oleh: Baiq Lidia Astuti SPd
Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan
RAMADAN sudah dipertengahan jalan, kaum muslim berlomba-lomba dalam ketaatan, dimana dosa-dosa diampunkan, dan pahala atas kebaikan dilipat gandakan.
Di bulan Ramadan, kaum muslim juga bersemangat untuk menjauhi kemaksiatan. Tentu kemuliaan Ramadan ini bisa dirasakan bersama ketika kaum muslim yang individunya, masyarakatnya, dan juga negaranya sama-sama taat pada perintah dan larangan Allah.
Sayangnya, kemuliaan Ramadan di coreng dengan masih banyaknya manusia yang melakukan kemaksiatan, ini bisa disaksikan dari bagaimana pengaturan tempat hiburan malam (THM) selama Ramadan.
Pemprov Jakarta melarang sejumlah tempat hiburan malam untuk beroperasi selama bulan Ramadan hingga Idulfitri 1446 Hijriah. Jenis tempat hiburan yang wajib tutup adalah kelab malam, diskotek, mandi uap, rumah pijat, arena permainan ketangkasan untuk orang dewasa, serta bar atau rumah minum.
Hal ini tertuang dalam Surat Pengumuman Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Nomor e-0001 Tahun 2025 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata Pada Bulan Suci Ramadan dan Hari Raya Idulfitri Tahun 1446 Hijriah atau 2025 Masehi.
Disparekraf DKI Jakarta mengecualikan larangan operasi tempat hiburan yang selama Ramadan hingga Idulfitri jika tempat usaha pariwisata tersebut berada di hotel bintang 4 dan bintang 5, serta kawasan komersial serta tidak berdekatan dengan pemukiman warga, rumah ibadah, sekolah dan/atau rumah sakit. Sementara itu, tempat karaoke hingga biliar tetap buka selama bulan suci Ramadan. Hanya saja, jam operasional kedua tempat hiburan itu akan dibatasi.
Pengaturan jam operasi tempat hiburan selama Ramadan dan tetap dibukanya THM di hotel tertentu menunjukkan kebijakan penguasa hari ini tidak benar-benar memberantas kemaksiatan. Apalagi ada daerah yang tak lagi melarang operasinya selama Ramadan. Nampaklah Inilah potret pengaturan berdasarkan sistem kapitalisme yang sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Paradigma yang digunakan asas kemanfaatan meski melanggar ketentuan syariat. Karena itulah, sarang kemaksiatan bisa mendapatkan izin beroperasi sebab ada keuntungan disana. Bahkan kehadiran bulan suci Ramadan pun tak mampu mencegah praktik kemaksiatan. Ini bukti nyata adanya sekularisasi.
Di sisi lain, adanya kemaksiatan model ini sejatinya juga menunjukkan gagalnya sistem pendidikan sekuler, dimana sistem pendidikan ini mencetak pribadi pribadi yang jauh dari kepribadian islam dan bersifat permisif terhadap kemaksiatan.
Seharusnya bagi setiap muslim berupaya maksimal meninggalkan maksiat. Maksiat bukan hanya dilarang saat Ramadan, tetapi juga setiap waktu. Dengan tegas, kita diperintahkan menjauhinya.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan justru mengamalkannya, Allah tidak butuh rasa lapar dan haus yang ia tahan”. (HR Bukhari).
Kemaksiatan hanya dapat diberantas tuntas dengan penerapan syariat Islam secara kafah dalam naungan Khilafah. Hal ini karena dalam Islam kemaksiatan adalah pelanggaran hukum syara’ dan ada sanksinya. Tujuannya agar sanksi itu bisa menjadi jawazir atau pencegah agar orang lain tidak muncul keinginan untuk melakukan kemaksiatan yang sama. Dan disisi pelaku, sanksi hukuman akan bersifat jawabir atau kuratif agar pelaku kemaksiatan menyesali perbuatannya dan taubat nasuha.
Adapun yang disebut kemaksiatan, adalah meninggalkan kewajiban semisal meninggalkan sholat, zakat, puasa, dan sebagainya. Atau melakukan keharaman seperti judi, meminun khomar, zina, dan sebagainya.
Tidak dipungkiri bahwa tempat pariwisata dan tempat hiburan yang dilarang saat Ramadhan mengandung kemaksiatan seperti judi, tempat minum khomar, zina, aurat terbuka, campur baur laki laki dan perempuan dan kemaksiatan lainnya.
Karena itu, dalam negara yang menerapkan Islam atau khilafah, bisnis pariwisata seperti ini akak mendapatkan sanksi sesuai jenisnya. Seperti peminum khamar, judi dan zina mereka akan mendapatkan hukuman hudud, sementara bagian mereka yang membuka aurat mereka akan mendapatkan sanksi ta’zirta’zir dimana hukuman hukuman ini berefek jawazir dan jawabir hingga tidak akan muncul jenis pariwisata yang demikian.
Islam memiliki paradigma tersendiri tentang pariwisata yang dibangun sesuatu syariat bukan kemanfaatan.
Pengaturan semua aspek kehidupan termasuk hiburan dan pariwisata akan berlandaskan akidah Islam, dan bukan dengan asas kemanfaatan. Semua bentuk yang menjerumuskan pada kemaksiatan akan dilarang. Dan akan diterapkan sanksi tegas yang menjerakan.
Sistem Pendidikan Islam juga berperan dalam menghasilkan individu yang bertakwa yang akan berpegang pada syariat baik dalam memilih hiburan maupun dalam membuka usaha/memilih pekerjaan.
Alhasil, penerapan Islam kaffah akan menjadi junnah atau perisai yang akan menjauhkan umat dari kemaksiatan, tidak hanya di bulan Ramadhan tapi juga di bulan bulan lainya. Wallahu A’lam