Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sungai Veteran, Sepotong Kisah Sejarah Kanal

×

Sungai Veteran, Sepotong Kisah Sejarah Kanal

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid adalah salah anggota Ambin Demokrasi Kalimantan Selatan *)

oleh: Noorhalis Majid

SUNGAI Veteran yang mengalir di Kota Banjarmasin, memiliki beberapa nama, ada yang menyebut sungai Pacinan, karena berada di kawasan Pacinan. Ada juga yang menyebutnya sungai Takkong, mungkin dari bahasa Hokkian, Ta berarti besar dan Kong artinya kelenteng. Ada juga yang memberi nama sungai Tapekong, sebab lokasinya di belakang Tapekong, Klenteng besar tempat ibadah tiga agama warga Tionghoa.

Baca Koran

Panjang sungai ini 2.064.875 m, lebarnya 20 meter, tapi ada yang tersisa 3 meter, karena dimakan bangunan, jalan dan jembatan. Dahulu, sungai ini menjadi sarana transportasi, perdagangan, interaksi sosial dan segala kebutuhan domistik.

Sungai veteran ini, semula sungai alam – sebab Banjarmasin sejatinya terdiri dari delta-delta yang dihubungkan oleh sungai, kemudian diperbaiki menjadi kanal. Pengembangan sejumlah potensi sungai menjadi kanal dilakukan sejak tahun 1770, dan dilakukan secara serius dan terencana pada tahun 1898, di bawah kepemimpinan Residen Krosen.

Menurut Mansyur, sejarawan Banjar, Pemerintah waktu itu mendatangkan seorang insinyur ahli penataan sungai, Ir Karsten. Nama lengkapnya Herman Thomas Karsten, lulusan Technische Hoogescholl di Delf, Belanda, tahun 1914. Seorang ahli sungai yang sangat berpengalaman, sebelum ke Banjarmasin, ia terlibat dalam perencanaan Koloniale Tentonsteling di Semarang (1916).

Sebelum menata kanal di Banjarmasin, Thomas Karsten membaca berbagai literatur terkait topografi dan kondisi kawasan lahan yang kurang lebih sama dengan Banjarmasin. Ia mempelajari perencanaan perluasan kota Amsterdam dan Hague. Juga mempelajari konsep Granpre Moliere dalam membuat taman pinggiran kota Vreewijk di Rotterdam. Bahkan membaca karya P. Fockem Adrew berjudul De Hedendaagsche Stedebouw, satu konsep tentang perencanaan kota modern tahun 1912, berisi tentang masalah perencanaan kota dan perumahan di Belanda yang topografinya kurang lebih sama dengan Banjarmasin. Bermodal pengalaman dan literatur itu semua, jauh-jauh hari ia sudah mempersiapkan perencanaan penataan sungai di Banjarmasin.

Setelah datang ke Banjarmasin, oleh Residen Krosen ia ditugaskan untuk menyusun perencanaan penataan sungai. Tentu bukan pekerjaan mudah dan sebentar. Setidaknya pada rentang waktu hingga tahun 1920, ditata sepuluh kanal utama di pusat kota Banjarmasin. Penataan kanal-kanal tersebut menjadikan kota Banjarmasin, kala itu dikenal sebagai kota kanal.

Baca Juga :  PENGHANCUR IBADAH

Bukan main-main, reverensi dalam menata kanal-kanal di Banjarmasin adalah literatur dan berbagai dokumen terkait pembuatan kanal yang ada di Balanda, Italia, Belgia, Denmark, Jerman, yang dipelajari oleh Thomas Karsten. Kota-kota tersebut dikenal sebagai kota kanal sejak abad ke-17, dengan rumah di tepi sungai dan jembatan yang tidak mematikan sungai.

Sekarang kanal-kanal yang dirancang oleh Thomas Karsten tersebut berganti menjadi nama sungai, bahkan namanya mengikuti nama jalan disampingnya, padahal awalnya nama kanal tersebut bukan seperti itu, misal kanal Takkong atau Tepekong, berubah menjadi sungai Veteran. Begitu juga kanal Oelin, berubah menjadi sungai A Yani, yang sekarang bentuknya justru malah menjadi selokan.

Sepuluh kanal yang menjadi proyek penataan kota kala itu, antara lain Kanal Raden (Antasan Raden), Kanal Jalan Sutoyo, Kanal Jalan Veteran, Kanal Jalan A Yani, Kanal Pirih, Kanal Benteng Tatas/Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Kanal Pangambangan, Kanal Besar Jalan Mulawarman atau Jalan Jafri Zam Zam, Kanal Awang, dan Kanal Bilu. Semua kanal ini terhubung dengan Sungai Martapura dan Sungai Barito, sehingga sangat strategis dalam mengatasi banjir.

Seandainya kanal-kanal tersebut terawat dengan baik, maka lanskap kota Banjarmasin, setara dengan kota-kota kanal ternama, yang sekarang menjadi obyek wisata terindah di dunia.

Pada masa Walikotamadya Effendi Ritonga (1984-1989), revitalisasi sungai juga mendasarkan pada cetak biru (blue print) rancangan Thomas Karsten. Waktu itu Effendi Ritonga mempelajari kembali konsep rancangan kota ala Thomas Karsten, sehingga tidak keluar dari konsep yang sudah dibuatnya. Bahkan ia ingin menghidupkan kembali sungai-sungai sebagai urat nadi kehidupan.

Sekarang Kanal Veteran kembali direvitalisasi, agar fungsinya dapat dipulihkan. Sebenarnya revitalisasi Sungai Veteran juga sudah digagas saat era Wali Kota Yudhi Wahyuni (2005-2010), kemudian dilanjutkan Wali Kota Muhidin (2010-2015). Proyek ini dilanjutkan lagi, tujuan utama tentu saja untuk pengendalian banjir dan sisanya sebagai pengembangan kawasan wisata.

Bagaimana agar warga yakin proyek revitalisasi kanal veteran benar-bener bertujuan meremajakan sungai yang kondisinya sudah semakin uzur, hingga nampak tidak berfungsi lagi? Benarkah proyek ini meremajakan sungai, atau justru dipensiunkan, mengalah untuk pelebaran jalan alternatif?

Agar tidak terjadi kegaduhan, kami menyarankan, agar Balai Sungai, pihak yang menangani proyek ini dapat membuat sosialisasi dalam berbagai bentuk, termasuk menyajikan dalam bentuk video pendek, rancangan tentang bentuk dan wujud sungai yang akan dibuat. Termasuk manfaat tujuan yang benar-benar berfungsi mengendalikan banjir. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui media masa, atau media alternatif yang dapat diakses warga, sehingga semuanya mengetahui dan apabila bermafaat, mendukung sepenuhnya proyek tersebut.

Baca Juga :  Sistem Kota Ramah Anak

Bila perlu, sekalian dengan menghidupkan berbagai mitologi sungai yang jauh lebih dahulu dimiliki orang Banjar, sebagai cara dalam memperlakukan sungai. Bahwa di sungai tersebut bukan hanya hidup berbagai biota sungai dan rawa yang harus dilestarikan, namun juga terkandung alam bawah laut yang tak terbatas, dikuasai para datu yang harus dihormati.

Mitologi-mitologi tersebut ratusan tahun hidup berdampingan dengan masyarakat, sebagai kearifan dalam memperlakukan sungai. Jangan sesuka hati dengan sungai, karena di sungai itu ada datu buaya kuning dan buaya putih. Ada persaudaraan orang Banjar terhadap makhluk paling ganas di sungai, melahirkan budaya malabuh. Ada hantu banyu yang siap memangsa siapa saja yang tidak patuh pada berbagai pantangan. Ada tambun yang seketika dapat membuat orang mati lamas. Ada ulak banyu yang penuh dengan misteri. Dan yang pasti, nenek moyang orang Banjar, Ratu Junjung Buih, muncul dari sungai, menandai bahwa sungai haruslah dihormati.

Seandainya segala mitologi tersebut di lanjutkan menjadi logos atau pengetahuan, pastilah akan ada cara yang berkesinambungan dalam menjaga sungai. Sayangnya, semua mitologi itu diberangus oleh paham modern, dan lupa menggantikan, dengan cara apa sungai dapat dijaga dan dilestarikan.

Kalau Revitalisasi tersebut juga mewadahi segala potensi partisipasi, maka sungai tidak saja direvitalisasi secara teknis, tapi juga menghidupkan pengetahuan dan kearifan. Bukankah pada sungai tersebut bukan hanya tentang air yang mengalir, tapi di dalamnya ada cerita, sejarah, kenangan, dongeng, mitologi, pengetahuan, kebudayaan, bahkan segala bentuk keyakinan yang didasarkan pada sungai.

Sering kali, pertentangan pendapat terjadi bukan disebabkan perbedaan kehendak, maksud dan tujuan, tapi karena komunikasi yang buruk, menyebabkan semua pihak tidak mendapatkan informasi dan kesempatan yang sama baiknya untuk berpartisipasi. (nm)

Iklan
Iklan