Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Bunuh Diri Anak : Kerapuhan Akibat Sekulerisme

×

Bunuh Diri Anak : Kerapuhan Akibat Sekulerisme

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Memilukan dan tragis. Banyak dari kita yang tidak bisa berkata-kata ketika mendengar berita seorang anak usia 10 tahun nekat mengakhiri hidupnya. Terlebih jika alasannya adalah sepele, yaitu dilarang memainkan HP. Namun itulah kenyataan yang harus diterima orang tua di Pekalongan. Keseharian anak yang ceria tidak mencegahnya melakukan tindakan di luar nalar. Kejadian bunuh diri anak ini menambah deretan kasus bunuh diri di Indonesia yang semakin meningkat setiap tahun. Bunuh diri menjalar di semua umur dari anak-anak hingga dewasa dan lansia. Khusus bunuh diri anak, tahun 2023 ini telah terjadi 20 kasus bunuh diri (rri.co.id, 11/11/2023).
Sungguh realitas ini adalah alarm keras kondisi generasi kita yang harus diselamatkan. Pemerintah, pendidik, orang tua harus segera mengambil peran. Bukan menyelamatkan dari sekedar jalan pintas bunuh diri. Namun semua pihak harus menyelesaikan dari akar masalah bunuh diri itu sendiri, yaitu kerapuhan mental. Karena bunuh diri adalah klimaks dari kondisi kerapuhan dan salah satu penampakannya. Selain bunuh diri, kerapuhan memunculkan fenomena lain yang akibatnya sama: menghancurkan diri generasi seperti narkoba, miras, pergaulan bebas dan bentuk-bentuk eskapisme (pelarian) lainnya. Lantas mengapa generasi kita begitu rapuh, fragile?

Baca Koran

Fenomena Global Sekulerisme
Maraknya kasus bunuh diri di negeri mayoritas muslim tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Fenomena ini seolah mustahil. Namun sebenarnya ada kesamaan antara kehidupan di negeri ini dan negara lainnya, yaitu menerapkan sekulerisme kapitalisme. Kehidupan saat ini menawarkan kemudahan dan kebebasan. Kehidupan dijalani seolah tanpa beban. Namun kehidupan yang semakin mudah tersebut tidak berbanding lurus dengan semakin kuatnya keinginan manusia menikmatinya. Ternyata banyak yang memilih mengakhiri hidup. Bunuh diri terjadi di negara-negara ‘impian’ seperti Korea, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa.
Paradoks tersebut bisa dipahami dari telaah konsep kebahagiaan. Pemenuhan kebutuhan hidup dan naluri manusia hanyalah sekedar pemenuhan. Pemenuhan tersebut memberi kesenangan yang mirip kebahagiaan namun sebenarnya bukan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah perasaan yang dalam dan penuh yang berakar pada kesadaran hubungan diri dengan Tuhan atau spiritualitas (ruhiyah). Dengan ruhiyah manusia menyadari dirinya dan apa yang dinikmatinya serta yang menimpanya sebagai ketetapan Allah SWT, Tuhan semesta alam. Perasaan sabar dan syukur adalah wujud dari spiritualitas. Kesadaran ruhiyah pula yang selalu mendorong perbuatan yang dilandasi keterikatan dengan hukum Tuhan. Selanjutnya manusia akan memiliki dorongan amal dan taat. Kesadaran ini menghindarkan manusia dari perasaan jenuh dan putus asa dalam menghadapi persoalan hidup, sebaliknya dia akan penuh motivasi dalam kehidupan.
Namun tatanan kehidupan sekulerisme menyingkirkan sumber kebahagiaan, spiritualitas tersebut. Agama hanya mewujud dalam ibadah saja. Di luar ibadah, manusia terlepas dari ruhiyah karena amal perbuatan dilandasi prinsip manfaat dan jauh dari kesadaran taat. Lebih parahnya lagi, kehidupan sekulerisme kapitalisme ini menghadapkan manusia pada masalah-masalah yang tidak kunjung selesai seperti kesulitan ekonomi dan hilangnya rasa aman. Kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin sangat lebar. Yang kaya merasa hampa sedangkan yang miskin menjadi merana dan putus asa. Kerapuhan mental menjalar dan memunculkan eskapisme, jalan pintas seperti bunuh diri, alkoholisme dan adiksi narkoba.
Spiritualitas manusia dibentuk oleh tatanan kehidupan yang membangun suasana iman baik pada lingkup keluarga, masyarakat dan negara. Realitas ini terwujud dalam sistem Islam. Sistem Islam dengan penegakkan hukum Islam mengkondisikan keimanan. Spiritualitas adalah asas kehidupan Islam.
Masyarakat mengafirmasi nilai-nilai Islam. Secara tidak langsung mengokohkan keimanan individu. Masyarakat melakukan kontrol sosial: dakwah dan amar makruf nahi munkar tentang yang baik-buruk, terpuji-tercela, benar-salah menurut syariat. Masyarakat tidak diam dan mengambil sikap dan tindakan.
Dan peran negara sangat dominan mempengaruhi setiap individu, keluarga dan masyarakat. Dalam tatanan ekonomi, sistem kehidupan Islam memberikan solusi kesejahteraan. Negara mengoptimalkan peran keluarga. Dengan kesejahteraan keluarga khususnya ibu akan bisa berkonsentrasi membersamai generasi.
Dan yang sangat penting pula adalah penyelenggaraan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam. Hanya pendidikan berbasis aqidah Islam yang bisa mengarahkan generasi pada keimanan dan sosok yang unggul dan tangguh. Selaras dengan sistem pendidikan adalah media yang kondusif. Negara dengan kekuatannya akan melakukan kontrol terhadap media yang diakses generasi. Generasi tidak akan dengan sengaja dipapar dengan pengaruh hedonisme dan liberalisme. Mereka tidak terinspirasi melakukan kejahatan dan pelanggaran seperti bunuh diri. Media dipenuhi edukasi dan dakwah.
Pembentukan sosok generasi dengan kepribadian dan karakter Islam mencegah kerapuhan mental. Arah kehidupan generasi juga disibukkan dengan ketaatan dan penuh dengan himmah, cita-cita untuk kebaikan hidup di dunia dan di akhirat. Semua akan terwujud dalam kehidupan dengan pemberlakuan syariah Islam secara menyeluruh dalam bingkai khilafah.

Baca Juga :  Upaya Serius di Atas Pondasi Gagal: Sebuah Ironi Struktural Kekerasan Seksual
Iklan
Iklan