Oleh : Kayyisah Alkhalis
Aktivis Dakwah Muslimah
Insiden maut tabrakan kereta api (KA) di jalur tunggal (single track) kembali terjadi di Indonesia. Kecelakaan melibatkan KA Turangga dan KA Lokal Commuter Line Bandung Raya pada Jumat (5-1-2024) pagi, telah merenggut jiwa empat orang dan korban luka 42 orang. Tragedi terjadi di KM 181+700 petak jalan antara Stasiun Haurpugur-Stasiun Cicalengka, di daerah di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sekitar pukul 06.03 WIB.
Sekian banyak kejadian kecelakaan KA terdahulu, nyatanya masih belum menjadi pelajaran yang mestinya menjadikan pemerintah melakukan berbagai perbaikan agar kecelakaan KA tidak terulang, apalagi hingga menelan korban jiwa. Sungguh, kelalaian berulang dari pemerintah dalam menjamin keselamatan transportasi telah membawa mudarat bagi publik.
Kelalaian pemerintah tampak pada lambatnya penanganan pascakecelakaan KA Turangga dan KA Lokal Commuter Line Bandung Raya. Kesaksian seorang penumpang KA Turangga yang selamat, Herry Aliyudin, ketika ia keluar kereta sesaat setelah kejadian, ia melihat pramugara—yang beberapa menit sebelumnya mengambil selimutnya—terjepit di antara rangkaian gerbong yang ringsek. “Saya lihat tangannya masih minta bantuan,” katanya. “Dia itu posisinya di gerbong empat, kalau enggak salah, dia ke gerbong empat dengan kereta makan itu, jadi terjepit gitu si pramugara,” lanjutnya. Mirisnya, tidak ada seorang pun yang menolong, bahkan petugas memerintahkan Herry dan para penumpang lain untuk menjauh sebab kala itu asap mulai mengepul dari gerbong kereta. Akhirnya, pada Jumat sore, diberitakan bahwa si pramugara yang awal kecelakaan (Jumat pagi) masih bernyawa, tersebab lambatnya pertolongan, dikabarkan telah meninggal dunia. Jelas ini kelalaian nyata yang tidak dapat dimungkiri!
Selain itu, alat-alat berat untuk mengevakuasi korban maupun KA didatangkan dari tempat jauh yang bisa memakan waktu lama, padahal korban yang masih hidup membutuhkan bantuan segera. Sebagaimana disampaikan Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati, pengiriman petugas gabungan serta crane berasal dari Stasiun Kiara Condong (Kircon) dan Stasiun Solo Balapan. Lokasi tempat alat-alat tersebut jauh dari lokasi kecelakaan sehingga untuk sampai di lokasi kecelakaan membutuhkan waktu yang sangat lama. Begitulah, ketaksigapan pemerintah menangani kecelakaan KA hingga menyebabkan hilangnya nyawa publik, merupakan sebuah kezaliman yang tidak bisa ditoleransi.
Penentuan penyebab kecelakaan secara cepat seyogianya dapat menjadi evaluasi dan mitigasi pada masa yang akan datang agar tidak terjadi lagi kecelakaan. Untuk insiden tabrakan maut antara KA Turangga dan KA Lokal Commuter Line Bandung Raya, hingga kini pun pemerintah belum mengetahui penyebab terjadinya insiden itu. Sebagaimana dinyatakan oleh Adita Irawati, Kemenhub memastikan bersama KNKT akan melakukan penyelidikan dan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab dari kejadian itu.
Demikian pula Manajer Humas KAI Daop 2 Bandung Ayep Hanapi, Rabu (10-1-2024), mengatakan, “KAI belum mengetahui penyebab tabrakan kereta api tersebut, artinya KAI menunggu hasil investigasi dari KNKT.”
Insiden serupa berupa tabrakan kereta “adu banteng” pernah terjadi di Indonesia dan telah diketahui penyebabnya, tetapi kini terulang. Bukankah hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melakukan mitigasi?
Beberapa faktor yang diungkapkan oleh para pakar mengenai penyebab kecelakaan KA Turangga dan KA Commuter Line Bandung Raya belum sampai pada penyebab paling mendasar. Di antaranya seperti diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Joko Setijowarno. Menurutnya, sistem jalur tunggal dan kesalahan manusia (human error) bisa menjadi faktor penyebab kedua kereta saling adu banteng. Demikian juga menurut pakar transportasi di ITB, Sony Sulaksono, yang menyoal kerawanan di jalur tunggal kereta. Tabrakan di Cicalengka, katanya, rentan terjadi jika muncul masalah sinyal maupun kesalahan manusia. Sony menekankan pentingnya pembangunan jalur ganda di jalur selatan Jawa Barat seperti Tahap 2 proyek Kiaracondong-Cicalengka.
Berbeda dengan pendapat soal pentingnya jalur ganda menekan kecelakaan, pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, menyebut fokus mestinya ditekankan pada pengaturan lalu lintas kereta. Menurutnya, kecelakaan pada jalur tunggal kereta terus menurun karena pengaturan ketat dengan bantuan teknologi. “Di setiap stasiun selalu ada petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) yang mengatur. Dengan teknologi yang sederhana pun bisa berjalan, misalnya seperti penggunaan lampu-lampu di rel,” ujar Ellen.
“Jadi jangan dipersepsikan bahwa di jalur tunggal ada kemungkinan kecelakaan yang tinggi. Syaratnya, harus ada pengaturan yang baik. Kalau memang dibutuhkan frekuensi perjalanan kereta yang lebih banyak, barulah dibutuhkan jalur ganda karena satu rangkaian kereta bisa menunggu lama di stasiun,” lanjutnya.
Proyek pembangunan jalur ganda sendiri tidak bertujuan pada aspek keselamatan. Hal ini dinyatakan oleh Direktur Prasarana Perkeretaapian di Kemenhub, Harno Trimadi, yang menyebut proyek jalur ganda itu akan memperpendek waktu tempuh dan berpotensi meningkatkan jumlah penumpang hingga 25 persen.
“Keberadaan jalur ganda memangkas waktu tempuh dari jalur Bandung-Cicalengka yang selama ini menghabiskan waktu 43 menit. Diharapkan dengan pembangunan double track ini, bisa ditempuh dalam waktu 30 menit,” kata Harno (Februari 2022). Ironisnya, pada Desember 2022, Harno malah divonis lima tahun penjara dalam kasus suap pengerjaan perbaikan perlintasan kereta sebidang di Jawa dan Sumatra tahun anggaran 2022.
Tidak hanya itu, pemerintah pun disinyalir menjadikan dalih jalur ganda sebagai solusi tabrakan adu banteng di jalur tunggal agar dapat membuat proyek baru. Terbukti dari pernyataan Kemenkeu yang menyebut dengan adanya kecelakaan ini, pembiayaan untuk pembangunan jalur ganda menjadi makin relevan. “Belajar dari kejadian kecelakaan tersebut, urgensi untuk dilakukannya pembangunan jalur ganda kereta api menjadi makin relevan, sehingga diharapkan ke depan tidak akan terjadi lagi kecelakaan sejenis,” kata Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Dwi Irianti Hadiningdyah lewat pesan teks, Jumat, (5-1-2024).
Beberapa faktor yang diungkapkan sebagai penyebab kecelakaan tersebut sejatinya merupakan kelalaian pemerintah dalam menjamin keselamatan publik dalam bertransportasi. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi terhadap pengelolaan transportasi darat, dalam hal ini perkeretaapian yang dijalankan di negara ini.
Jika ditelusuri secara mendasar, pangkal penyebab berulangnya kecelakaan KA bukan semata faktor jalur tunggal atau kesalahan manusia, melainkan juga pada tata kelola transportasi yang berlandaskan pada sistem kapitalisme neoliberalisme. Terjadinya beberapa kelalaian pemerintah sebagaimana yang disebutkan di atas merupakan hal yang dianggap wajar dalam sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme menjadikan perkeretaapian sebagai lahan komersial (pasar) yang akan mendatangkan materi. Neoliberalisme menjadikan hajat hidup publik tidak lebih sebagai komoditas (barang dagangan). KA yang merupakan transportasi publik dijadikan lahan bisnis perkeretaapian yang akan mendatangkan keuntungan materi.
Dalam sudut pandang neoliberalisme, sangat penting untuk memisahkan fungsi regulator dan operator (pelaksana). Negara hanya berperan sebagai regulator, peran negara di bidang ekonomi hanya pada aspek pengaturan (regulasi), pengawasan (monitoring), dan penegakan hukum (law enforcement). Pemikiran ini juga menetapkan bahwa negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat. Oleh karena itu, negara berlepas tangan atas apa yang terjadi dalam perkeretaapian, termasuk dalam masalah kecelakaan KA.
Pengelolaan transportasi darat diserahkan sepenuhnya kepada operator, yaitu korporasi (seperti PT Kereta Api Indonesia (Persero), KAI Commuter, dan KAI Logistik). Sedangkan tujuan utama berdirinya operator adalah meraih keuntungan dari bisnis perkeretaapian, bukan melayani masyarakat. Alhasil, masalah keselamatan bukan prioritas utama. KA yang tua tidak menjadi prioritas, yang penting bisnis berjalan dan mendapat keuntungan materi. Alih-alih menjamin keselamatan publik, justru nyawa publik bahkan para kru kereta api menjadi taruhannya.
Sungguh, sistem kapitalisme neoliberalisme adalah sistem batil dan zalim dalam pengelolaan transportasi darat. Jaminan keselamatan bagi masyarakat saat bertransportasi dalam sistem ini adalah hal yang nihil, tidak mungkin terwujud secara hakiki. Inilah bahaya politik transportasi kapitalistik.
Oleh karenanya, negara ini harus berpaling dari pengelolaan transportasi sistem batil kapitalisme neoliberalisme kepada pengelolaan sahih yang menjamin keselamatan masyarakat dalam bertransportasi darat secara hakiki. Hanya sistem Islam (Khilafah) yang memiliki beberapa prinsip pengelolaan transportasi publik yang sahih karena dilandasi syariat Islam yang berasal dari Sang Pencipta. Di antara beberapa prinsip tersebut, bahwa transportasi faktanya tidak saja sebagai urat nadi perekonomian, tetapi lebih dari itu, yakni urat nadi kehidupan masyarakat sehingga merupakan kebutuhan dasar publik. Khilafah memandang KA sebagai transportasi publik yang merupakan urat nadi kehidupan dan kebutuhan dasar manusia yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Khilafah berwenang penuh dan bertanggung jawab langsung untuk memenuhi hajat publik, khususnya pemenuhan hajat transportasi publik yang menjamin keselamatan para penggunanya. Jaminan keselamatan tidak diserahkan kepada operator. Ini karena operator bukanlah pihak yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyat sehingga tidak dapat mengharapkan realisasi jaminan keselamatan dari operator.
Rasulullah SAW bersabda, “Pemerintah adalah raa’in dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR Bukhari).
Khilafah juga berkewajiban menjamin ketersediaan transportasi publik yang memadai. Tidak boleh terjadi dharar (bahaya seperti kesulitan, penderitaan, kesengsaraan) yang menimpa masyarakat pengguna transportasi.
Khilafah juga akan menyediakan moda transportasi beserta kelengkapannya yang terbaik bagi masyarakat dengan prinsip pelayanan, yaitu sebagai penanggung jawab dan pelindung (raa’in dan junnah). Dengan prinsip ini, negara akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyediakan KA dengan teknologi terbaru dengan tingkat keselamatan yang tinggi, serta para kru yang terdidik.
Penyediaan moda transportasi dan kelengkapannya tidak boleh diserahkan kepada operator yang hanya berhitung untung-rugi. Dapat dipastikan bahwa operator tidak akan mampu menutupi dana untuk memenuhi hal ini.
Infrastruktur jalan KA juga disediakan dan dikelola secara langsung oleh negara. Demikian juga teknologi informasi, akan disediakan dan dikelola oleh negara. Jika negara memandang IT sebagai industri strategis, negara akan membangun industri IT berikut risetnya. Tentu hal ini juga tidak boleh diserahkan kepada operator.