Oleh : Ahmad Barjie B
Budayawan
Bila kita punya kalung manik-manik lalu diangkat dan putuskan talinya, butirannya akan berjatuhan dengan cepat. Inilah perumpamaan jika manusia gemar berbuat dosa, bala bencana akan ditimpakan bertubi-tubi tanpa henti.
Empat belas abad lalu Nabi SAW telah memperingatkan adanya sejumlah dosa dan kesalahan fatal manusia yang sangat riskan mengundang murka Allah. Pertama, para suami lebih taat kepada istrinya ketimbang ibunya. Maksudnya, semakin banyak kaum pria berada di bawah pengaruh istrinya, sehingga kehilangan kejantanannya, dan pada saat yang sama ibunya terabaikan. Ibu yang dulu mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh sekian tahun dengan penuh kasih sayang tanpa batas, ketika beristri begitu gampang dilupakan, ibu yang tua renta dibiarkan tidak berdaya. Gaji dan penghasilannya dikuasai istrinya, dan nyaris tidak tersisa untuk orangtuanya. Tujuan perkawinan yang sejatinya mengakrabkan dan memperluas persaudaraan, justru sebaliknya karena kebodohan istri membuat rusak dan renggangnya hubungan kekeluargaan.
Kedua, orang lebih akrab dengan teman daripada bapak atau saudaranya. Karena kepentingan bisnis, kesamaan derajat sosial, ekonomi, pendidikan, orang gampang melupakan ayah atau saudaranya sedarah yang berjasa. Saudara dianggap orang lain yang dijauhi bahkan dibenci, sementara orang lain dianggap saudara yang didekati dan disayangi.
Ketiga, harta negara dianggap milik pribadi. Korupsi yang merajalela sekarang karena merasa uang negara/rakyat adalah miliknya/kroninya, lalu berupaya memakannya secara ilegal. Berbagai aturan dibuat sebagai justifikasi menyedot uang rakyat, dan belum lama disinyalir banyak uang negara tersimpan dalam rekening pejabat. Ini semua riskan dan sarat muatan korupsi. Keempat, amanah tidak ditunaikan, jadi bahan permainan. Orang gigih mengejar amanah dengan menduduki jabatan publik, menjadi pejabat legislatif, eksekutif, yudikatif dll, tetapi setelah jabatan diperoleh amanah rakyat tidak lagi diperjuangkan. Yang dikejar hanya kekayaan, kedudukan dan kelanggengan kekuasaan.
Kelima, zakat dianggap uang tebusan, tidak ditunaikan secara tulus melainkan terpaksa. Makin besar uang zakat makin malas dan enggan mengeluarkannya karena ada rasa kikir dan sayang. Enggan berbagi dengan kalangan dhuafa yang sangat membutuhkan. Keenam, ilmu dipelajari bukan untuk agama, tetapi dunia. Orang sekolah, kuliah S0, S1, S2, S3 dan mengejar berbagai gelar akademis bukan untuk kemajuan dan kemuliaan agama, melainkan demi karier, jabatan, gengsi dan popularitas. Pesan al-Ghazali bahwa hakikat pendidikan untuk kebaikan agama dan akhlak sudah dilupakan.
Ketujuh, mudah terjadi hiruk pikuk dan bising di masjid. Orang bukannya asyik iktikaf, berzikir, shalat atau berdoa di masjid, melainkan menjadikan masjid tempat ngobrol ngalur ngidul, membicarakan bisnis, memainkan HP dan pembicaraan keduniaan seperti layaknya toko atau pasar. Ketika ulama ceramah jamaahnya juga ceramah, sehingga pesan agama terbawa angin saja.
Kedelapan, orang fasik menjadi pemimpin, dan banyak pemimpin bukan orang terbaik dilihat dari agama, akhlak dan kapabilitasnya. Mereka menjabat karena kekayaan, lobi dan dukungan kuat, sehingga calon-calon pemimpin yang lebih berkualitas terpinggirkan. Akibatnya, banyak urusan publik terabaikan, nasib rakyat tidak kunjung diberdayakan. Kesembilan, banyak orang dimuliakan bukan karena kemuliaan, ilmu dan akhlak atau kedermawanannya, melainkan karena kejagoan, kekejaman dan kebengisan dan pengaruhnya. Orang tak berani melawan, lalu mengambil langkah aman dengan menjilatnya.
Kesepuluh, artis dan penyanyi yang suka menggumbar aurat dan merangsang birahi dianggap biasa, bahkan jadi mode dan tren yang perlu ditiru. Kesebelas, khamar (dan narkoba) dianggap perkara biasa, tidak merasa lagi itu terlarang dan berdosa. Dan kedua belas, umat suka mencaci-maki dan mencemooh orang-orang terdahulu. Mereka menganggap orang-orang dahulu bodoh dan tolol. Para ulamanya dilecehkan, pemikirannya ditertawakan, dianggap ketinggalan zaman.
Sadar Sekarang
Bila dosa-dosa di atas dilakukan, Allah memastikan datangnya bala bencana. Ada berupa angin panas (rihan hamra), bisa berupa kemarau panjang, kebakaran, awan panas, asap, pemanasan global dan sejenisnya. Ada berupa zalzalah, bumi bergoncang, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api. Ada bencana yang menenggelamkan manusia ke dalam bumi (hasfan) seperti banjir, tanah longsor, kapal tenggelam dan kecelakaan. Ada perubahan bentuk manusia (maskhan) misalnya menjadi tikus, ular, binatang jelek dan mengerikan, atau badannya rusak karena penyakit akibat kedurhakaan. Ada pula hujan batu dari langit (qadfan) seperti lahar gunung api, hujan es, hujan abu, kejatuhan meteor, ledakan bom dll., yang berbahaya. Semua terjadi bertubi-tubi, manusia yang terkena tidak sempat mengelak lagi.
Para ulama dan khatib di Banjarmasin seperti Drs H Tabrani Basri dan Dr Abdul Basir, M.Ag, dll, sering menyitir hadits riwayat Imam Turmudzi dari Abi Hurairah di atas dalam khutbah dan ceramahnya. Kita berharap warning agama ini perlu terus disampaikan kepada umat. Sebab, berbagai bala bencana yang hampir tiap hari menimpa bangsa ini, boleh jadi karena ke-14 dosa di atas sudah terlalu banyak kita perbuat. Jika diamati, nyaris semua dosa tersebut sudah terjadi dan kita lakoni. Elit, menengah maupun rakyat awam sudah akrab dengan kesalahan-kesalahan tersebut.
Apa pun jenis bencana perlu segera diatasi dengan sigap oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Tetapi di saat sama, pemerintah dan masyarakat hendaknya semakin sadar, dengan cara lebih dekat kepada Allah, menjauhi segala dosa, kesalahan dan penyimpangan dari ajaran agama dan hukum negara, yang mengundang kemurkaan Tuhan. Tidak ada yang terjadi di dunia ini kecuali atas Ilmu, Kudrat dan Iradat-Nya. Kalau bencana terus menimpa, kita akan makin terpuruk, pembangunan berjalan lamban. Kita hanya sibuk menambal jalan rusak dan baju bolong, tanpa sempat menambah jalan dan membeli baju baru. Terlalu banyak energi, daya dan dana tersedot bencana.
Kita hendaknya lebih bersahabat dengan alam. Penebangan, penambangan, legal maupun ilegal harus dihindari, pencemaran dihentikan. Tindakan rakus, sembrono dan arogan mengekploitasi alam tanpa reklamasi dan reboisasi, sebagaimana kata Emha Aiunun Najib, rentan menimbulkan kemarahan alam. Kalau tidak mau sadar juga, berarti kita menunggu datangnya bencana yang lebih besar lagi, atau sampai ia menimpa diri kita sendiri. Na’uzu billah. Wallahu A’lam.