Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Lunaknya Sikap KPI Terhadap Pelaku Asusila

×

Lunaknya Sikap KPI Terhadap Pelaku Asusila

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dewi Yuanda Arga, S.Pd
Pemerhati Perempuan dan anak

Kinerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kembali disorot oleh masyarakat pasalnya baru baru ini terkuak pelecehan seksual yang dilakukan beramai-ramai oleh pegawai KPI dan baru diproses setelah desakan kuat muncul dari publik.

Android

Korban adalah seorang laki-laki dan para pelaku lebih dari satu orang dan berjenis kelamin laki-laki juga. Puncaknya ketika 2015, saat itu korban dilecehkan ramai-ramai dan menyebabkan korban trauma hingga jatuh sakit. Mirisnya, laporannya pada 2019 diremehkan oleh Polsek Gambir. Polisi mengatakan masalah yang dialaminya bisa diselesaikan dengan kekeluargaan dengan melapor ke atasannya. Hal itu hanya membuatnya dipindahkan ke ruangan lain yang dianggap lebih aman.(Kompas.com.2/9/2021). Setelah desakan kuat dari publik barulah diproses.

Sikap toleran KPI makin disorot dengan lalu lalangnya tayangan penyambutan bak pahlawan pada Saipul Jamil (SJ) setelah bebas dari penjara, membuat gerah banyak orang. Pasalnya, artis yang akrab dipanggil Bang Ipul ini telah melakukan tindakan asusila pencabulan. Atas dasar apa penyambutannya begitu meriah hingga diberikan kalung bunga?

Masyarakat makin dibuat geram saat diwartakan banyaknya tawaran pekerjaan pada SJ untuk kembali ke layar kaca. Dilansir dari Kompas.com (5/9/2021), petisi daring berisi ajakan untuk memboikot SJ yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bahkan telah mencapai 268.204 tanda tangan dan terus bertambah.

“Jangan biarkan mantan narapidana pencabulan anak di usia dini masih berlalu-lalang dengan bahagia di dunia hiburan, sementara korbannya masih terus merasakan trauma.” Demikian salah satu isi keterangan petisi yang dibuat di laman change.org oleh Lets Talk and Enjoy. (Kompas.com, 5/9/2021).

Partai Amanat Nasional atau PAN, mendesak stasiun TV untuk menghentikan semua tayangan yang terkait dengan SJ. Jubir muda PAN, Aliah Sayuti menilai public figure yang berstatus mantan narapidana pencabulan, tidak sepantasnya diberikan panggung untuk menyiarkan perayaan kebebasan.

Menurut Aliah, sebaiknya stasiun televisi atau media penyiaran yang menayangkan euforia kebebasannya, lebih memikirkan bagaimana kondisi korban saat ini. Sementara untuk pelaku, tidak perlu diberi ruang karena akan berdampak pada psikologis korban.

“Saat korban masih berjuang melepas trauma, Saipul Jamil masih diundang di stasiun televisi dan disambut meriah di hari kebebasannya seperti seorang pahlawan. Sudah sepantasnya seorang mantan narapidana pencabulan anak tidak diberikan panggung lagi di dunia hiburan tanah air,” kata Aliah, Selasa 7 September 2021.(Viva.co.id, 7/9/2021).

Masyarakat tentu sangat berharap stasiun televisi memboikot mantan narapidana kejahatan seksual tersebut. Namun, mengapa televisi dan YouTube hingga kini masih menampilkan SJ?

Petisi yang ditujukan kepada KPI sedang ditimbang keefektifannya, lantaran KPI pun sedang tersandung kasus serupa. KPI menjadi sorotan karena dianggap membiarkan dugaan kasus kekerasan seksual dan perundungan menahun dalam lembaganya.

“Hari ini kita melihat ada pembiaran terhadap kekerasan yang bertumpuk, kekerasan fisik, mental, verbal, dan seksual yang dilakukan oleh delapan staf KPI dan berjalan selama 10 tahun,” kata advokat Dian Kartikasari dalam jumpa pers daring, Sabtu (4/9/2021). (cnn.com, 4/9/2021).

Yang terbaru, para pegawai KPI yang dilaporkan sebagai pelaku berencana membuat laporan balik terhadap terduga korban atas dasar pencemaran nama baik. (Kompas.com, 7/9/2021)

Maka, harapan masyarakat untuk terbebas dari visual seperti SJ di layar kaca pun kian pudar. Padahal, korban tengah berjuang untuk menghilangkan trauma atas apa yang menimpanya.

KPI sendiri dianggap tak bertaji menghadang keinginan korporasi. Protes yang kerap dilakukan masyarakat atas berbagai tayangan yang tidak bermutu di televisi, seperti tebang pilih untuk ditindaklanjuti. Tayangan-tayangan yang tak layak siar malah memadati prime time.

Ini baru soal televisi, kita belum berbicara konten internet yang jauh dari filtrasi. Konten-konten “sampah” yang tak layak dikonsumsi masyarakat, terutama generasi, tak seharusnya disiarkan.

Ini menegaskan Lembaga KPI begitu lunak memperlakukan pelaku kekerasan seksual. KPI seperti tidak punya taji menghentikan keinginan korporasi yaitu stasiun TV swasta atas tayangan tak bermutu di televisi seperti tebang pilih untuk ditindak lanjuti bahkan cenderung diberi ruang untuk ditayangkan. Padahal dasar utama pembentukan KPI menurut UU No. 32 tahun 2002 adalah terbebas dari campur tangan pemodal dan kepentinagn kekuasaan sehingga bermanfaat untuk kepentingan publik. Artinya melalui KPI sebagai lembaga pembina dan pengontrol penyiaran diharapkan media penyiaran menjalankan fungsi pelayanan informasi yang sehat. Namun kenyataannya, KPI justru disetir oleh media penyiaran. Inilah kegagalan media dalam negara yang menerapkan sekular kapitalisme. Fungsi utama media untuk mengedukasi masyarakat dan menamkan nilai-nilai kebaikan sama sekali tidak nampak, sebab media beraroma kapitalistik hanya mengejar rating yang dengannya akan terhimpun profit yang berlimpah. Tak peduli pesannya membawa petaka. Jika dapat
menghantarkan cuan, konten tak bermutu pun menjadi andalan. Akibat media di bawah kendali korporasi, pemerintah seperti tak memiliki andil menentukan mana yang boleh tayang dan mana yang tidak.

Kasus SJ bukan yang pertama, banyak dari mereka setelah melakukan tindakan asusila justru makin naik karier keartisannya. Begitulah, mereka semua kembali eksis dan tampil di layar kaca. Publik dibuat fokus pada prestasinya dan mengabaikan fakta perzinaan yang mereka lakukan karena dianggap sebagai ranah pribadi si figur publik. Sama dengan kasus SJ ini, publik dibuat fokus pada karyanya “menghibur” penonton dan dipaksa mengubur fakta bahwa ia adalah seorang pelaku pencabulan.

Inilah kala media komunikasi massa—televisi, radio, surat kabar, film, dan internet—menjadi medium ideologi sekuler dalam menancapkan nilainya di tengah masyarakat. Masyarakat digiring untuk menghormati kebebasan tingkah laku seseorang dan diarahkan untuk mudah memaafkan kesalahannya dengan alasan setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan.

Padahal, perkara ini bukanlah terkait maaf memaafkan, tetapi terkait menjadikan figur publik sebagai role model kebebasan. Karena tak bisa dimungkiri, bagi masyarakat yang jauh dari pemahaman agama, sosok artis adalah idola yang tingkah lakunya sering kali jadi inspirasi.

Maka jangan heran, media begitu gencar mengekspose ide kebebasan tingkah laku. Sang artislah berada di garda terdepan dalam memvisualisasikannya. Semua ini semata untuk tertancapnya kebebasan bertingkah laku yang sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Ide kebebasan bertingkah laku (freedom of behavior) lahir dari ideologi sekuler kapitalisme, paham yang tidak melibatkan Sang Pencipta dalam setiap aturan kehidupan manusia. Aturan agama hanya disimpan dalam ranah privat, keberadaannya bisa saja disingkirkan jika berbenturan dengan aturan manusia.

Ide kebebasan jelas bertolak belakang dengan Islam yang menjadikan agama sebagai landasan dalam kehidupannya. Maka, mengapa ide kebebasan ini terus dipromosikan dan diperjuangkan? Hal demikian semata demi tertancapnya hegemoni negara adidaya yang menguasai dunia hari ini. Ideologi sekuler yang diemban oleh dunia Barat menginginkan masyarakat dunia—khususnya umat muslim—menyingkirkan aturan agama dalam kesehariannya dan menggantinya dengan aturan yang telah mereka buat.

Kebebasan yang mereka promosikan sejatinya adalah aturan Barat mengenai tata cara bertingkah laku, bukan semata kebebasan. Lihat saja bagaimana Barat menstigma pakaian muslimah yang serba tertutup sebagai “pengekang hak kebebasan pada perempuan”. Namun pada saat yang sama, perempuan dengan pakaian serba terbuka diapresiasi bahwa ini adalah bentuk kebebasan.

Lihat juga bagaimana Barat menstigma poligami sebagai wujud patriarki, tetapi pada saat yang sama menganggap free sex, childfree, eljibiti, adalah kebebasan yang membahagiakan.

Beginilah cara kerja mesin propaganda Barat dalam mencederai syariat Islam, agar kaum muslim tertipu dan menganggap agamanya memiliki aturan yang buruk sehingga harus direvisi. Dari sinilah lahir Islam liberal atau Islam moderat yang ajarannya mengikuti Barat dan memotong-motong syariat menjadi sesuai keinginan Barat.

Dalam Islam, media berfungsi strategis dalam melayani ideologi Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Media ada di bawah kontrol penuh pemerintah. Pemerintah akan melarang keberadaan media yang berhaluan selain ideologi Islam.

Di dalam negeri, media berfungsi untuk membangun masyarakat yang kukuh, yaitu masyarakat yang beriman dan bertakwa. Media akan senantiasa menayangkan acara-acara yang dapat menjaga jawil iman dalam masyarakat. Media pun memiliki fungsi edukasi kepada publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam di dalam negara.

Sedangkan fungsi media di luar negeri adalah untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. Maka, media adalah alat propaganda dakwah dan jihad, untuk memudahkan upaya menggabungkan negeri-negeri Islam menjadi bagian integral dari Khilafah Islamiah.

Iklan
Iklan