dikritik sebagai otoriter menyusul insiden itu. Sejumlah netizen menganggap pemerintah cenderung antikritik. Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada tahun 2020 mencatat sejak tahun 2015 terdapat 28 kebijakan yang dianggap mencerminkan otoritarianisme. Hal itu tercermin dari upaya mengembalikan dwi Fungsi Aparat Pertahanan dan mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Keamanan Polri.

Catatan KontraS hingga Oktober 2020 sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Sejumlah aktivis yang terpaksa berhadapan dengan pemerintah antara lain Dandhy Dwi Laksono pada 27 September 2019 dijadikan tersangka ujaran kebencian karena cuitan mengenai kondisi di Papua. Dandhy mentwit mengenai kerusuhan di Papua yang disebabkan oleh tindakan rasialisme.

Selain Dandhy pada akhir September 2019 polisi menangkap Ananda Bedudu karena menggalang dana untuk mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemeberantasan Korupsi. Aksi penggalangan dana itu dilakukan secara daring dan terkumpul Rp 100 juta yang kemudian disalurkan membeli makanan dan keperluan para peserta demo.

Baca Juga :  Urgensi Literasi Digital bagi UMKM

Juga masih ada Ruslan Buton mantan anggota TNI yang diadili karena menyebarkan pernyataan terbuka di media sosial meminta Presiden Jokowi mundur. Ia didakwa sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian, menghina penguasas atau menyebarkan berita bohong yang memicu keonaran.

Mural Jokowi “404NotFound” yang dihapus dan pembuatnya sempat diburu polisi menambah daftar panjang sikap kurang bersahabat pemerintah di saat seharusnya masyarakat menikmati demokrasi. Mural-mural lain di banyak tempat juga dihapus karena dianggap memicu kontroversi dan mengandung kritik. Padahal berulangkali Presiden Jokowi mengingatkan masyarakat untuk mengkritik pemerintah. Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengritik pemerintah dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik.

Bahkan Sekretarus Kabinet Pramono Anung pemerintah membutuhkan kritik pers yang pedas dan keras, dan kritik itu sebagai jamu yang menyehatkan. Namun banyak pihak meragukan dengan permintaan Jokowi agar masyarakat lebih berani mengkritik pemerintahannya. Para pengkritik terancam kasus hukum dengan dalih melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pernyataan Jokowi yang minta dikritik menunjukkan praktik politik berwajah ganda kekuasaan. Di satu sisi Jokowi menunjukkan pesan yang positif untuk mendapatkan kritik. Di sisi yang lain menunjukkan tindakan sebaliknya dengan terus menangkap atau menghantam para aktivis yang berani lantang mengkritik kekuasaan. Padahal, dalam insiden mural “404 : Not Found” justru dilihat orang dari Ujung Sumatera sampai Papua baik sebelum maupun sesudah dihapus.

Di era Jokowi hukum dijadikan alat kekuasaan untuk membungkam kritik. Tindakan pemerintah saat ini sebagai upaya menjaga stabilitas negara, masalahnya penerapannya kerap mengabaikan nilai kebebasan berpendapat. Demokrasi merupakan konsensus yang disepakati semua elemen bangsa yang dimandatkan kepada pemerintah dan wakil-wakilnya jangan sampai ternoda karena alerqi terhadap kritik.

Baca Juga :  Empat Pilar Literasi Digital

Padahal di era Jokowi partai politik pendukung pemerintah mencapai komposisi 427 dari 471 atau 81,9 persen dari total kursi DPR. Menguatnya partai pendukung pemerintah menyebabkan ruang gerak oposisi kian terbatas dan melembaganya parlemen jalanan. Dalam konteks ini mural dapat dianggap sebagai saluran kritik ketika parlemen dikuasai oleh mayoritas pendukung pemerintah.

Di era demokrasi ini ironis karena kebebasan berpendapat kian terbatas. Survei Indikator Politik Indonesia September 2020 menyatakan 47,7 persen responden menyatakan warga makin takut menyatakan pendapat dan 57 persen menilai aparat makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. Pembungkaman terhadap kritik dalam jangka panjang mematikan nilai-nilai demokrasi dan perbedaan pendapat.

Demokrasi tak bisa menghilangkan kritik. Sehingga keberadaan mereka yang berbeda pendapat penting untuk menjaga kelangsungan demokrasi. Di negara demokrasi para pengkritik adalah penjaga gawang agar demokrasi tetap bernyala. Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 memberikan jaminan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang dijalankan dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Sebagai saluran politik mural mestinya tidak perlu dilarang, apalagi di tengah keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat belakangan ini.

Namun demikian saluran publik melalui mural rupanya menjadi cermin menguatnya parlemen jalanan. Ketika mayoritas partai politik mendukung pemerintah dan tidak ada oposisi sebagai saluran aspirasi alternatif dinding mural menjadi ajang menyuarakan jeritan rakyat. Mereka tidak bersuara melalui saluran resmi para wakilnya namun melalui tembok-tembok mural. Jika demikian mural bagian dari kritik sosial haruskah direpresi?

Iklan