Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Masalah Besar di Balik Recehan Retribusi Parkir

×

Masalah Besar di Balik Recehan Retribusi Parkir

Sebarkan artikel ini

Oleh : Umi Diwanti
Guru, Pengasuh MQ Khodijah Al-Kubro

Ditarget Rp20 miliar dari sektor parkir, Dishub Banjarmasin merencanakan ekspansi pungutan wilayah parkir. Diantaranya di perhotelan, perkantoran dan pusat perbelanjaan.

Baca Koran

Menurut kepala Dishub hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan perda. Karena semua objek bisa ditarik pajak parkir. Kecuali tempat ibadah, sekolah dan kantor pemerintah. (m.kalsel.prokal.co, 22/1/2020)

Kebanyakan ibu rumah tangga pastilah enggan sering-sering mampir ke toko yang parkirnya berbayar. Kalau bisa dihindari sama sekali. Dalam kondisi saat ini, jangankan 2 ribu rupiah, seribu pun kalau bisa dihemat. Cuma mau beli sayur seharga 5 ribu rupiah harus bayar parkir 2 ribu. Sungguh memyesakkan dada kaum emak.

Sebaliknya kalau ketemu toko bebas parkir apalagi dijaga baik dengan pelayan ramah. Kaum ibu biasanya dengan suka cita merekomendasikan toko tersebut ke kenalan-kenalannya.

Jadi jelas, kebijakan ini akan mengurangi daya beli masyarakat di toko yang dijadikan lahan tarikan parkir. Jika pun nanti semua toko terpaksa wajib ada biaya parkir. Maka jelas ini akan menambah beban pengeluaran rumah tangga. “Ah cuma 2 ribu aja kok!”

Iya kalau sekali, kalau berkali-kali? Misal, pagi beli bubur ayam. Terus beli sayur ke pasar. Siang beli lauk mateng. Eh si kecil minta mampir beli mainan. Sorenya si Kakak minta belikan alat tulis. Kali 2 ribu, kali 30 hari. Besar sekali.

Andai tiap hari dua kali bayar parkir saja. Sudah 120 ribu sebulan. Belum lagi bayar keperluan lainnya yang kian hari kian melambung. Sungguh kebijakan yang lagi-lagi menjadikan rakyat sebagai korban.

Jikapun ada toko yang akan menanggung retribusinya demi pelanggannya gratis. Tentu saja akan menambah modal usaha dan bisa jadi akan menambah mahal harga produk yang dijualnya. Balik lagi, konsumen juga yang menanggungnya.

Baca Juga :  VASEKTOMI

Yang perlu kita pertanyakan adalah, mengapa pemerintah sampai sebegitunya memungut receh demi receh dari rakyat kecil. Padahal negara kita bukan negara miskin sumber daya alam (SDA). Wabilkhusus Kalimantan Selatan, daftar kekayaan alamnya melimpah.

Batu bara misalnya. Per tahun rata-rata produksi batu bara 100-150 juta ton. Harga per ton bisa mencapai 100 dolar (kalsel.antaranews.com, 29/9/2018). Kalikan saja, berapa hasilnya? Sungguh sebuah angka yang spektakuler untuk PAD sebuah daerah. Ini baru dari batu bara, belum yang lainnya.

Hanya saja kenapa sama sekali tidak berimbas pada pemasukan daerah, hingga pemerintah daerah dengan semua jajarannya harus memungut uang receh rakyat demi menambah PAD. Bukan hoax bukan fitnah, semua ini terjadi karena salah kelola SDA.

Kesalahannya bukan karena melanggar peraturan produk sekuler yang saat ini dijalankan. Tapi melanggar peraturan Allah SWT, Sang Pemilik langit dan bumi. Sebagaimana hadis Rasulullah, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Sehingga jelas hukumnya, menyerahkan pengelolaan harta milik bersama yang sifatnya melimpah seperti air kepada swasta adalah haram. Seharusnya dikelola sendiri oleh negara dan hasilnya totalitas dikembalikan pada rakyat.

Diantaranya berupa jaminan kebutuhan hidup. Termasuk di dalamnya parkir ini. Sebab parkir ini masuk kategori keamanan. Dalam Islam keamanan, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan kolektif rakyat yang harus disediakan pemerintah secara cuma-cuma.

Karenanya, masalah retribusi parkir yang seolah urusan receh ini sebenarnya adalah masalah besar. Ada hak-hak rakyat yang terabaikan dan titah Allah yang terlalaikan. Hak rakyat untuk mendapatkan pelayan keamanan gratis. Dan titah Allah untuk mengelola sumber daya alam sesuai syariat.

Baca Juga :  Moderasi Beragama Untuk Indonesia Emas

Hasilnya, selain memang secara langsung jelas-jelas akan memebebani rakyat. Perkara ini juga berpotensi mengundang bala dari Allah berupa kesempitan hidup dan kesengsaraan di akhirat.

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha [20] : 124)

Semoga kita semua segera tersadar dan mau kembali mengambil Islam sebagai dasar tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Insya Allah rakyat bahagia, negara berjaya.

Iklan
Iklan