oleh: AHMAD BARJIE B
BIAR hujan emas di negeri orang, dan hujan batu di negeri sendiri, tentu masih lebih baik hidup di negeri sendiri, demikian peribahasa. Hal ini sesuai pula dengan maksud hadits, “Ada empat kebahagiaan seseorang, yaitu punya istri salehah, anak-anak yang baik, lingkungan yang baik dan rezekinya diperoleh di negara/daerah tempat tinggalnya”. (HR Dailami).
Hadits di atas berlaku umum, baik untuk pria maupun wanita. Karena itu sebaiknya seseorang mencari rezekinya di daerahnya sendiri, biar sedikit, asalkan tidak berpisah dengan keluarga. Kalau berpisah, jangankan berlainan negara, berlainan kota dan daerah pun sudah merepotkan. Anak kehilangan ibu dan atau ayahnya, suami kehilangan istri dan istri kehilangan suami.
Saat ini amat banyak TKI/TKW bekerja di luar negeri, seperti di Arab Saudi, Hongkong, Malaysia, Singapura dan sebagainya. Sementara banyak tenaga kerja asing bekerja di negeri kita. Ini aneh tapi nyata.
Kecenderungan bekerja di luar negeri, sebenarnya bukan hal yang positif, bahkan tidak sejalan dengan hadits di atas. Apalagi kebanyakan hanya menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Itu sebabnya, MUI menurut ketua umumnya dulu (KH. Hasan Basri), dari dulu sudah tidak menyetujui pengiriman TKW, khususnya pekerja kasar.
Ada berbagai masalah sekitar TKW ini, diantaranya: Pertama, umumnya TKW adalah pekerja kasar yang tak memiliki keterampilan (nonskilled workers). Posisi mereka sangat lemah di mata pengusaha yang mengirim/menyalurkannya dan majikan yang mempekerjakannya. Karenanya gampang dilecehkan hak-haknya. Sudah teramat sering kita mendengar TKW mengalami pelecehan seksual, dianiaya dan diabaikan hak-haknya. Balada (kisah sedih) TKW tak kalah dengan film India, penuh liku, duka dan air mata.
Kedua, TKW dan pengirimannya masih banyak yang tidak tahu hukum, baik hukum antarkerja antarnegara, maupun hukum setempat. Di samping itu hukum perlindungannya masih amat lemah, termasuk di dalam negeri sendiri.
Ketiga, yang lebih untung hanya perusahaan pengerah/pengirim saja. TKW-nya sendiri tak jarang justru menderita, dan nasibnya kurang dipedulikan.
Keempat, tak sedikit keluarga yang amburadul. Suami terpaksa menceraikan istrinya, anak terpaksa kehilangan kasih ibunya, dan sebagainya, sudah teramat sering kita dengar.
Islam memang tak melarang wanita bekerja. Namun kerja dimaksud sepanjang tidak mengurangi hak suaminya, dan seizin saumi atau ayah yang bersangkutan. Kalau meninggalkan sekian lama, tentu hak suami sudah terabaikan. Walau suami mengizinkan, atau ada kiriman uang, itu tetap berbahaya bagi keutuhan keluarga. Bukankah kehadiran ibu sangat penting dalam sebuah keluarga?