Iklan
Iklan
Iklan
OPINI PUBLIK

Pengesahan UU TPKS Atau Liberalisasi Seks?

×

Pengesahan UU TPKS Atau Liberalisasi Seks?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Murdhia Rusyida, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial

Selama periode 2016-2020 kasus kejahatan seksual terus terjadi, setiap tahun sekurang-kurangnya ada 5.200 kasus kejahatan terhadap kesusilaan. (Kata-kata.co.id/15/12/2021).

Dalam hal ini, pemerintah berupaya menyelesaikan permasalahan ini dengan mensahkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Dikutip dari TEMPO.CO Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, pada hari Selasa, 12 April 2022. Ketua Panitia Kerja TUU TPKS, Willy Aditya menyatakan, pengesahan UU TPKS adalah bentuk kehadiran negara dalam melindungi korban kekerasan seksual.

“Ini adalah kehadiran negara bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dalam fenomena gunung es,” kata Willy saat menyampaikan laporan panja dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa, 12 April 2022. (Tempo.co 13/4/2022)

Undang-undang sudah banyak dibuat, kenapa kejahatan terus meningkat?

Dalam sistem demokrasi-sekuler, persoalan kekerasan seksual yang berlangsung bertahun-tahun tidak pernah bisa diselesaikan karena Homoseksual dan LGBT tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan. Meski Undang-undang telah banyak dibuat.

Budaya pergaulan permisif yang menjadi watak sistem sekuler yang mengagungkan kebebasan, demi kesenangan duniawi semata dan hilangnya budaya amar makruf nahi mungkar memicu terus terjadinya kekerasan seksual. Sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dalam membuat peraturan, menjadi pemangku kebijakan semakin melenggang aman dalam membuat aturan berdasarkan hawa nafsunya.

Negara bahkan bisa menjadi legislator kemaksiatan. Karena pergaulan bebas yang dilakukan atas dasar suka sama suka menjadi hal yang biasa. Dan tidak akan terjamah oleh hukum karena tidak termaktub dalam Undang-undang. Juga kekerasan seksual yang dilakukan sesama jenis akan sulit untuk ditindak dan juga tidak terjamah hukum, karena tidak termaktub dalam Undang-undang.

Baca Juga:  Kontribusi Media Pembelajaran dalam Menunjang Proses Pembelajaran Bahasa Inggris

Sehingga ketika ada kasus-kasus kejahatan seksual seperti ini, tidak akan bisa diselesaikan secara hukum. Dengan demikian peluang kebebasan perilaku asusila dan kejahatan seksual akan terus meningkat, karena penyelesaian masalah ini tidak sampai ke akar-akarnya.

Solusi Tuntas Kasus Asusila

Islam menawarkan sistem yang bisa menyelesaikan kasus asusila dan kejahatan seksual secara tuntas. Baik tindakan yang bersifat kuratif (penyelesaian) maupun prefentif (pencegahan). Untuk tindakan prefentif, sistem Islam memberikan pengaturan yang tegas dalam sistem pergaulan. Sistem pergaulan Islam mengatur interaksi laki-laki dan perempuan di ranah publik dan privat. Dan membatasi interaksi laki-laki dan perempuan pada sektor muamalah, pendidikan dan kesehatan. Juga kewajiban menutup aurat dan menjaga pandangan yang diberlakukan bagi keduanya.

Untuk tindakan kuratif, yaitu dengan sistem sanksinya yang paripurna juga rinci, sebagai berikut:

Pertama, sistem sanksi dalam Islam untuk kasus perkosaan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini akan diberikan sanksi kasus perzinahan karena tidak ada pemerkosaan dalam pernikahan, yaitu sebagai berikut: 1). Jika dilakukan dengan suka sama suka, maka keduanya akan diberikan sanksi yang sama dengan ketentuan : a. Jika pelakunya adalah Muhson (sudah pernah menikah) sanksinya adalah dirajam yaitu dimasukan ke dalam lubang separuh badan, kepala ditutup kemudian dilempari dengan batu sampai mati. Ini dilakukan di tempat umum, agar disaksikan oleh khalayak ramai. Namun sebelumnya pelaku diberi kesempatan untuk bertaubat atas kemaksiatan yang telah dilakukannya terlebih dahulu; b. Jika pelakunya ghoiru Muhson (belum pernah menikah) sanksi dijilid (dicambuk 100 kali) dan diasingkan; 2). Jika dilakukan dengan pemaksaan, maka hanya pihak yang memaksa yang akan diberikan sanksi seperti pada ketentuan pertama. Sedangkan bagi korban tidak ada sanksi.

Baca Juga:  Merdeka dari Kecemasan Akibat Pandemi

Kedua, Sistem sanksi atas perkosaan yang dilakukan sesama jenis, sebagai berikut : 1). Jika pelakunya sesama lelaki (homoseks) maka keduanya dibunuh. Dengan teknis diserahkan kepada Penguasa atau Pemerintah sebagai “Hukkam”. “Barang siapa kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth alaihis salam (yakni melakukan homoseksual), bunuhlah pelaku dan objeknya.” (HR. Tirmidzi no. 1456, Abu Dawud no. 4462, dan selainnya); 2). Jika pelakunya sesama perempuan (Lesbi), sanksinya adalah takzir berdasarkan pendapat atau ijtihad Penguasa atau pemerintah sebagai “Hukkam”

Ketiga, sistem sanksi untuk LGBT, sebagai berikut : 1). Sanksi untuk pelaku Lesbi dan Gay seperti yang disebutkan pada rincian kedua, poin 1 dan 2; 2) Sanksi untuk pelaku Biseksual dilihat, jika dilakukan terhadap perempuan maka sanski yang diberlakukan sesuai rincian poin pertama, jika dilakukan terhadap sesama jenis maka sanksi yang diberlakukan sesuai rincian kedua poin 1; 3) Sanksi bagi pelaku transgender adalah diusir/diasingkan dari kampung. Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat para perempuan yang menyerupai laki-laki, dan para lelaki yang menyerupai perempuan”. Dalam hadis lain disebutkan, “Allah melaknat perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki dan laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan”.

Demikian rincian sanksi dalam sistem Islam terhadap kasus asusila dan kejahatan seksual. Dengan sanksi ini akan memberikan efek jawabir yaitu pengampunan dosa bagi pelaku karena sebelumnya diberi kesempatan bertaubat. Di samping itu juga akan memberikan efek jawazir yaitu efek jera bagi yang lainnya, karena jika melakukan hal yang serupa mereka akan diberikan sanksi yang sama.

Sehingga kasus asusila dan kekerasan seksual tidak akan terjadi berulang-ulang oleh pelaku yang sama dan tidak akan diikuti oleh orang selainnya. Inilah sistem sanksi dalam Islam yang hanya bisa diterapkan jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh “kaffah”. Wallahu a’lam bish shawab

Iklan
Iklan