Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mengejar Pajak Hingga ke Lubang Jarum

×

Mengejar Pajak Hingga ke Lubang Jarum

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI. Al Mujahidin II Banjarmasin

Bukan hal baru lagi masalah pajak ini, rakyat makin tercekik dengan adanya pajak, tidak ada yang tidak kena pajak, apalagi sekarang Pandemi masih membayangi negeri ini, tetapi ujian bagi rakyat kecil terus datang bertubi-tubi. Kondisi ekonomi yang masih berat akibat pembatasan sosial, kini bertambah dengan adanya kenaikan pajak.

Baca Koran

Pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, berlaku mulai 1 April 2022. Kenaikan ini tertuang dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru sah dalam rapat paripurna DPR pada 7 Oktober 2021 lalu. Kenaikan tarif PPN tidak hanya terjadi tahun depan.

Pemerintah merencanakan tarif PPN naik lagi menjadi 12 persen pada 2025. Pemerintah mengklaim tarif PPN yang baru ini masih lebih rendah daripada tarif rata-rata dunia sebesar 15,4 persen. Melalui kenaikan ini, Pemerintah tentu berharap naiknya penerimaan pajak. Namun, belum tentu untung, pemerintah bisa jadi malah buntung. Kenaikan PPN akan berdampak pada pelemahan ekonomi. Harga barang akan makin mahal, daya beli masyarakat pun akan turun. Ketika penjualan melemah, penyerapan tenaga kerja juga akan turun. Sektor rumah tangga juga akan terpukul karena kenaikan ini.

Sudahlah penghasilan menurun karena pandemi, masih ditambah dengan kenaikan pajak. Beban masyarakat makin berat, harapan agar perekonomian segera pulih pun akan makin sulit terwujud.

Saat rakyat jelata tergencet kenaikan PPN, pemerintah justru menganakemaskan para pengusaha dengan program Tax Amnesty (pengampunan pajak). Program bernama Pengungkapan sukarela wajib pajak ini akan berlangsung dari 1 Januari—30 Juni 2022. Pemerintah pernah menggelar program pengampunan pajak ini pada 2016—2017 lalu.

Para ekonom pun banyak mengkritik program pengampunan pajak karena seolah melindungi para pengemplang pajak. Namun, program ini tetap bergulir karena besarnya capaian target penerimaan pajak.

Kenaikan tarif PPN dan program pengampunan pajak bermuara pada satu kepentingan, yaitu menggenjot penerimaan pajak. Negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme seperti Indonesia akan selalu menggantungkan penerimaan negara pada sektor pajak.

Meski Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) di laut, gunung, dan perut bumi, penerimaan dari sektor tersebut sangat kecil daripada penerimaan pajak. Pajak sebagai tumpuan penerimaan negara seolah sudah menjadi doktrin kapitalisme. Doktrin lainnya adalah liberalisasi kekayaan alam.

Lengkap jadinya, sudahlah mengobral kekayaan alam ke swasta, pembiayaan operasional negara pun dengan menodong pajak pada rakyat. Rakyat yang sudah gigit jari karena tak bisa menikmati kekayaan alam negerinya harus makin gigit jari karena terbelit kewajiban pajak yang beraneka ragam jenisnya.

Hampir setiap aspek kehidupan rakyat kena pajak. Mulai dari penghasilan, tempat tinggal, kendaraan, hingga membeli barang pun ada pajaknya. Belum lagi, ke depannya, wacana pajak pendidikan akan benar-benar terealisasi.

Penguasa negeri ini rupanya sudah kehabisan akal untuk meningkatkan pendapatan negara. Sedikit saja ada celah, pemerintah tak mau melewatkan kesempatan. Pengesahan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU menjadi pembenar atas aturan mengenai rencana penggunaan NIK menjadi NPWP.

Baca Juga :  Korporasi Pertanian, Solusi Untuk Ketahanan Pangan?

Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan, tulis draf RUU HPP Bab II Pasal 2 ayat 1A. Publik pun berkomentar.

Mereka khawatir jika penggunaan NIK menjadi NPWP menjadikan seluruh rakyat di negeri ini berkewajiban membayar pajak. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan pemberlakuan NIK sebagai NWP bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam sistem administrasi pajak. (CNN Indonesia, 4/10/2021).

Dengan penggabungan NIK dan NPWP menjadi satu data tunggal, maka terjadi sinkronisasi dan validasi data wajib pajak. Namun demikian, bukan berarti semua penduduk Indonesia akan dikenai pajak. Orang yang dikenai pajak tetap mereka dengan penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Wajib pajak yang memiliki penghasilan maksimal Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun, berstatus menikah dan pasangannya juga bekerja, maka berlaku skema PTKP, yaitu penghasilan tidak kena pajak. Dengan kata lain, pajak penghasilannya nol persen. Jika wajib pajak memiliki penghasilan melebihi Rp4,5 juta per bulan, ia terkena PPh sebagaimana yang tertuang dalam UU HPP. Menurut pemerintah, pemberlakuan NIK menjadi NPWP akan mengintegrasikan sistem administrasi perpajakan serta mempermudah Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh NPWP.

Itu berarti, peleburan NIK menjadi NPWP adalah untuk mempermudah sistem mengidentifikasi setiap orang yang berpenghasilan di atas Rp4,5 juta per bulan agar otomatis terdaftar sebagai wajib pajak dengan pemberian NPWP.

Pemerintah mengklaim tidak semua pemilik NIK berstatus wajib pajak. Hal itu berlaku pada aturan terkait pajak penghasilan. Pasalnya, setiap pemilik NIK atau warga negara di negeri ini tidak bebas dari pajak. Kalaupun ada kelompok masyarakat yang terbebas dari pajak penghasilan, belum tentu mereka terhindar dari pajak-pajak lainnya.

Seperti pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak kendaraan (motor/mobil), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), bea materai, dan lainnya. Ada pula pajak pendidikan dan pajak kesehatan melalui BPJS kesehatan. Meski berganti istilah dengan premi, penetapan BPJS Kesehatan tak ubahnya upeti.

Betapa pajak mengejar rakyat dengan slogan-slogan memikat, “Orang bijak taat pajak”. Atau dengan slogan barunya, “Pajak kita untuk kita.” Slogan tersebut bertujuan mendorong masyarakat agar taat bayar pajak tepat waktu.

Ada yang mengatakan warga negara yang taat pajak katanya adalah pahlawan modern, pejuang pembangunan. Namun, kondisi ini sangat kontras manakala kita bandingkan dengan pajak yang berlaku bagi konglomerat dan kalangan borjuis seperti tax amnesty.

Bandingkan pula dengan perilaku konglomerat pejabat yang mengalihkan aset kekayaannya ke luar negeri demi menghindar dari kewajiban membayar pajak. Isu yang berkaitan dengan hal ini ialah terbongkarnya pandora papers yang juga menyeret dua nama Menko Jokowi.

Meski sama-sama bayar pajak, tak ada ampunan pajak untuk rakyat. Negara tak ubahnya pemalak bagi rakyat. Rakyat rajin bayar pajak, tetapi mereka tak banyak merasakan dampak positif kebijakan penguasa yang gajinya dari pajak rakyat. Bebas pajak di sistem kapitalisme itu seperti cerita mitos. Faktanya, rakyat terpapar pajak yang bermacam-macam.

Baca Juga :  IKN Bukan Lorem Ipsum

Harus diakui, banyaknya sikap para konglomerat yang melarikan asetnya ke luar negeri adalah indikasi bahwa manusia mana pun tidak senang akan tarikan pajak. Mau kaya atau miskin, pajak sejatinya membebani.

Terlebih kelompok masyarakat akar rumput. Beban mereka bertumpuk-tumpuk. Selain terikat bayar pajak, mereka masih susah mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut kacamata kapitalisme, pajak memiliki peranan penting bagi pembangunan nasional negara. Hampir 80 persen pendapatan negara bersumber dari hasil pemungutan pajak.

Negara memang terlihat kelimpungan cari pemasukan dengan segala cara. Namun pada saat yang sama, negara juga yang malah memperjualbelikan kekayaan alam yang melimpah ruah kepada asing atau korporasi. Selain itu, penerapan pajak di berbagai barang dan jasa sangat membebani perekonomian.

Akibatnya, pengenaan pajak menyebabkan harga barang dan jasa menjadi naik. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama devisa negara tentu akan berdampak besar bila negara mengalami krisis ekonomi.

Sistem ekonomi kapitalisme tidak mengenal harta kekayaan milik umum sebagai sumber pendapatan utama. Ideologi ini hanya tahu bahwa setiap barang dan jasa menjadi ladang bisnis perorangan atau badan usaha.

Mengapa pemerintah mengejar pajak yg makin membebani rakyat hingga ke lubang jarum sementara meloloskan SDA berlimpah dinikmati segelintir orang karena pengelolaan kapitalistik. Semua ini menegaskan watak kapitalistik yang mengiringi pemberlakuan ideologi kapitalisme.

Dalam prinsip kapitalisme, setiap individu berhak memiliki barang apa pun selama mendatangkan keuntungan baginya. Itulah sebab mengapa banyak kita jumpai kebijakan dan regulasi selalu berpihak kepada kepentingan pemilik modal.

Tidak mengherankan pula bila kita saksikan hari ini, ada negara kaya SDA tetapi tidak maju-maju. Ada negara miskin SDA, tetapi berkembang dengan pesat. Semua itu berlaku hukum ekonomi kapitalisme, yakni eksplorasi dan eksploitasi kekayaan negara atas nama kapitalisasi dan liberalisasi.

Begitulah, doktrin kapitalisme terkait pajak dan liberalisasi SDA, sudah mendarah daging pada diri para penguasa. Pola pikir mereka sudah terdoktrin untuk menarik pajak sebesar-besarnya demi pembangunan negara. Akibatnya, mereka tak bisa berpikir solusi lain untuk memperoleh pemasukan negara.

Pola pikir ala kapitalisme ini menurun dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya, juga dari satu menteri ke menteri selanjutnya. Selama kapitalisme masih bercokol di negeri ini, selama itu pula pola pikir menggenjot pajak dan menjual SDA akan terus lestari. Padahal, pola pikir tersebut salah dan menyebabkan kerusakan.

Pola pikir ini memungkinkan adanya eksploitasi SDA Indonesia dan hasilnya lari ke luar negeri. Sementara, rakyat setempat hanya menjadi kuli dan mewarisi kerusakan alam yang parah. Akibat pola pikir ini pula, rakyat terus menjadi objek pungutan oleh penguasa. Rakyat tak bisa menikmati kekayaan hasil jerih payahnya sendiri karena harus membayar pajak pada setiap transaksinya.

Harapan untuk menghentikan kezaliman pajak haruslah berawal dari mengubah sistem negeri ini. Ketika rakyat meninggalkan sistem kapitalisme, pola pikir rusak seputar pajak akan turut hilang. Selanjutnya adalah mengadopsi sistem baru yaitu Islam. Islam meletakkan kepemilikan secara adil. Wallahu ‘alam bishowab

Iklan
Iklan