Oleh : Kayyis UmmMaryam
Pemerhati Masyarakat
Tahun 2022 masih menyisakan banyak ‘PR’ bagi negeri ini. Boleh dikata, masih banyak problematik yang belum terselesaikan dengan tuntas dan besar kemungkinan setelah berganti tahunpun masalah-masalah ini akan terulang bahkan lebih parah lagi. Krisis demi krisis rasanya tidak kunjung usai. Terlebih dalam kaitannya dengan kondisi generasi muda. Tak pelak, harapan menuju Indonesia yang lebih baik di 2023 pun tipis. Tahun yang baru ini bahkan akan cenderung populer sebagai tahun politik karena agenda Pemilu 2024 sudah di depan mata. Lihat saja, para politisi maupun pemangku kebijakan malah tampak lebih sibuk bersiap dan bersolek demi mengamankan posisinya masing-masing pada pertarungan akbar mendulang suara nanti, alih-alih memikirkan urusan umat yang berpotensi kian terbengkalai
Awal 2022 lalu negeri ini menyambut puncak Omicron, tetapi selanjutnya isu perihal Covid-19 melandai. Isu yang lebih deras dan berbahaya justru seputar pemikiran. Bisa dilihat karut-marut dunia pendidikan berdasarkan rekam jejak sekularisasi dan liberalisasi pendidikan, serta moderasi beragama. Juga disadari bahwa inflasi sangat menghantui ekonomi masyarakat. Belum lagi inflasi energi berwujud kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kita juga menyaksikan beragam kebijakan zalim yang di antaranya berupa penerbitan segala jenis pajak. Semua kebijakan itu diproduksi penguasa sebagai wujud keberpihakannya pada pengusaha dan oligarki.
Di bidang politik, dapat merasakan peliknya kehidupan yang penuh islamofobia dan tudingan radikal. Di sisi lain, sejumlah politisi dan parpol hanya sibuk cari muka dengan menggadang-gadang capres-cawapres yang konon “harapan rakyat”.
Sementara itu, pada saat yang sama, di bidang hukum, muncul borok krisis jati diri dan korupsi para penegak hukum. Kasus Sambo cs dan korupsi berjamaah sejumlah hakim agung di Mahkamah Agung, adalah realitas gelap akibat puja-puji pada sekularisme yang difasilitasi oleh sistem demokrasi dan kapitalisme. Inilah secuil wajah busuk demokrasi yang bisanya hanya menumpuk masalah dan memupuk krisis akibat penerapan aturan buatan manusia yang menyingkirkan aturan dari Sang Pencipta.
Masalah yang tidak kalah pelik terpelihara di negeri ini adalah persoalan generasi. Generasi apatis, apolitis, loyo, melambai, dan malas berjuang, justru lebih diberi panggung daripada generasi beriman, tangguh, dan berprestasi. Mereka terombang-ambing, bahkan salah arah. Ditambah derasnya islamofobia, moderasi beragama dan arus kurikulum merdeka makin membuat generasi muda kehilangan jati diri dan potensi.
Parahnya lagi, paham kebebasan berekspresi juga kian merebak. Liberalisasi seksual meracuni kalangan terpelajar dan intelektual. Ide sesat L687Q juga terjejal paksa di tengah masyarakat dengan hak asasi sebagai alibi.
Di tengah segala ancaman pemikiran itu, ternyata generasi muda tidak lepas dari penyesatan melalui platform keuangan digital. Pinjaman online (pinjol) dan judi online marak di kalangan pemuda, tanpa mereka sadari bahwa di sana ada jerat riba sekaligus keharaman pengelolaan harta yang berbalut kecanggihan teknologi. Padahal pada intinya, itu semata akibat mereka tidak paham fikih muamalah syar’i.
Kondisi yang tak jauh berbeda bahkan lebih parah dialami pemuda di negera-negara Barat, yang ironisnya malah dijadikan kiblat perubahan. Pandangan sekularisme memperoleh panggung. Wujudnya, kehidupan karut marut, bahkan terang-terangan melawan fitrah manusia dalam beragam aspek. Aturan kehidupan sosial kemasyarakatan jauh dari agama, apalagi Islam.
Ironisnya, banyak generasi muda di negara maju itu terkena getahnya. Kemajuan teknologi dan kemegahan fisik peradaban Barat terbukti menyimpan setumpuk borok serius berupa krisis generasi. Mereka rapuh dan pragmatis, alih-alih berdaya juang. Jerat sistem sekuler membuat mereka terperosok tanpa bisa kembali ke jalan yang benar. Semua krisis ini menegaskan bahwa tegaknya ideologi kapitalisme hanyalah topeng bombastis untuk menutupi segala keroposnya. Sejatinya kapitalisme menuai kehancuran yang berasal dari dalam negerinya sendiri.
Diantara wujud krisis generasi sebagaimana terjadi di Amerika Serikat (AS), yakni sekolah yang semua muridnya adalah ibu muda. Tidak hanya muda, mereka berusia remaja antara 14–19 tahun itu, terdengar tangisan dan ocehan para bayi. Di dalam tas mereka, selain ada buku dan jurnal, juga ada popok dan pakaian bayi.
Bus sekolah memiliki kursi untuk bayi. Pada pagi hari, para murid dapat mengambil sarapan untuk diri sendiri dan anaknya. Bayi bisa dititipkan di tempat penitipan anak yang ada di sekolah secara gratis.
Keberadaan sekolah ini dianggap sebagai solusi mengurangi angka putus sekolah. Harapannya, meski mereka adalah ibu muda, namun tetap bisa mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
Namun, solusi ini justru berpotensi menjadi pedang bermata dua, mengingat arus deras gaya hidup liberal dan seks bebas tidak dihentikan. Remaja akhirnya tidak masalah seks bebas bahkan punya anak, toh sistem pendidikan menyediakan solusi pengasuhan anak.
Selanjutnya di Inggris, sekitar satu dari 100 perempuan memiliki kondisi Primary Ovarian Insufficiency (POI), yakni kondisi yang merujuk pada segala bentuk menopause sebelum usia 40 tahun. Kasus POI bahkan terjadi pada remaja yang berusia belasan atau 20-an tahun. Dampaknya, mereka tidak akan bisa hamil secara alami POI bisa disebabkan kondisi autoimun, gangguan kromosom, karena operasi pada rahim atau ovarium. Kasus POI disebabkan penggunaan pil kontrasepsi saat seks bebas.
Sederet masalah dialami para pemuda, bagaimana hendak mencetak calon pemimpin umat? Inikah visualisasi bonus demografi yang dibanggakan? Nyatanya membuat geleng kepala dan mengelus dada. Astaghfirullah.
Solusi atas semua krisis hanya pada merevolusi keyakinan pertolongan Allah dengan memperjuangkan penerapan dan penegakan syariat-Nya. Keyakinan itu hendaklah diberengi melayakkan diri untuk golongan yang dimenangkan-Nya.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah memberikan bekal agar jangan menjadikan fakta atau realitas sebagai mashdar (sumber) untuk menghukumi, tetapi fakta atau realitas itulah yang harusnya menjadi obyek yang harus dihukumi, yakni apakah sesuai dengan Islam atau tidak.
Beliau mengatakan dalam kutaib mafahim bahwa, “Adalah hal yang berbahaya memindahkan suatu perasaan menjadi bentuk perbuatan secara langsung tanpa dipikirkan terlebih dahulu karena hal ini tidak akan mengubah realita, bahkan menjadikan manusia berpikir mundur dan terbelakang. Ia berjalan dengan pemikiran yang rendah dengan menempatkan realitas (kenyataan) sebagai sumber pemikiran, bukan sebagai obyek pemikiran.”
Dengan bekal ini, mudah untuk melihat realitas yang ada dan tidak terkurung dalam perasaan. Namun perasaan tersebut dibawa kepada pemikiran yang telah menjadi Islam sebagai landasan berfikir, termasuk melihat realitas kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara.
Dengan ini tidak akan terjebak pada pemikiran yang berusaha untuk mencari pembenaran terhadap realitas yang sedang terjadi. Syekh Taqiyuddin telah mengajarkan agar menempatkan realitas sebagai obyek pemikiran, bukan sebagai sumber pemikiran. Artinya, fakta atau realitas sebagai obyek yang dihukumi, bukan untuk menghukumi. Yakni apakah fakta atau realitas tadi sesuai tidak dengan Islam.
Inilah yang disebut pemikiran islami, sebagaimana disebutkan Syekh Muhammad Husain Abdullah dalam bukunya Ad-Dirasatu Fii Fikril Islami, bahwa, “Upaya menilai fakta dari sudut padang Islam”.
Sayangnya, banyak umat Islam terjebak dengan realitas yang ada, sehingga muncul kalimat, “Syariat Islam itu memang wajib, tetapi tidak bisa diterapkan di negeri ini karena negeri ini bukan negara Islam.”
Perkataan demikian tidak muncul, kecuali memang pemahamannya terjebak kepada konsep realitas, menjadikan realitas sebagai mashdar (sumber) untuk menghukumi sesuatu. Padahal, sangat jelas bahwa tolok ukur seseorang adalah menjadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai standar dalam menilai benar atau salah. “Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (sunah) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (QS An-Nisa: 59)
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selagi (kalian) berpegang teguh dengan keduanya yaitu Al-Qur’an dan sunahku”. (HR Al-Hakim).
Suatu kesyukuran tidak terhingga rasanya bisa ditemukan dengan dakwah yang dirintis Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah sehingga setiap segala sesuatu menjadi jelas dan tidak abu-abu dalam membangun pemikiran dan saat akan melakukan suatu perbuatan.
Allah SWT berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah : 3).
Ayat ini adalah salah satu bukti bahwa harapan menuju kehidupan yang lebih baik hanyalah dengan aturan yang bersumber dari Allah, yakni aturan Islam, menyatakan garansi kesempurnaan Islam. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kafah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 208).
Ayat ini menegaskan pentingnya masuk Islam secara kaffah, terikat dengan seluruh aturannya. Jika ada sedikit celah yang menyebabkan tidak kaffah, maka di titik itu akan menjadi kesempatan bagi aturan selain Islam untuk masuk dan meracuni kehidupan.
Dalam mengonstruksi tegaknya peradaban Islam, mustahil dilakukan generasi yang rapuh. Generasi para sahabat, adalah generasi awal konstruktor peradaban Islam. Mereka potret generasi terbaik dan tangguh, hasil binaan Rasulullah SAW. Mereka berkepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikap seiring, sejalan dan selaras dengan aturan Islam. Keyakinan menjadi umat terbaik, adalah keyakinan yang utuh, tidak setengah-setengah.
Inilah karakter Rasulullah SAW yang tenang dan mantap untuk berjuang, adalah golongan orang yang layak diberi kemenangan (al-mansh?rah) oleh Allah, yakni dengan tegaknya peradaban Islam yang pertama di Madinah.
Rasulullah SAW bersabda, “Ada sekelompok dari umatku, mereka tetap berada pada kebenaran, mereka tidak akan terpengaruh oleh orang yang menghinanya, sampai datang keputusan Allah, dan mereka pun dalam kondisi seperti itu.” (HR Ibnu Majah).
Jelas sudah, revolusi dan resolusi 2023 untuk Indonesia dan dunia. Jaminan Allah melalui penerapan syariat Islam kafah sudah lebih dari cukup demi segala kebaikan dan keberkahan. Adanya keridaan Allah, adalah satu-satunya kunci untuk terlepas dan tuntas dari berbagai krisis.
Oleh karenanya, tidak ada sesuatu selain Islam yang layak dibela, apalagi diperjuangkan. Di samping itu, formalisasi syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah juga tidak boleh diabaikan. Islam adalah satu dan utuh, tidak boleh dipecah belah atau diambil sebagian-sebagian berdasarkan hawa nafsu manusia. Wallahualam bish shawwab.