Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Korupsi Tumbuh Subur di Alam Demokrasi

×

Korupsi Tumbuh Subur di Alam Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Norsanah, S.Sos          
Pemerhati Sosial

Lagi–lagi korupsi mencuat di tengah publik, KPK menetapkan Menteri Sosial  sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima sebesar Rp 17 miliar. (detik.com, 6/12/20).

Baca Koran

Di tengah buruknya kondisi rakyat yang masih digerogoti oleh covid – 19, seperti tak punya hati mensos tega mengorupsi dana bantuan sosial yang ditujukan untuk warga miskin. Yang sejatinya merupakan hak rakyat yang sedang berjuang menyambung hidup di tengah himpitan kehidupan masa pandemi.

Belum lagi jika kita menoleh kembali bagaimana getirnya perjuangan para dokter dan para tenaga medis yang berjuang bertaruh nyawa demi kesehatan dan keselamatan rakyat dari gempuran virus yang sangat berbahaya ini. Masih segar dalam ingatan ratusan dokter dan tenaga medis harus rela meregang nyawa, dengan alat pelindung diri serta sarana prasarana seadanya. Berjuang mati–matian untuk keselamatan rakyat.

Tentu korupsi ini begitu menyayat hati, luka di hati rakyat semakin menganga lebar dan semakin perih tak terperi. Maka wajar jika terdengar suara sumbang tuntutan rakyat jika sang koruptor bansos covid-19 sangat layak untuk dihukum mati.

Namun Institute for Criminal Justice (ICJR) menentang keras pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosial yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap dari pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19.

Demokrasi Lahan Basah Korupsi

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020. Hal ini berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2020. 139 kasus diantaranya merupakan kasus korupsi baru. (Kontan.co.id, 29/09/20).

Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terhadap tren persepsi publik tentang korupsi di Indonesia. Hasilnya, 45,6 persen responden menilai korupsi Indonesia meningkat dalam 2 tahun terakhir. “Kalau kita tanya kepada masyarakat dalam 2 tahun terakhir tingkat korupsi itu menurun, meningkat atau tidak mengalami perubahan. Seperti bapak ibu yang bisa dilihat disini, lebih banyak masyarakat bahkan ini hampir 50 persen sebetulnya, itu menyatakan bahwa korupsi itu meningkat,” kata Direktur LSI, saat konferensi virtual di YouTube LSI, Minggu (Detiknews, 6/12/2020).

Baca Juga :  Pembinaan Remaja

Dari realita tersebut, korupsi seakan tak pernah mati dan seperti penyakit bawaan, meski negeri ini memiliki seperangkat hukum untuk menuntaskannya. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi bahkan pada saat pandemi, ini menjadi bukti kegagalan sistem demokrasi melahirkan seperangkat aturan dan penguasa yang peduli.

Kekuasaan dalam sistem ini berbiaya tinggi. Otomatis penguasa membutuhkan sokongan dan sogokan dana dari para pemilik modal, agar bisa mendapatkan kekuasaan. Maka setelah berkuasa, para pejabat cenderung akan melakukan tindakan korupsi sebagai upaya pengembalian modal. Terlebih, sistem ini tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam kehidupan.

Alhasil aturan yang berlaku adalah aturan buatan manusia, hukum yang dibuat manusia bersifat sangat subyektif dan pasti membawa kepentingan para pembuatnya. Subyektivitas dan konflik kepentingan tidak akan bisa dilepaskan. Ketika manusia diberikan hak sebagai legislator (pembuat hukum), maka wajar jika hukum dalam sistem demokrasi sering berubah bahkan berubah menjadi “pisau dapur”. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas, sangat tegas pada rakyat miskin, namun sangat lemah pada para pejabat/ petinggi negara.

Maka tidak heran korupsi tetap tinggi, meski hukum bagi koruptor sudah dilegalisasi. Jadi korupsi bukan terletak pada problem individu semata, melainkan sistem yang berkuasa saat ini. Yakni sistem demokrasi.

Kasus korupsi sebenarnya bisa diminimalisir bahkan diakhiri jika sistem yang mengatur kehidupan masyarakat adalah sistem yang shahih. Yakni aturan yang berasal dari Yang Maha Pengatur, hukum Allah tidak bisa diperjualbelikan, tidak bisa direvisi dan tidak bisa diotak – atik oleh manusia. Sebagaimana aturan sistem demokrasi sekarang. Dari sini saja sudah bisa menghindari keculasan–keculasan.

Dalam Islam, pemilihan penguasa berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Memiliki kapasitas serta siap melaksanakan Al-Qur’an dan Sunnah. Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat negara tidak melakukan kecurangan. Baik korupsi, suap maupun yang lain. Ditambah lagi ketakwaan adalah salah satu syarat profesionalitas.

Baca Juga :  BERPIKIR DAN BERJIWA BESAR

Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negara. Adanya pengawasan yang ketat oleh Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan, ditambah keimanan yang kokoh, sehingga ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Sedangkan kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh pemerintah. Seperti pendidikan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Adapun kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah.

Setiap pejabat/ pegawai wajib memenuhi syarat amanah. Yakni wajib melaksanakan seluruh tugas–tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Korupsi adalah perbuatan haram dan dalam syariat Islam disebut dengan perbuatan khianat. Pelakunya disebut “Khaain”, ini berbeda dengan pencuri, tapi seseorang yang menggelapkan harta. Maka dari itu sanksi (‘uqubat) untuk koruptor adalah ta’zir, yakni sanksinya ditentukan oleh hakim. Rasulullah bersabda

“Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor, orang yang merampas hak orang lain dan penjambret)”. (HR. Abu dawud).

Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti nasehat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk atau bahkan hukuman mati. Sesuai dengan berat/ringannya kejahatan yang dilakukan.

Dengan sistem yang shahih ini insya Allah tindak pidana korupsi akan bisa diberantas dan bahkan bisa dicegah. Wallahu a’lam bish shawab.

Iklan
Iklan