Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Permendikbud : Pintu Melegalkan Seks Bebas?

×

Permendikbud : Pintu Melegalkan Seks Bebas?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dewi Yuanda Arga, S.Pd
Pemerhati Sosial

Sebagaimana diketahui polemik atau pro kontra tentang Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Memang ada fakta bahwa adanya kekerasan seksual di lingkup perguruan Tinggi karena itu dibutuhkan regulasi dan supporting system yang mampu mencegah dan menangani kekerasan seksual.

Baca Koran

Namun sayangnya Permendikbud ini dipandang sebagai langkah progresif karena dipandang regulasi ini berpihak pada korban. Menurut data 63 persen di perguruan tinggi yang tidak dilaporkan karena ada ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, maksudnya kekerasan itu dilakukan oleh dosen atau atasan pada mahasiswa atau pegawai karena cenderung adanya keresahan dan kekhawatiran.

Dengan adanya Permendikbud ini diharapkan lebih bisa melindungi korban karena tidak boleh ada stigma-stigma negatif terhadap korban, misalnya menjadi korban karena pakaiannya, perilakunya dan lain-lain.

Banyak Ormas Islam menolak Permendikbud ini, karena dianggap sebagai pintu melegalkan seks bebas, pezinahan, LGBT dan sejenisnya dan juga bertentangan dengan norma agama dan budaya kultur keIndonesiaan, buktinya dalam pasal-pasalnya dari 21 macam item, adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’ menjadi pemicu penolakan terhadap regulasi tersebut.

Sebabnya, frasa tersebut dapat dipahami bila antara kedua belah pihak melakukan hubungan seksual karena consent, persetujuan, maka dipandang legal. Bukankah itu sama dengan melegalisasi perzinahan?

Permendikbud ini jelas berbahaya karena berpotensi melegalkan seks bebas dan penyipangan seksual. Frasa ‘tanpa persetujuan’ dalam peraturan tersebut ditempatkan sebagai penentu suatu Tindakan sebagai kekerasan seksual. Frasa itu itu tercantum dalam pasal 5 ayat (2); misalnya poin (1), menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/menggoskkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.

Dalam pasal ini persetujuan menjadi penentu suatu tindakan/hubungan seksual dipandang sebagai kekerasan seksual. Artinya, selama dilakukan dengan concent atau persetujuan, maka hubungan seksual dibenarkan dan merupakan hak warga negara.

Merujuk pada Permendikbud ini, terutama pasal 5, maka bukan sekedar seks bebas tapi juga tindakan aborsi dibenarkan selama atas persetuan masing-masing pihak. Inilah cara berpikir liberal yang di adopsi dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yakni Kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. Intinya hubungan seks di luar nikah adalah hak warga negara. Negara dan agam tak berhak ikut campur didalamnya.

Baca Juga :  Selamatkan Generasi dari Jeratan Judi Online

Selain itu, Permendikbud ini juga berpotensi memberikan perlindungan pada penyimpangan perilaku seksual seperti LGBT. Dalam pasal 5 ayat 2 bagian (a) tercantum bahwa kekerasan seksual meliputi, menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.

Yang dimaksud ‘identitas gender disini bukan sekedar lelaki atau perempuan, tetapi bisa diartikan juga gay dan lesbian. Artinya siapa pun di lingkungan kampus tidak boleh mengkritisi apalagi melarang kaum LGBT karena hal itu termasuk ujaran kebencian dan diskriminatif yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Bukankan ini hal berbahaya?

Islam menghapus Kejahatan seksual

Menilik isi dari peraturan tersebut, tampak jelas pertentagannya dengan ajaran Islam dan membahayakan umat. Peraturan tersebut membuka peluang kehidupan liberal di kampus. Ini bukan logical fallacy (kesalahan logika) dalam memahami Permendikbud.

Islam adalah satu satunya sistem aturan kehidupan yang mengharamkan bentuk kekerasan dan penindasan pada umat manusia, termasuk melakukan tindak kejahatan seksual. Allah SWT berfirman, “Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi”. (QS. An Nur : 33).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pada masa jahiliah, jika seseorang dari mereka mempunyai budak perempuan, dia melepaskan budak itu untuk berbuat zina (melacurkan diri) dan menetapkan atas dirinya pajak yang dia pungut di setiap waktu.

Setelah Islam datang, Allah melarang orang-orang Mukmin melakukan hal tersebut. Di antara yang melakukan perbuatan keji tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin Salul yang memaksa budak-budak perempuannya melacur.

Dalam Islam, penentu suatu tindakan itu kejahatan seksual adalah hukum syariah, bukan persetujuan manusia walaupun itu HAM. Menjadikan consent/persetujuan sebagai penentu kebolehan suatu hubungan seks di luar nikah adalah khas pemikiran kaum liberal yang sesat.

Mengapa consent menjadi penting? Alasannya, menurut kaum liberalis, karena tidak ada yang boleh menjadi polisi moral untuk urusan pribadi seseorang, termasuk negara sekalipun. Dengan adanya consent maka negara tidak boleh melarang siapapun berhubungan seksual sesuai nafsu mereka seperti zina, homoseksual, lesbian, sado-masokis, pedofilia, incest, bahkan hubungan seksual dengan mayat atau binatang.

Karena itu Permendikbud ini, jika diterapkan, belum tentu bisa mencegah kekerasan seksual. Sebaliknya, peraturan ini sudah pasti bisa menyuburkan perilaku seks bebas di lingkungan kampus. Ini berkebalikan dengan Islam yang tidak mentoleransi kejahatan seksual secara mutlak. Kasus pemerkosaan terhadap wanita, misalnya, Islam akan menjatuhkan sanksi bagi pelaku sesuai syariah.

Baca Juga :  HARTA

Jika pria pelakunya belum menikah (ghayr muhshan) maka dia akan dicambuk seratus kali, sedangkan jika pelakunya telah menikah (muhshan) maka akan dijatuhi hukuman rajam hingga mati. Allah SWT berfirman, “Pezina wanita dan pezina laki-laki yang berzina, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali cambukan”. (QS. An-Nur : 2).

Adapun korban perkosaan terbebas dari hukuman sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sungguh Allah memaafkan umatku karena tidak sengaja berbuat salah, lupa dan dipaksa”. (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Tindak kejahatan seksual lain semisal meraba, ujaran kata-kata kotor, merayu, dsb juga tidak lepas dari sanksi berupa ta’zir, yang akan diputuskan oleh qadhi (hakim) di pengadilan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm menyebutkan bahwa orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan namun tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan.

Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya, pegawainya (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm, hlm. 93). Adapun LGBT, juga praktik homoseksual dan lesbianisme, adalah kejahatan yang pelakunya diancam dengan sanksi berat. Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya”. (HR Ahmad).

Islam juga menutup celah-celah terjadinya kejahatan seksual di tengah masyarakat. Kaum pria dan wanita diperintahkan menutup aurat, menjaga pandangan, serta adanya larangan berkhalwat dengan alasan apapun.

Karena itu tidak dibenarkan pria dan wanita berduaan di ruang tertutup dan sepi meski untuk alasan bimbingan skripsi, dsb. Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaknya tidak berkhalwat dengan perempuan”.

Peraturan ini adalah bukti kuat bahwa negara ini tidak bersendikan pada agama dan syariah, melainkan pada sekularisme-liberalisme. Umat terus didorong untuk terjerumus dalam peradaban liberalisme.

Padahal sudah nyata kerusakan paham liberalisme. Maraknya perzinaan, penularan penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS, kehamilan tak diinginkan, pembuangan bayi dan aborsi, adalah bagian dari kerusakan yang sudah tampak di depan mata.

Tak ada cara lain kecuali menyingkirkan sistem sekular-liberal saat ini. Sebagai penggantinya, terapkan syariah Islam secara kaffah. Dengan itu niscaya umat manusia akan terlindungi dan terjaga. 

Iklan
Iklan