Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Tren Gugat Cerai, Solusikan Bagi Perempuan?

×

Tren Gugat Cerai, Solusikan Bagi Perempuan?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Wafiqoh Syarifah
Pemerhati Sosial tinggal di Amuntai

Angka perceraian di Banjarmasin, Kalimantan Selatan semakin tinggi. Dari data, selama Januari hingga Juni 2021 tercatat sudah hampir mencapai 1.500 kasus. Menurut Badan Kepedudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, penduduk yang berstatus cerai hidup di Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 87,4 ribu jiwa pada Desember 2021. Jumlah tersebut porsinya mencapai 2,12 persen dari total penduduk di Kalsel yang mencapai 4,12 juta jiwa, sekaligus menjadi porsi tertinggi dibandingkan 33 provinsi lainnya. Jika dirinci lagi, kabupaten/kota di Kalsel yang penduduknya paling banyak bercerai adalah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) 3,29 persen, kemudian Tapin 2,85 persen, diikuti Hulu Sungai Tengah (HST) sebesar 2,57 persen, Kota Banjarmasin sebesar 2,39 persen dan Hulu Sungai Utara (HSU) 2,38 persen (05/07/2021,Klikkalsel.com)

Android

Akar Gugat Cerai

Maraknya kasus perceraian, khususnya gugat cerai yang dilakukan pihak istri dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, seperti faktor ekonomi, diantaranya suami yang tidak menafkahi, ataukah penghasilan suami lebih sedikit dibandingkan penghasilan istri, ketidakcocokan pasangan juga masih menjadi alasan gugat cerai, serta kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan bisa muncul dari cekcok yang berimbas pada adanya kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi pemicu perceraian yang dilayangkan pihak istri. Banyak pihak menuding, pernikahan dini sebagai penyebab perceraian. Pihak lain menyatakan rapuhnya ketahanan keluarga yang tercermin dari ketimpangan peran ekonomi antara suami dan istri.

Perlu dipahami bahwa sebab-sebab tersebut hanyalah cabang. Ada sebab lain yang memunculkan persoalan tersebut, yaitu sistem kehidupan yang diterapkan Negara dan masyarakat. Sistem tersebut adalah Kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan. Seseorang merasa bahagia ketika mampu memenuhi kebutuhannya, baik primer ataupun sekunder, bahkan tersier. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, ia merasa kurang bahagia dan muncullah berbagai konflik dalam rumah tangga.

Tak heran jika tekanan hidup terus meningkat, suami rentan melakukan KDRT yang bisa jadi awalnya hanya percekcokan biasa, adu mulut, sehingga merasa tidak nyaman dan tidak cocok lagi.

Massifnya kasus gugat cerai ini sungguh mengindikasikan bahwa ada perubahan cara pandang perempuan, khususnya muslimah yang terkena pengaruh ide kesetaraan gender feminis. Cara pandang Islam berbeda dengan mereka untuk mengeksiskan diri dengan mengumbar permasalahan keluarga dan menuntut kesetaraan dengan memberi penentangan atas hak laki-laki yang dianggap lebih dari mereka. Izin keluar rumah kepada suami, laki-laki sebagai pemimpin di rumah tangga, suami pencari nafkah utama, yang notabene lahir dari aturan Islam dianggap sebagai cara pandang yang membuat posisi yang tidak setara yang menyebabkan perempuan seolah menjadi dinomerduakan dan rentan mndapatkan perlakuan yang tidak layak dari seorang laki-laki (suami),sehingga para penggiat perempuan berusaha membuat perempua khususnya muslimah saat ini agar menerima ide dan solusi yang mereka tawarkan

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Imam Nahe’i mengatakan semakin banyak perempuan yang berani mengambil resiko untuk melakukan perceraian. Artinya ada kesadaran penuh bagi perempuan utuk berpisah dengan suaminya ketika situasi keluarga tak memungkinkan lagi dipertahankan. Sebab menurutnya, selama ini cara pandang patriarki di Indonesia kerap menyalahkan istri ketika hendak menggugat cerai suaminya. Perubahan ini mengindikasikan bahwa kesadaran perempuan di tengah budaya stereotip tersebut sudah semakin baik berkat pendidikan dan penguatan gender dalam beberapa tahun terakhir.

Ditambah sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Paham ini membuat umat Islam memandang agama sebagai ritual semata dalam kehidupan sehari-hari, hukum agama dipinggirkan. Kaum muslim pun makin jauh dari ketakwaan.

Solusi Atasi Perceraian

Islam merupakan agama yang unik, agama yang tidak hanya mengatur masalah ritual atau aspek ruhiyah saja, namun juga memiliki seperangkat peraturan Islam memandang masalah ekonomi dari segi tercukupinya kebutuhan individu per individu, baik kebutuhan pokok, kesehatan maupun pendidikan. Aturan Islam juga mengenalkan pada kewajiban nafkah. Suami wajib hukumnya menafkahi anak dan istri. Apabila suami ingkar, pegadiln berhak memaksa atau menyita harta suami untuk menafkahi keluarganya secara layak. Apabila suami tidak mampu karena sakit atau cacat, kewajiban tersebut berpindah kepada para wali dari jalur suami. Apabila ternyata mereka semua miskin, maka negaralah yang akan mengeluarkan kas Negara untuk mencukupinya. Selain itu, negara juga menyiapkan lapangan pekerjaan yang luas agar suami bisa menafkahi keluarganya. Negara juga akan menutup rapat celah terjadinya pegaulan bebas di masyarakat dengan sistem pergaulan dengan beberapa aturan, seperti kewajiban menutup aurat, larangan berkhalwat, campur baur yang tidak ada hajat syar’i didalamnya, mejaga pandangan dan kehormatan, khusus muslimah menggunakan jilbab, tidak tabaruj dan larangan safar sehari semalam lebih tanpa mahram. Selain itu dalam pendidikan Islam, negara akan memberikan penndidikan yang berbasis akidah islam agar penenaman iman dan takwa masyarakat tumbuh denga baik terlebih nantinya ketika mereka berumahtangga sehingga memahami betul peran, kewajiban dan haknya masing-masing sebagai suami istri. Maka dengan pengaturan Islam, maka istri khususnya akan memahami perannya dan tidak akan mudah terpengaruh pemikiran gender, sehingga gugat cerai yang terjadi sebagaimana saat ini akan mampu diminimalisir. Wallahu Alam Bi shawab.

Iklan
Iklan