oleh: Dr Hidayat
MEMBANGUN sebuah negara maju, yang sejahtera rakyatnya adalah tidak mudah. Mendirikan negara idaman seperti itu memerlukan waktu yang lama dan kebijakan politik yang tepat lagi berani. Kalau hanya punya bendera negara, wilayah kekuasaan, pemerintah dan rakyat, itu semua tidak menjamin tercapainya tujuan sebuah negara yang sebenar. Banyak contoh negara yang tidak ideal di atas, tapi hanya menjadi negara komplik, miskin dan tidak jarang hanya menjadi sasaran percobaan persenjataan modern, bahan politik dari negara-negara maju.
Salah satu faktor pendukung penting tercapainya sebuah negara maju adalah pengaturan perpajakan yang baik. Fungsi utama pajak adalah sebagai sumber penerimaan negara, serta sebagai alat regulasi untuk mengatur kebijakan ekonomi, sosial, dan stabilitas fiskal. Karena diantara pemasukan paling besar kepada sebuah negara adalah hasil pajak.
Belakangan ini akhir 2024, masyarakat dikejutkan dengan pengumuman pemerintah yang akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari sebelumnya 11 % akan dinaikkan menjelang pertukaran tahun 2025 menjadi 12%. Sebelumnya, tarif PPN adalah 10%. Namun, sesuai aturan Pasal 4 angka 2 UU HPP yang mengubah Pasal 7 ayat (1) UU PPN, tarif PPN adalah 11% per 1 April 2022 dan tarif PPN naik menjadi 12% per 1 Januari 2025 mendatang.
Pengumaman pemerintah ini kontak direspon beragam oleh masyarakat Indonesia. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. Prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12% yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian.
Respon yang berbeda dengan pemerintah, dalam beberapa pendapat yang terekam pada umumnya kurang bersetuju diberlakukannya PPN 12% pada awal tahun 2025 ini. Rata-rata mereka mengatakan, agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut. Kalau ada respon yang positif setuju dengan kebijakan pemerintah ini, tetap mengatakan; kenaikan pajak ini dapat ditunda. Seperti ungkapan Pakar Ekonomi Makro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Dr Imamuddin Yuliadi mengatakan”, meskipun kebijakan ini dibuat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, agar tetap berjalan sesuai dengan yang sudah ditetapkan, serta sebagai upaya agar agenda-agenda pembangunan yang telah dimulai oleh pemerintahan sebelumnya dapat terus berjalan. Oleh karena itu, Prof. Imamuddin menilai, kajian ulang perlu dilakukan yang harus mengacu pada fungsi pajak yang mencakup tiga aspek, yakni stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Artinya, jika penerimaan pajak pemerintah meningkat, maka pengeluaran fiskal pemerintah juga harus meningkat, terutama untuk memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat.
Dari perdebatan dan perbedaan pendapat di atas, dapat dimunculkan pertanyaan, bagaimanakah hukum pajak PPN dilihat dari sudut pandang maslahah. Sebab dalam merespon sesuatu dan memberikan hukum terhadap fenomena menurut imam al-Gazali harus dikembalikan kepada maslahahnya. Oleh sebab itu, topik menarik untuk dicari solusinya untuk kebaikan bersama’
Sejarah PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pungutan yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa kena pajak di wilayah Indonesia. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan jenis pajak tidak langsung dan termasuk dalam kategori pajak konsumsi. Pemungutan PPN dapat dikenakan pada wajib pajak orang pribadi maupun badan.
Pemberlakuan PPN di Indonesia dimulai dari diterbitkannya Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau lebih dikenal dengan UU PPN.
Dalam perkembangannya, UU PPN telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan pertama melalui Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan melalui pengesahan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku pada pada 1 Januari 2001. Selanjutnya, perubahan ketiga yaitu pada tahun 2009 melalui Undang Undang Nomor 42Tahun 2009 yang mulai berlaku pada 1 April 2010. Perubahan terakhir UU PPN dilakukan pada tahun 2021 yang termasuk dalam materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 (Undang – Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang mulai berlaku pada 29 Oktober 2021 khususnya berkaitan dengan kebijakan tarif.
Gagasan dasar mengenai PPN pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Wilhem von Siemens, seorang pengusaha di Jerman pada tahun 1920 – an. Ide ini muncul akibat masalah yang timbul dari penerapan pajak peredaran. Konsep PPN ini juga terjadi di Amerika yang diinisiasi oleh Thomas S. Adams pada tahun 1921. Beliau menekankan bagaimana cara untuk mengurangi pajak atas penjualan dengan pajak yang sebelumnya telah dibayarkan atas pembelian barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk mengurangi efek mengalir atau cascading effect, yang dikenal dengan PPN sekarang ini.
Pajak Dalam Islam
Islam tidak melarang membangun sebuah negara maju dan makmur, bahkan menganjurkan supaya ummatnya mencintai negaranya. Dalam satu hadith maudu’ disebutkan hubb al-watn min al-iman artimya cinta negara adalah sebagian dari iman. Karena negara yang kacau lagi tidak aman akan membawa dampak negatif kepada semua sektor kehidupan terutama dalam beribadah kepada Allah SWT. Oleh sebab itu dalam Islam terdapat kutipan wajib dari rakyat yang dibayarkan kepada pemerintah, apalagi sebuah negara itu sedang mengalami defisit dan kekurangan uang. Kata bahasa Arab yang merujuk kepada pajak adalah al-jizyah dan al-kharaj, ini dapat dilihat dalam surah al-Taubah ayat 29 dan surah al-Kahf ayat 94.
Kedua istilah ini menurut kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah halaman 51-53, merujuk kepada bayaran wajib berupa harta yang diberikan kepada pemerintah untuk dikembalikan kepada rakyatnya dalam menjamin semua kestabilan negaranya. Menurut imam al-Qurtubi mentafsirkan ayat 94 al-Kahfi di atas halaman 384 dan 385 juz 13 mengatakan pemerintah wajib menjaga rakyatnya dengan biaya yang diambil dari harta mereaka.
Bagaimanapun imam al-Qurtubi memberikan Batasan dalam mengambil harta rakyat itu dengan mengatakan tidak dibolehkan pemerintah mengambil atau mewajibkan pajak kepada rakyatnya kecuali dalam keadaan darurat, juga diambil secara tranparan (jahran). Dihubungkan dengan zaman sekarang, arti jahran mungkin tepat dengan melalui undang-undang atau peraturan.
Merajut Hubungan Antara Rakyat dan Pemerintah melalui kebijakan PPN
Menurut Islam, hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah merupakan satu kemuliaan. Karena itu, gesekan yang terjadi di antara mereka pun termasuk sesuatu yang tercela dan harus segera diselesaikan. Allah SWT mengatur hubungan antara pemImpin dengan raknya dengan firmannya dalam surah al-Nisa’ ayat 58 dan 59 sekira-kira artinya sebagai berikut:
Ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kemudian Ayat 59 : Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”
Dari ayat pertama di atas Allah menyuruh pemerintah agar berbuat adil sedangkan ayat berikutya (ayat 59), Allah SWT memerintahkan rakyat agar mantati pemerintah. Kalau dikumpulkan dua ayat di atas terdapat beberapa poin yang harus diaplikasikan baik pemerintah maupun rakyat. Dari sisi pemerintah terdapat beberapa poin yaitu: Pemimpin wajib menegakkan keadilan, menjamin hak rakyatnya, mensejahterakan rakyat, memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan dari sisi rakyat pula kewajibannya diantaranya: Taat kepada pemimpin, ikut serta menjaga keamanan dan kestabilan negara , berkontribusi membela negara, berperan aktif dalam mensukseskan undang-undang dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
Para Ulama tidak tinggal diam dengan rencana ini, diantaranya Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas meminta pemerintah untuk menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 ditunda.
Dikaitkan dengan amanat Undang-undang pasal 7, No.7 tahun 2021, tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, hal 67 dan keputusan Presiden Prabowo yang telah membatasi kenaikan PPN 12 % hanya barang-barang super mewah telah merajut hubungan antara pemerintah dan rakyat. Artinya, setelah pengumuman itu rakyat terlihat senang dan tidak terdengar adanya yang berdemonstrasi lagi. Diharapkan suasana damai dan tentram ini menjadi salah satu faktor pertumbuhan ekonomi di negara ini. Banyak dari kalangan masyarakat yang mengapresiasi kebijakan tersebut, seperti Waketum MUI KH Marsudi Syuhud menghargai dan memberikan penghormatan kepada pemerintah atas pembatalan ini.
Setiap kebijakan diutamakan kemaslahatan
Untuk membangun sebuah negara maju memerlukan kerja-sama semua pihak, pemerintah yang adil akan menyusun peraturan yang pro dengan rakyat untuk kepentingan semua kalangan. Rakyat yang taat, akan ikhlas mengikuti peraturan pemerintah tersebut karena sadar bahwa peraturan itu bertujuan untuk kebaikan semua golongan. Dalam kasus PPN ini, sekalipun pemerintah hanya menjalankan Undang-undang, tetapi dengan kekuatan yang ada kepada pemerintah, akhirnya semua pihak terutama rakyat berpendapatan menengah ke bawah dapat menerima dan mengpresiaisi kebijakan adil ini. Apa yang dilakukan oleh pemerintah ini adalah sesuai dengan kaedah fiqh dalam kitab Idah al-qaqa’id al-fiqhiyyah, hal. 117 yang berbunyi: tasarruf al-imam ’ala al-ra’yah manut bi al-maslahah (segala tindakan atau kebijakan seorang Imam (pemimpin) harus mengacu pada kemaslahatan). Imam al-Ghazali, menjelaskan maslah dalam kitab al-Mustashfa adalah jalb manfa’ah aw daf’i madharrah (menarik manfaat dan menolak mudarat). Dengan arti kata bahwa setiap kebijakan
yang dibuat kalau dapat membawa manfaat, akan berdampak positif terhadap negara dan rakyat.
Hasil kebijakan pemerintah mewajibkan PPN 12 persen hanya terhadap barang-barang mewah, telah disambut gembira dan diapresiasi oleh rakyat. Juga hasilnya sangat membagakan diantaranya tidak ada lagi demontrasi yang menyita perhatian umum terutama para pembisnis, yang bisa memperlambat pergerakan ekonomi negara. Dengan terciptanya suasana yang kondusif akan mendorong pemerintah untuk memfokuskan perhatiannya terhadap urusan-urusan yang lebih urgen.
Kemudian dengan kejadian ini juga telah menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terutama Presiden Prabowo terus naik. Hasil survei terbaru Litbang Kompas yang dirilis pada Senin, 20 Januari 2025, mengungkap tingkat kepuasan para responden terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencapai 80,9 persen.
Harapan kita semua semoga kebijakan-kebijakan pemerintah ke depan lebih mengedepankan kebaikan dan kemaslahatan untuk semua sebagaimana yang dicontohkan pada PPN ini.