Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Narasi kesetaraan gender terus diaruskan dalam pembahasan masalah perempuan dan agenda pemberdayaan perempuan. Berbagai program baik berupa kampanye maupun program intervensi seperti aturan dan kebijakan digulirkan untuk merealisasikan konsep ini dalam realitas masyarakat. Kesetaraan gender dianggap sebagai formula ampuh untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan kekerasan pada perempuan. Ini disebabkan anggapan bahwa kekerasan dan kemiskinan disebabkan oleh ketimpangan dan bias gender dari budaya patriarki yang menjadikan kaum laki-laki pihak yang dominan dalam ekonomi dan kekuasaan.
Dalam narasinya kesetaraan gender adalah perwujudan pemberdayaan dan kemajuan perempuan. Hasil akhir dari kesetaraan gender adalah keluarga yang berkualitas dan bangsa yang maju. Apakah realita kesetaraan gender seindah narasi yang digaungkan?
Bahaya Konstruksi Kesetaraan
Konstruksi kesetaraan gender merupakan cita-cita dan perjuangan gerakan feminisme yang bermula di Barat sejak awal abad 19. Mereka menyuarakan hak-hak perempuan dan kebebasan perempuan. Gagasan hak dan kebebasan perempuan selalu menyertai semua isu dan masalah yang dicitarasakan sebagai wujud ketertindasan perempuan atau perempuan sebagai korban. Gagasan feminisme juga menganggap peran tradisional perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga sebagai belenggu dan pekerjaan rendah karena tanpa upah.
Konstruksi kesetaraan gender menginginkan perempuan berkiprah di ranah publik untuk meraih apa yang diraih oleh laki-laki, yaitu materi dan kekuasaan (power). Di dunia Islam, mereka mencoba mengubah agama (Islam) yang menetapkan syariat dan norma yang jelas tentang laki-laki dan perempuan.
Kaum muslimin mestinya menyadari bahaya konstruksi kesetaraan gender bagi mereka. Kesetaraan gender mengukuhkan sekulerisme dan jebakan sistem kapitalisme. Prinsip kebebasan, yaitu kebebasan berperilaku, kebebasan kepemilikan, kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat menjadi prinsip sistem sekuler kapitalisme. Suatu konsekuensi logis, ketiadaan standar sahih, melahirkan masalah perilaku seperti kekerasan yang tidak hanya menimpa perempuan, tapi juga kaum laki-laki. Terkhusus sistem ekonomi kapitalisme yang dominan penerapannya, memang akan memaksa perempuan untuk hidup dalam perjuangan ekonomi dan mengejar nilai materi.
Karenanya, bagi perempuan muslimah, alih-alih memberdayakan, konsep kesetaraan gender justru memperdaya. Sering dikampanyekan perempuan sukses dalam karier dan jabatan karena menjadi direktur atau memiliki jabatan tinggi di pemerintahan. Namun itu mengecoh. Faktanya konstruksi kesetaraan gender hanya membuat perempuan berbondong-bondong keluar rumah dan memasuki dunia kerja. Perempuan terjebak menjadi mur-baut, penggerak mesin ekonomi dan pemburu cuan yang melelahkan. Bukankah dunia kerja berbentuk piramida? Semakin tinggi maka semakin sedikit orang yang mengisinya. Direktur hanya satu orang, sedangkan pekerja mencapai ratusan orang. Dan kerugian terbesar adalah terabaikannya peran mulia dan strategis sebagai ummu wa rabbatul bait, yaitu peran sebagai ibu dan isteri yang menjadi pilar kokohnya keluarga dan lahirnya generasi umat berkualitas.
Islam Memuliakan Perempuan
Sistem Islam dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh akan memposisikan perempuan dalam kemuliaan. Sistem Islam mengkondisikan sumber daya manusia yang luhur baik laki-laki dan perempuan. Peran negara sebagai roin, yaitu pengurus rakyat memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan asasi pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Sehingga kesejahteraan bukan barang langka sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Namun syariat membolehkan perempuan bekerja seiring dengan hukum-hukum sebab-sebab kepemilikan dan jalan pengembangan harta yang berlaku sama bagi laki-laki dan perempuan. Namun perempuan tidak bekerja untuk menjadi tulang punggung keluarga dan juga bukan untuk nafkah. Jadi dorongan perempuan bekerja adalah untuk kontribusi pada masyarakat dan umat.
Aktivitas perempuan sudah diatur dalam syariat. Perempuan adalah manusia hamba Allah SWT, sebagai bagian dari masyarakat dan sebagai pribadi dengan fitrah keperempuanan.
Hukum wajib bagi perempuan dalam Islam adalah ummu wa rabbatul bait, ibu dan pengatur rumah tangga. Jadi pemberdayaan perempuan mengarahkan perempuan dalam perannya yang mulia sebagai ummu ajyal (pembentuk generasi).
Dengan demikian, pemberdayaan perempuan harus mengarah pada upaya kaum perempuan mengoptimalkan seluruh peran sesuai Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam. Bukan pada seruan kemandirian dan kesetaraan, apalagi menjadikan perempuan ujung tombak perekonomian keluarga. Wallahu alam bis shawab