Oleh Adzkia Mufidah, S.Pd
Pendidikan menjadi kebutuhan sekaligus hak seluruh rakyat. Hal itu termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1). Tentu saja kita tidak berharap penyelenggaraan dan pemenuhan hak tersebut sebatas pendidikan dasar tapi hingga pendidikan tinggi. Sebab ini sangat penting dalam rangka mempersiapkan dan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Lalu bagaimana jadinya nasib SDM dan bangsa ini jika pendidikan tingginya justru tak bisa diraih?
Biaya Pendidikan Tinggi Melangit Ditengah Himpitan Ekonomi
Berdasarkan data BPS, angka partisipasi sekolah (APS) kelompok usia 19-24 tahun, pada tahun 2020 hanya 25,56 persen. Meski sedikit naik di tahun 2021 menjadi 26,01 persen. Namun tetap saja berarti hanya sekitar 25-26 persen lebih lulusan SMA yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Para pengamat menilai bahwa penyebab utamanya adalah mahalnya biaya kuliah.
Kesimpulan di atas jelas bukan sekedar asumsi. Pasalnya beberapa waktu lalu, media sosial sempat diramaikan dengan persoalan tingginya biaya masuk universitas melalui seleksi mandiri. Informasi ini banyak beredar di media sosial, termasuk Twitter. Salah satunya akun Twitter @mudirans yang mengunggah foto berisi persyaratan Jaminan Kemampuan Keuangan (JKK) bagi calon mahasiswa Institut Teknologi bandung (ITB). Diketahui, JKK tersebut yakni orangtua atau wali mahasiswa harus mencantumkan rekeningnya dengan nominal minimum Rp 100 juta.
Selain itu, akun Twitter @bacteriofaggh juga mengunggah twit yang berisikan informasi rincian biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sejumlah warganet menilai jika calon mahasiswa baru mendaftar jalur seleksi mandiri tersebut, biaya yang dikenakan cukup besar. (kompas.com/22/7/2020).
Terkait biaya kuliah ini, sebelumnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga pernah menyurati Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait mahalnya pendidikan dokter. Asosiasi Institusi Pendidikan Dokter Indonesia (AIPKI) pun meminta pemerintah memberikan afirmasi terhadap pendidikan dokter agar lebih terjangkau.
Mahalnya biaya kuliah juga diakui oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi. Menurutnya memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal. Dede Yusuf mengungkapkan, banyak orang tua tak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran benturan biaya. Biaya mahal tersebut, kata Dede Yusuf, tidak cukup tertutupi dengan sejumlah program pemerintah baik dari beasiswa Kartu Indonesia Pintar atau KIP.
“Walaupun negara sudah menyiapkan beasiswa KIP Kuliah, untuk bantu uang semester. Namun ternyata untuk masuk kuliah ada uang lain seperti uang bangku, uang duduk, uang bangunan dan lain-lain yang besarnya bisa mencapai belasan juta. Apalagi prodi-prodi favorit, teknik dan kedokteran”. ungkap Dede. (kedaipena.com).
Melangitnya biaya kuliah tentunya akan menambah beban para orang tua. Apalagi di tengah himpitan ekonomi saat ini yang kiat kuat. Demi meraih mimpi, orang tua-ekonomi kelas menengah terpaksa harus memutar otak agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Di sisi lain, itu juga menjadi momok bagi sebagian besar masyarakat yang ekonominya di bawah. Mereka tidak bisa menjangkau pendidikan tinggi. Sehingga ini akan berdampak pada rendahnya daya saing bangsa dan rendahnya kesejahteraan.
Perguruan Tinggi dalam Dekapan Kapitalisme
Biaya pendidikan memang cenderung naik. Rata-rata kenaikan biaya pendidikan di Indonesia mencapai 20 persen setiap tahunnya. Sedangkan biaya pendidikan di perguruan tinggi swasta naik hingga 40 persen. (Republika.co.id)
Inilah jeratan kapitalisme. Ternyata kejamnya kapitalisme tidak hanya merasuk dan merusak dunia industri dan perdagangan. Tapi juga sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan. Semuanya akhirnya beredar menjadi sasaran para kapitalis untuk menambah dan memperbesar pundi-pundinya. Di sisi lain, ironisnya pemerintah juga minim peran. Bukannya menambah subsidi pendidikan, negara bahkan berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan tinggi.
Lihat saja, dengan alasan memperluas akses pendidikan melalui keterlibatan masyarakat, termasuk akses penyediaan jenjang pendidikan tinggi dan demi pemerataan akses, pemerintah memberlakukan undang-undang Nomor 12 Tahun 2012, dimana Perguruan Tinggi Negeri harus merubah statusnya menjadi PTNBH. Kemudian diikuti dengan kebijakan permendikti Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Kenyataannya hal itu justru membuka ruang lebar menjadikan sumber pendapatan melalui pendidikan tinggi. Komersialisasi pendidikan tinggi pun tak bisa dicegah. Pendidikan dijadikan komoditas. Bukannya mengupayakan peningkatan kualitas generasi, penyelenggaraan pendidikan tinggi berbasis masyarakat justru telah menjelma sebagai mesin pengeruk keuntungan bagi pihak pengelola. Beginilah nasib pendidikan tinggi dalam dekapan kapitalisme.
Kalau sudah begini, relasi lembaga pendidikan dan mahasiswa pun nantinya hanya mengarah pada transaksi harga antara penjual dan pembeli. Yang mampu membayar, dia dapat. Kondisi ini jelas akan mendorong pada makin lunturnya pandangan terhadap perguruan tinggi sebagai sumber ilmu dan penghasil para ilmuwan. Di samping itu, hal ini juga akan membuat bergesernya orientasi pendidikan pada pandangan materialistik.
Oleh karena itu, perguruan tinggi ini wajib dilepaskan dari dekapan kapitalisme. Sebab hanya dengan begitu seluruh rakyat bisa dengan mudah mendapatkan haknya mengenyam pendidikan tinggi. Hal tersebut hanya mungkin terwujud jika negara mau mencabut dan membuang ide juga system kapitalis ini dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan beralih pada aturan Islam dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan.
Sistem Islam ; Pendidikan Tanggung Jawab Negara
Di dalam Kitab al-Iqtishadiyyah al-Mutsla disebutkan bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya
(HR al-Bukhari).
Atas dasar itu, kepala negara (khalifah) bertanggung jawab menjamin setiap warga negara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah. Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bisa diwujudkan dengan cara menyediakannya dengan gratis bagi seluruh rakyat hingga pendidikan tinggi.
Negara juga wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Dengan kebijakan ini memungkinkan negara mampu menyelenggarakan pendidikan secara gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Hingga pendidikan tinggi tentunya. Wallaahu a’lam