Oleh : Fathul Jannah, S.ST
Pemerhati Ekonomi dan Sosial Masyarakat
Mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, R Dwidjono Putrohadi Sutopo (RDPS) ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi izin usaha pertambangan (IUP) batu bara, Kamis (2/9/2021). RDPS kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kota Banjarmasin hingga 20 hari ke depan. . (https://kalsel.inews.id/berita/jadi-tersangka-suap-rp27-miliar-mantan-kadis-esdm-tanah-bumbu-ditahan ).
Penangkapan mantan Kadis ESDM Kabupaten Tanah Bumbu dengan tuduhan korupsi, kembali menambah panjang deretan kasus korupsi pada pejabat tinggi. Bak jamur dimusim hujan, dari zaman dulu hingga sekarang, korupsi selalu menjadi kasus yang selalu berkembang biak tak pernah selesai. Dari mulai pejabat tinggi sampai rendah pun terkontaminasi.
Korupsi memang menjadi penyakit akut di negeri ini. Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak lantas mampu memberantas korupsi dengan tuntas. Malah korupsi kian merajalela. Kejahatan korupsi terjadi karena ada keinginan dan kesempatan. Didalam lembaga kekuasaan, faktor motivasi atau keinginan finansial lah yang lebih dominan mendorong tindak korupsi. Inilah akibat sistem demokrasi yang mahal. Sistem politik ini menjadi sumber masalah karena penguasa dan pejabat negara memiliki modal yang besar untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaanya. Tak ada lembaga politik dan masyarakatpun yang menolak argumentasi tersebut.
Disisi lain, sistem demokrasi telah mengesampingkan pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Rasa takut para penguasa dan aparatur negara kepada Allah telah luntur dimakan jargon demokrasi : dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tak ada Tuhan didalamnya.
Wajar, bila suap menyuap, gratifikasi dan tindakan menyalahgunakan kekuasaan menjadi pemandangan sehari-hari. Dari level paling rendah hingga level tertinggi, semua berlangsung secara sengaja. Dalam perkembangannya, administrasi negara diutak-atik sedemikian rupa agar ‘korupsi’ itu menjadi sah/legal.
Inilah bukti bobroknya sistem Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Masing-masing pejabat tinggi akan mencari peluang dan kesempatan untuk memperkaya diri, meski harus melakukan korupsi. Sementara sistem hukum bagi para pelaku tak pernah membuat efek jera, sehingga perbuatan serupa terus berulang.
Sistem Islam, Mampu Berantas Korupsi
Cara pandang dan metode dalam sistem demokrasi kapitalis sudah terbukti tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kasus korupsi sampai kapanpun, maka sudah saatnya kita melirik sistem dan aturan yang datang dari Sang Pencipta, yakni sistem aturan dalam Islam.
Dalam Sistem Islam upaya preventif dan kuratif yang dilakukan selalu bersumber pada ketetapan syariat yang paten akan keberhasilan dalam pelaksanaanya, karena bersumber dari Zat Yang Maha Sempurna.
Pertama: Ketika memilih pejabat atau penguasa, maka aspek keimanan dan ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan akan mencegah pegawai dan pejabat melakukan kejahatan korupsi.
Rasulullah Saw mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muaz bin Jabal ra. Namun, ketika Rasulullah mengutus Muaz ke Yaman menjadi ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul SAW kemudian memerintahkan seseorang untuk mengambil Muaz agar kembali. Lalu Rasul bersabda kepada Muaz, “Tahukan kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulul (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu”.(QS. Ali Imran : 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugas-tugasmu” (HR. AT Tirmizi dan At Thabrani)
Kedua, sistem penggajiaan yang layak hingga tidak ada alasan untuk berlaku korup. Ketiga, ketentuan serta pembatasan yang jelas tentang harta ghulul. Rasul bersabda: “ Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian gaji untuk dia, maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim).
Berdasarkan hadist ini harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dan sebagainya) merupakan harya ghulul dan hukumnya haram. Harta kekayaan pejabat itu harus diaudit, jika ada pertambahan harta yang tidak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa hartanya yang tidak wajar harus disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukan ke kas negara.
Keempat, dalam Islam, para pelaku korupsi akan dikenakan sanksi hukum yang membuat jera pelakunya sekaligus mencegah orang lain melakukan hal serupa.
Hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta’zir. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (ekpos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptur.
Demikianlah langkah-langkah terbaik pemberantasan korupsi dalam sistem Islam. Hanya dengan Sistem Islam Kaffah, kasus korupsi bisa diberantas dan masyarakat hidup dengan sejahtera. Wallahu’alam