Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan: Benarkah Sudah Berkeadilan?

×

Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan: Benarkah Sudah Berkeadilan?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Jummy
Aktivis Mahasiswa

Ketahanan pangan di Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi topik yang semakin mendesak untuk dibahas. Dengan inovasi pertanian seperti padi apung yang berkembang di daerah lahan pasang surut, pemerintah dan berbagai lembaga telah berupaya menciptakan solusi terhadap tantangan pangan di Kalsel. Namun, meski ada langkah-langkah positif, ketahanan pangan daerah ini masih berada dalam ancaman serius yang berakar pada sistem ekonomi yang berlaku saat ini.

Baca Koran

Di Desa Siang Gantung, Kecamatan Daha Utara, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, sejarah kecil baru saja tercipta: panen perdana padi apung di lahan pasang surut. Pemerintah Provinsi Kalsel bekerja sama dengan Bank Kalsel, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI) mempromosikan program ini sebagai bentuk dukungan terhadap ketahanan pangan daerah. Dengan mengandalkan teknologi budidaya padi terapung di lahan rawa, inisiatif ini digadang-gadang sebagai simbol adaptasi terhadap krisis iklim.

Kepala Dinas Pertanian Kalsel, Syamsir Rahman, menyebut inovasi ini sebagai langkah strategis untuk mengoptimalkan lahan rawa yang selama ini terpinggirkan. Pesta panen pun digelar, dihadiri oleh para pejabat dan pemangku kepentingan. Bank Kalsel menyebut keikutsertaannya sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) demi mendukung kesejahteraan Banua. Namun di balik gegap gempita ini, tersembunyi realitas getir yang tak bisa disamarkan oleh pencitraan dan seremoni.

Ketahanan Pangan

Secara geografis dan ekologis, Kalimantan Selatan memiliki kekayaan lahan, sungai, dan ekosistem rawa yang sangat potensial untuk menopang sistem pertanian dan perikanan berkelanjutan. Namun fakta di lapangan menunjukkan paradoks yang memilukan: provinsi ini masih sangat bergantung pada suplai beras, sayuran, dan bahan pangan lainnya dari luar daerah.

Setiap tahun, lahan pertanian produktif terus tergerus oleh alih fungsi menjadi area pertambangan, perkebunan sawit, hingga pembangunan infrastruktur yang berorientasi kapital. Ketika musim bencana tiba—seperti banjir yang hampir menjadi siklus tahunan—distribusi pangan terganggu, stok menipis, dan harga pun melonjak. Rakyat kecil menjadi korban pertama, terjepit dalam situasi yang diciptakan oleh kebijakan pembangunan yang tak berpihak.

Baca Juga :  Butuh Transformasi Total, Bukan Hanya Ekonomi Digital

Sementara itu, petani lokal masih berkutat dengan persoalan klasik: minimnya akses terhadap pupuk bersubsidi, benih unggul, teknologi pertanian modern, dan pemasaran yang adil. Ironisnya, mereka yang berada di garis depan penyedia pangan justru kerap menjadi kelompok paling rentan terhadap kelaparan dan kemiskinan.

Kapitalisme sebagai Akar Krisis

Masalah ini bukan sekadar kegagalan teknis atau kurangnya inovasi. Akar persoalannya lebih dalam: sistem ekonomi kapitalistik yang menjadikan orientasi pembangunan bertumpu pada keuntungan korporasi, bukan pada pemenuhan kebutuhan hakiki rakyat.

Dalam kerangka kapitalisme, tanah dan sumber daya alam diperlakukan sebagai komoditas yang sah diperebutkan oleh pemilik modal. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelindung kepentingan rakyat. Petani kecil tersingkir, digantikan oleh aktor-aktor besar dengan kepentingan ekspor dan industri ekstraktif. Ketahanan pangan pun terfragmentasi dalam skema proyek, insentif pasar, dan jargon CSR—bukan sebagai amanah politik dan tanggung jawab negara secara utuh.

Sistem Ketahanan Pangan

Dalam Islam, pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi bagian dari hak dasar yang wajib dijamin oleh negara. Islam memandang ketahanan pangan sebagai salah satu tiang utama dalam sistem ekonomi yang adil dan beradab. Beberapa prinsip utama dalam tata kelola pangan Islam meliputi:

  1. Kepemilikan dan pengelolaan Negara atas sumber daya negara dalam sistem Islam (Khilafah) memegang otoritas penuh terhadap lahan dan sumber daya alam. Lahan pertanian tidak boleh dikuasai korporasi atau individu yang menelantarkan. Tanah adalah amanah yang harus diolah untuk kemaslahatan umat, bukan untuk akumulasi kapital; 2. Pemanfaatan lahan berdasarkan syariat. Islam menegaskan bahwa tanah yang tidak ditanami dalam jangka waktu tertentu dapat dicabut kepemilikannya dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelolanya. Hal ini menciptakan distribusi lahan yang adil sekaligus mendorong produktivitas agraria yang maksimal; 3. Distribusi pangan tanpa spekulasi pasar. Islam melarang praktik penimbunan dan manipulasi harga. Negara bertindak langsung sebagai pengatur distribusi, menjamin keterjangkauan harga, serta menjaga stabilitas suplai tanpa perantara dan spekulan; 4. Ketahanan pangan sebagai visi politik negara. Di bawah Khilafah, urusan pangan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar atau proyek sporadis
    . Negara menjadikannya sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi-politik yang menjamin kebutuhan pokok setiap individu secara menyeluruh.
Baca Juga :  Pondasi Kokoh Itu Berada di Tangan Pelaku Usaha Mikro

Islam Solusi Sebenarnya

Panen perdana padi apung di Hulu Sungai Selatan patut dicatat, tetapi tidak cukup dijadikan indikator bahwa ketahanan pangan telah tercapai. Selama kerangka besar pembangunan masih tunduk pada logika kapitalisme, maka inovasi-inovasi semacam ini hanya akan menjadi aksesoris dari krisis yang lebih dalam: hilangnya kedaulatan pangan.

Saatnya kita mengarahkan pandangan pada solusi sistemik dan ideologis. Islam tidak hanya menawarkan solusi teknis, tetapi paradigma alternatif yang menyeluruh—dari pengelolaan sumber daya hingga pendistribusian hasil pertanian. Hanya dengan penerapan sistem Islam yang kaffah, khususnya dalam bingkai Khilafah, ketahanan pangan sejati dapat diwujudkan: lahan produktif untuk rakyat, pangan tersedia bagi semua, dan kesejahteraan petani bukan lagi utopia, melainkan keniscayaan.

Iklan
Iklan