Iklan
Iklan
Iklan
OPINI PUBLIK

Permenaker JHT, Bukti Zalim Kepemimpinan Kapitalis

×

Permenaker JHT, Bukti Zalim Kepemimpinan Kapitalis

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mariyam Sundari
Pengamat Peradaban Umat

Pemberlakuan Permenaker 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) terus menuai protes. Hingga Senin (14/1/2022) pagi, lebih dari 350 ribu orang menandatangani petisi penolakan di situs change.org.

Dampak kolaborasi pengusaha-pengusaha yang lazim dalam sistem rusak ini begitu mengerikan. Berbagai kebijakan sangat jauh dari kepentingan mengurus dan menyejahterakan rakyat, kecuali bagi sekelompok kecil dari mereka, yakni para pemilik modal.

Wajar jika tidak ada yang tersisa bagi rakyat selain berbagai dampak kerakusan dan kezaliman penguasa, antara lain utang negara yang menumpuk, serta kerusakan lingkungan yang sangat berat dan rakyat harus menanggung dampaknya dalam waktu yang sangat lama.

Ditengarai, keluarnya kebijakan Permenaker ini pun karena negara tidak amanah, bahkan gagal mengelola dana pekerja. Bukan rahasia jika negara kerap mengalihkan fungsi uang milik rakyat untuk menutup kewajiban lainnya, atau memutarnya dalam proyek investasi yang kerap tidak juntrungannya.

Implikasinya, pemerintah terancam gagal bayar sehingga tega menetapkan kebijakan untuk menahan hak pekerja dalam waktu yang lama. Bukankah ini kezaliman yang luar biasa?

Kebijakan Zalim

Para penolak memandang Permenaker Nomor 2 tahun 2022 ini sangat zalim dan tidak berperikemanusiaan. Permen ini mengatur dana JHT hanya bisa dicairkan saat usia pensiun 56 tahun. Padahal, berdasarkan aturan sebelumnya, yakni Permenaker Nomor 19 tahun 2015, JHT bisa diklaim dalam jangka satu bulan setelah pekerja habis kontrak atau mundur dari tempatnya terakhir bekerja.

Mirisnya, aturan ini tetap berlaku meski peserta program berhenti kerja sebelum usia tersebut, baik karena mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Pemerintah mengklaim bahwa sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum menerbitkan Permen dan semuanya adalah demi kepentingan pekerja. Misal, sejak Februari 2022 ini, Pemerintah sudah menyiapkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), baik berupa bantuan uang tunai, pelatihan kerja, maupun pemberian informasi pasar kerja.

Baca Juga:  Ironi Negeri Prostitusi Anak Terus Terjadi

Hanya saja, bantuan keuangan JKP ini tidak mudah didapatkan karena mensyaratkan mereka harus terdaftar sebagai peserta seluruh program BPJS Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ditambah, mereka harus terdata sebagai peserta selama 24 bulan dan berturut-turut membayar iuran selama 6 bulan.

Watak Kapitalistik

Peraturan zalim ini sebetulnya bukan hal baru. Pada 2015, Pemerintah pernah menggagas hal yang sama, tetapi gagal. Saat itu yang mengeluarkan aturan bukan Menaker, melainkan Presiden langsung.

Aturan dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2015 tentang penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang berlaku pada 1 Juli 2015. PP ini juga mensyaratkan pencairan JHT secara penuh saat peserta BPJS berusia 56 tahun. Yang berbeda, dana ini hanya bisa diklaim jika peserta telah memiliki masa kepesertaan minimal 10 tahun.

Keluarlah Permenaker Nomor 19 tahun 2015 tadi. Permen itu di antaranya mengatur bahwa manfaat JHT dapat diberikan secara tunai kepada peserta yang mengundurkan diri dengan masa tunggu 1 bulan sejak tanggal pemberhentian kerja.

Mayoritas masyarakat, termasuk kelompok pekerja, sepertinya sudah terlalu sering menelan kekecewaan. Alih-alih mendapat perlindungan, merasa terus menjadi objek kebijakan zalim dan berbagai upaya pembodohan. Ujian yang paling berat adalah terbitnya UU Cipta Kerja yang sarat kepentingan kapitalis.

Maklum saja, negeri ini kadung menganut sistem kepemimpinan kapitalisme oligarki. Negara menempatkan diri sebagai sebuah perusahaan dan kental dengan nuansa bisnis alias hitung dagang.

Kepemimpinan Islam

Pemimpin dalam Islam (Khilafah) benar-benar memahami bahwa amanah kepemimpinan yang dipikulnya akan ia pertanggungjawabkan, termasuk semua bekal berupa seluruh potensi sumber daya alam dan manusia. Bahkan pertanggungjawaban mereka atas rakyatnya adalah pertanggungjawaban atas orang per orang.

Baca Juga:  Hidup Diknas, Selamat Guru

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya….”. (HR. Bukhari-Muslim)

Tidak heran jika pada masa Islam, para pemimpin memerintah dan memimpin umat dengan penuh rasa takut. Sebagaimana Khalifah Umar yang begitu takut ketika mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan. Ia rela memanggul sendiri sekarung gandum demi memenuhi kebutuhan mereka, padahal ia adalah pemimpin tertinggi sebuah negara yang kekuasaannya meliputi seluruh wilayah bekas kekuasaan Persia dan dua pertiga bekas wilayah kekuasaan Romawi Timur.

Oleh karenanya, hanya kepemimpinan dalam Islam yang mengenal konsep amanah dengan benar dan ter implementasikan. Mereka melaksanakan seluruh aturan dengan dorongan iman dan yakin bahwa hukum-hukum Islamlah yang akan mewujudkan Rahmat bagi seluruh alam.

Sistem inilah yang hari ini umat butuhkan dan wajib untuk diperjuangkan. Caranya dengan membangun kesadaran bahwa Islam adalah solusi kehidupan sekaligus penerapannya merupakan tuntutan iman. Jadi, bukan dengan jalan kekerasan atau berkompromi dengan kekufuran. Wallahualam.

Iklan
Iklan