Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Stunting, Mampukah Diselesaikan?

×

Stunting, Mampukah Diselesaikan?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Zuhra
Pemerhati Generasi

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan terus memperkuat langkah strategis dalam upaya percepatan penurunan stunting. Hal ini diwujudkan melalui Rakor yang dibuka oleh Plt. Asisten Pemerintahan dan Kesra, Muhammad Farhanie, mewakili Plh. Sekdaprov Kalsel, Muhammad Syarifuddin, bertujuan untuk menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), dengan agenda revisi SK TPPS serta penetapan Rencana Kerja (Renja) tahun 2025.

Baca Koran

Menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI), angka prevalensi stunting di Kalsel mengalami kenaikan tipis, dari 24,6 persen pada tahun 2022 menjadi 24,7 persen pada tahun 2023. Meskipun kenaikannya kecil, hal ini tetap menjadi perhatian serius, mengingat target penurunan stunting yang telah ditetapkan sebesar 14 persen pada tahun 2024. “Di beberapa wilayah Kalsel, angka stunting berhasil turun, sementara di beberapa daerah lain justru meningkat. Tantangan kita adalah memastikan penurunan angka stunting terjadi secara merata di seluruh wilayah, “ ujar Farhanie (Kalimantanlive.com).

Stunting masih menjadi persoalan serius dan menjadi salah satu program pemerintah yang harus diselesaikan. Menurut WHO, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar.

Pemerintah memandang perlu adanya perubahan perilaku masyarakat yang memicu stunting. Berbagai cara sudah diupayakan oleh pemerintah agar stunting bisa diturunkan, diantaranya adalah dengan peningkatan gizi anak melalui program pemberian makanan tambahan, peningkatan gizi ibu hamil dengan pemeriksaan kehamilan dan pemberian makan tambahan bagi ibu hamil, mendorong pemberian asi eksklusif, pemantauan tumbuh kembang balita, vaksinasi lengkap anak melalui program imunisasi dan sanitasi berbasis lingkungan, serta pembangunan infastruktur air minum.

Namun nyatanya, upaya penurunan stunting ini masih lamban bahkan tidak akan berdampak dan tidak akan berpengaruh jika akar masalah timbulnya stunting tersebut tidak dituntaskan. Padahal pada 2022, Indonesia telah menjadi negara dengan ekonomi terbesar di asia tenggara dan terbesar ke-17 di dunia. Meski demikian, 1 dari 5 anak di bawah usia 2 tahun mengalami kurang gizi kronis bahkan angka stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada 2022. UNICEF menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan prevalensi stunting yang tinggi karena masuk dalam 5 besar kasus stunting dari 88 negara di dunia.

Baca Juga :  HARTA

Persoalan stunting sebenarnya adalah bagian dari persoalan mendasar, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Dimana kemiskinan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan gizi dan nutrisi yang seimbang bagi ibu dan bayi dengan harga yang terjangkau, akses dan layanan kesehatan, serta sanitasi yang layak dan air bersih, ditambah peran negara yang berjalan lambat dan kurang serius bahkan abai akan pemenuhan dasar ini. Akibatnya, banyak rakyat yang kekurangan gizi, termasuk ibu hamil, bayi, dan anak-anak akibatnya membuat tumbuh kembang menjadi bermasalah.

Apabila program pencegahan stunting dibumbui dengan penyalahgunaan anggaran. Semisal pemberian makanan tambahan, yang semestinya mengandung sumber protein penting untuk pertumbuhan badan, hanya terwakili dengan pemberian biskuit dan susu dalam kegiatan posyando, pada hal anggaran penurunan stunting cukup besar. Carut marut penanganan stunting yang setiap tahun menjadi salah satu program prioritas mengindikasikan ketidaksesuaian pemerintah dalam menanggani persoalan stunting.

Jika akar persoalan stunting terletak pada kondisi kemiskinan, sudah semestinya upaya yang dilakukan adalah menyelesaikan persoalan kemiskinan tersebut. Hanya saja, persoalan kemiskinan akan sulit diberantas jika kepemimpinan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis masih menjadi platform kerja penguasa.

Sistem kapitalisme membatasi peran penguasa hanya sebagai regulator saja sedangkan seluruh persoalan rakyat diserahkan kepada swasta. Hal ini semakin menciptakan kemiskinan dan kesenjangan. Ketika pengaturan tata kelola urusan umat ini diatur berdasarkan kemaslahatan pengusaha, maka profitlah yang menjadi orientasi utama bukan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Wajar pula jika ditemukan kesenjangan yang begitu nyata, orang-orang kaya mampu memenuhi gizi balitanya akan tetapi bagi rakyat miskin jangankan memenuhi gizi balitanya untuk bisa makan sehari 3 kali saja butuh perjuangan luar biasa.

Politik demokrasi hanya menciptakan politik oligarki, dimana pemerintahan hanya dikuasi oleh segelintir elit yang berkhitmat kepada oligarki. Alhasil, seluruh kebijakan yang ditetapkan bermuara kepada keinginan mereka. Inilah yang menjadikan kebijakan selalu mandul dalam menyelesaikan pesoalan rakyat.

Baca Juga :  Kepemimpinan dan Program Ketahanan pangan Polda Kalsel (Sebuah Catatan Lapangan)

Implimentasi kebijakan dalam sistem demokrasi juga selalu menghadirkan perilaku korupsi. Menyelesaikan stunting harus lah dilakukan secara fundamental dan menyeluruh. Stunting ada karena ada masalah utama yang mendasarinya sehingga harus ditanggani dengan tepat dan benar.

Pencegah stunting yang tepat dapat dilakukan melalui penyelesaian yang multi dimensional. Pertama, negara menyediakan infrastruktur kesehatan yang memadai bagi seluruh rakyat tidak boleh ada pembatasan akses pelayanan kesehatan bagi siapa pun, baik orang kaya maupun orang miskin berhak terjamin kesehatannya, terutama ibu hamil dan balita. Dalam sistem pemerintahan islam, akses dan layanan kesehatan diberikan secara gratis baik dalam rangka pemeriksaan, rawat jalan, perawatan intensif, pemberian nutrisi tambahan atau vaksinasi.

Kedua, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jika setiap kepala keluarga sudah mencari nafkah dengan kebijakan negara yang memberikan kemudahan mendapatkan pekerjaan, para ayah tidak akan was-was mencukupi kebutuhan pokoknya. Tercukupinya nafkah memungkinkan keluarga mendapat asupan gizi dan nutrisi yang cukup, khususnya ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Mereka juga tidak akan kesulitan mengakses makanan bergizi yang harganya mahal seperti sayuran dan buah-buahan. Bahkan negara bisa menetapkan kebijakan harga pangan yang murah.

Ketiga, memberikan edukasi terkait gizi kepada masyarakat. Edukasi ini dapat berjalan efektif manakala faktor yang menjadi sebab terbatasnya akses makanan bergizi, seperti kemiskinan dapat terselesaikan dengan 2 peran negara tadi yang telah disebutkan sebelumnya. Jika negara memimpin dan menjamin pemenuhan pendidikan untuk seluruh warga. Masyarakat akan memiliki kepekaan literasi dan mampu menyerap edukasi yang diberikan. Peningkatan SDM melalui layanan pendidikan untuk seluruh lapisan masyarakat sangat penting bagi keberlangsungan dan masa depan sebuah bangsa.

Keempat, negara melakukan pengawasan dan pengontrolan yang berkala agar kebijakan negara seperti layanan kesehatan, akses pekerjaan, stabilitas harga pangan hingga sistem pendidikan, serta penggunaan anggaran dapat berjalan dengan aman. Semua itu dapat terwujud dengan paradigma kepemimpinan dan sistem yang mengikuti aturan sang maha pencipta yaitu islam kaffah.

Iklan
Iklan