Banjarmasin, KalimantanPost.com – Penggaduhan sapi yang dilaksanakan Dinas Perikanan dan Peternakan Hulu Sungai Selatan (HSS) ada yang tidak sesuai dengan regulasi.
Salah satunya adalah terdapat kelompok peternak fiktif yang menerima sapi gaduhan.
Demikian diungkapkan saksi ahli Muhammad Fadli dari Perwakilan Badan Pengawas Pembangunan dan Keuangan (BPKP) Kalsel pada sidang lanjutan dengan terdakwa Mulyadi di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmamsin, Senin (4/12).
Di bagian lain, saksi mengatakan bahwa apabila ada pengembalian kerugian negara, tetapi perhitungan telah dilakukan oleh pihak BPKP, maka pengembalian kerugian tersebut tidak dapat diperhitungkan mengurangi kerugian dimaksud.
Sementara terdakwa Mulyadi di hadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Suwandi, pada agenda pemeriksaan mengakui perbuatannya.
Terdakwa mengaku punya alasan kenapa uang yang disebut sebagai kerugian negara tidak dikembalikan ke kas daerah karena disebabkan dua orang yang membeli sapinya sudah meninggal
dunia dan yang kedua lari entah kemana, sehingga terdakwa yang menanggungnya.
“Kenapa tidak ditagih ke ahli warisnya,” tanya hakim Suwandi.
Terdakwa menjawab kalau si pembeli tersebut tidak punya ahli waris. Sementara bukti penjualan sapi sapi tersebut tidak dimiliki oleh terdakwa, karena berdagang berdasarkan kepercayaan saja.
Terdakwa Mulyadi adalah seorang pengusaha yang terlibat penjualan sapi sapi gaduhan dengan dana dari Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Dalam penjualan sapi gaduhan tersebut, terdakwa tidak menyetorkan ke kas daerah sebesar Rp 313.500.000. Jumlah ini merupakan unsur kerugian negara.
Menurut dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mahdan Kahfi dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Selatan, seharusnya sapi yang dibeli dari penggaduh uang yang harus disetorkan setiap ekornya 35 persen dikembalikan ke kas daerah, tetapi Mulyadi selaku pengusaha justru tidak menyetorkan ke kas daerah. Sementara 65 persennya menjadi milik pengaduh.
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Suwandi, lebih jauh JPU menyebutkan bahwa pengadaan ternak sapi untuk kelompok tani tersebut dianggarkan mulai tahun 2011 sampai 2016 untuk 22 kelompok tani yang penyelurannya dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan anggaran mencapai Rp 3 miliar.
Perkara ini sendiri juga menyeret salah satu ASN di dinas tersebut yang menjadi terpidana yakni Ahmad Romansyah yang diganjar selama enam tahun penjara pada tahun 2022 lalu.
Selain itu Romansyah juga didenda Rp 300 juta subsidair tiga bulan penjara. Sedangkan uang pengganti yang harus dibayar Rp 953 juta bila tidak dapat membayar maka kurungan bertambah selama tiga tahun.
JPU terhadap terdakwa Mulyadi mematok Pasal 2 jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHPidana, pada dakwaan primair.
Serta Pasal 3 jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHPidana.(hid/K-4)