Oleh : Zahida Ar-Rosyida
Pemerhati Sosial Keagamaan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 83 Tahun 2023, terkait membeli produk yang mendukung agresi Israel. Dalam fatwanya MUI menegaskan hukumnya wajib mendukung perjuangan Palestina. Sedangkan mendukung agresi Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram.
Termasuk haram membeli produk-produk dari perusahaan yang mendukung Israel (CNBC Indonesia.com 11/11/2023).
Fatwa ini adalah bentuk kepedulian dan solidaritas kaum muslimin khususnya di Indonesia atas kebrutalan Israel pada rakyat Palestina. Dilansir dari https://www.rri.co.id, 22/12/2023, pejabat kesehatan di Jalur Gaza mengatakan lebih dari 20.000 warga Palestina telah tewas oleh serangan Israel. Jumlah tersebut nyaris mencapai satu persen dari populasi wilayah tersebut.
Serangan besar-besaran Israel juga menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir kecil yang dikuasai Hamas. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan pada Jumat bahwa pihaknya mendokumentasikan 20.057 kematian hingga pertempuran terkini. Berbagai fasilitas umum dan pemukiman penduduk rata dengan tanah. Sarana air bersih, listrik dan prasarana lainnya sangat minim, karena dihentikan oleh Zionis Israel. Maka adalah sebuah kewajaran perasaan solidaritas ini membuncah.
Seruan boikot yang di kampanyekan beberapa kalangan terhadap produk-produk zionis Yahudi patut diapresiasi sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi penjajah tersebut.
Karena hal tersebut telah menggambarkan terwujudnya kesadaran individu masyarakat di negeri-negeri Muslim untuk membela Muslim Palestina. Umat melakukan apa yang mereka mampu, terlebih ketika menyaksikan negara tidak melakukan pembelaan yang lebih nyata atas nasib Muslim Palestina
Bahkan seruan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan zionis Yahudi telah mampu mendorong ormas Islam di negeri ini untuk mengeluarkan Fatwa. Namun yang perlu dicatat bahwa dari sisi perdagangan ekonomi, entitas Yahudi lebih banyak bergantung kepada negara-negara non-Muslim.
Tidak Berdampak Signifikan
Analyst MNC Sekuritas Raka Junico mengatakan, aksi boikot pada dasarnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pergerakan saham, terutama apabila boikot hanya berlangsung singkat. Di sisi lain, Raka melihat, gerakan ini akan menjadi katalis bagi produk lokal. “Jika aksi boikot dilakukan secara long-term, mungkin dapat mempengaruhi,” kata Raka saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (15/11/2023).
Pengamat politik dari Geopolitical Institute Adi Victoria mengapresiasi seruan boikot ini sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Yahudi. Namun demikian, menurutnya, boikot ini tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Zionis Yahudi.
“Boikot terhadap produk Yahudi tidak akan berdampak secara signifikan terhadap perekonomiannya karena perekonomian Yahudi didukung oleh negara-negara Barat, oleh Amerika, oleh dunia, oleh Eropa,” tuturnya di Kabar Petang: “Boikot Produk Israel Bikin Jerusalem Bangkrut?” melalui kanal Khilafah News, Senin (23-10-2023).
Alasan lain, dari sisi perdagangan, ekonomi zionis Yahudi lebih banyak bergantung kepada negara-negara nonmuslim. “Tahun 2020, misalnya, dari total ekspor bangsa Yahudi senilai US$50 miliar, hanya 4 persen yang diekspor ke negeri-negeri muslim yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam). Sedangkan yang terbesar, yaitu 55% diekspor ke Uni Eropa dan Amerika Serikat,” bebernya.
Ia lalu menyimpulkan, kalaupun seluruh negeri muslim memboikot produk Yahudi, tidak akan signifikan untuk bisa menghentikan penjajahan Yahudi.
Akar Masalah
Akar masalah Palestina adalah penjajahan dan pendudukan Zionis Yahudi atas tanah milik kaum Muslim, yang didukung negara-negara besar khususnya Amerika, Inggris, Prancis.Konflik ini telah terjadi lebih dari 100 tahun. Tepat pada 2 November 1917.
Kala itu Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat tersebut memang singkat, hanya 67 kata namun isinya memberikan dampak terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini.
Surat tersebut mengikat pemerintah Inggris untuk “mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” dan memfasilitasi “pencapaian tujuan ini”. Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di wilayah yang 90% penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina. Mandat Inggris dibentuk pada 1923 dan berlangsung hingga 1948.
Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi migrasi massal orang Yahudi. Di mana terjadi gelombang kedatangan yang cukup besar pasca gerakan Nazi di Eropa. Paska perang dunia ke 2, Amerika bersama Inggris “mendesain” pendudukan di Palestina.
Karena akar masalah adalah penjajahan dan pendudukan maka tidak cukup hanya boikot. Umat saat ini hanya bisa melakukan aksi boikot sebagai bentuk keberpihakan pada Palestina dan perlawanan terhadap Yahudi. Namun, boikot bukanlah solusi hakiki. Solusi hakiki atas penjajahan Yahudi adalah jihad fi sabilillah untuk mengalahkan entitas Yahudi.
Apalagi seruan boikot hanya lahir dari seruan masyarakat bukan dari negara sehingga dampaknya lebih kecil. Seruan boikot akan lebih efektif jika negara yang menyerukan. Karena negara adalah pemilik kekuasaan yang memiliki pengaruh yang kuat di tengah-tengah masyarakat.
Negara juga mampu mengambil tindakan menutup perusahaan-perusahaan terkait dan dalam kondisi seperti itu mereka akan mengalami kerugian lebih jauh dalam konteks pendukung zionis.
Negeri-negeri Muslim harus mampu menghentikan pemberian pasokan energi pasukan penting ke entitas Yahudi. Karena zionis Yahudi bergantung pada pasokan energi dari negeri-negeri muslim seperti Turki.
Allah dan Rasul-Nya tatkala menurunkan syariat Islam adalah sebagai solusi bagi setiap problem yang terjadi. Ketika di Palestina masalahnya adalah perampasan tanah kaum muslimin, maka solusinya adalah mempertahankan tanah kaum muslimin dan mengusir Zionis kafir sang perampas.
Dengan mengirimkan pasukan untuk mengusir zionis Yahudi ialah bentuk pembelaan secara nyata yang harusnya dilakukan oleh negara. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 191, “”Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu”.
Namun tampaknya semua itu mustahil dilakukan oleh negeri-negeri Muslim saat ini. Sebab, penguasa-penguasa Muslim saat ini telah menjadi kaki tangan negara-negara Barat yang secara nyata mendukung eksistensi zionis Yahudi bahkan menjadi penyokong utama persenjataan zionis Yahudi.
Maka tak heran, jika penguasa negeri-negeri Muslim hanya berani mengecam dan mengecam, tidak ada satu pun negara-negara Muslim yang berani memobilisasi militernya untuk menolong kaum Muslim di Palestina.
Tidak adanya upaya penguasa negeri-negeri Muslim mengikuti langkah milisi, yakni mengirimkan balasan serangan disebabkan adanya rasa nasionalisme di negeri-negeri kaum Muslim. Padahal, dahulu kaum Muslim bersatu di bawah kekuasaan Daulah Khilafah.
Namun adanya perjanjian Sykes-Picot membuat kaum Muslim terkotak-kotak menjadi nasion state. Tujuannya agar kaum Muslim tidak memiliki perasaan bersatu kembali. Maka, Barat menumbuhsuburkan paham nasionalisme di benak-benak kaum Muslim
Saat ini kaum muslimin di Palestina belum mampu mengusir Zionis Israel dari tanah Palestina. Artinya kewajiban bagi kaum muslimin di negeri-negeri Islam lainnya untuk membantu mengusir Israel. Tentunya dalam hal ini menjadi kewajiban para penguasa muslim mengirimkan tentaranya. Maka wajib menyerukan untuk mengirim tentara guna membebaskan Palestina dari agresi Israel. Termasuk MUI sebagai lembaga ulama tertinggi di Indonesia ikut menyerukan agar tentara Indonesia turun berjihad di tanah Palestina.
DK PBB tidak bisa dijadikan tumpuan harapan untuk menyelesaikan dan menghentikan agresi Israel. Pasalnya berbagai macam resolusi PBB tidak pernah digubris oleh Israel. Dan selama ini pula tidak ada sangsi keras PBB terhadap Israel. Jadi langkah-langkah diplomasi lewat PBB seperti yang dilakukan oleh Menlu Retno Marsudi, termasuk rekomendasi MUI dalam fatwanya agar pemerintah mengambil jalan diplomasi di PBB tidak memberikan keuntungan apapun bagi hengkangnya Zionis dari tanah Islam Palestina
Apalagi mengharapkan OKI untuk melakukan tekanan kepada Israel agar menghentikan agresinya. Memang pada 11 Nopember 2023, Arab Saudi menggelar KTT Liga Arab-OKI untuk membahas Palestina. Lagi-lagi hanya berisi klausul dan kecaman atas agresi Israel. Meskipun ada klausul menghentikan hubungan dengan Israel, ujung-ujungnya tetap ada klausul untuk menempuh jalur diplomasi ke New York. Padahal AS merupakan negara yang menyokong Israel. Tentunya KTT Liga Arab-OKI hanyalah pencitraan mengambil hati kaum muslimin. Padahal para penguasa Arab bisa mengirim tentara muslim membebaskan Palestina dari Zionis Israel.
Dengan memperhatikan track record PBB dan Liga Arab-OKI sedemikian, maka menyandarkan penyelesaian masalah Palestina kepada organisasi-organisasi hanya akan menemui kegagalan. Bahkan rekomendasi PBB atas masalah Palestina hanya akan mengokohkan penjajahan Israel atas Palestina.
Walhasil tidak ada solusi syar’i atas perampasan tanah Palestina oleh Israel kecuali dengan Jihad. Jihad atau perang yang dilancarkan tentara muslimin seluruh dunia. Hanya saja memang ada kendala nasionalisme yang membelenggu penguasa muslim untuk mengirim tentaranya. Bahkan sebagian negara Arab telah menormalisasi hubungannya dengan Israel. Maka seluruh kaum Muslim harus menyuarakan jihad untuk mengusir Israel seruan kepada para pemimpin negeri Muslim agar mengirim tentara muslim untuk berperang.
Menjadi hak dan kewajiban kepada seluruh ulama kaum muslimin termasuk MUI menyerukan solusi Jihad dalam rekomendasi fatwanya untuk menuntaskan penjajahan Israel atas Palestina.
Kebijakan pemboikotan produk perdagangan oleh negara kafir harbi fiklan akan mampu dilaksanakan oleh Negara Khilafah Islamiyyah. Oleh karena itu, aksi solidaritas kaum muslimin untuk menolong Palestina adalah dengan menyerukan Jihad dan penegakkan Khilafah. Inilah solusi yang tepat bagi penjajahan Israel atas Palestina. Bahkan solusi Jihad dan Khilafah menjadi solusi jangka pendek dan nyata. Bukankah kaum muslimin itu boleh kosong tanpa seorang Khalifah di tengah mereka maksimal 3 hari dan 3 malamnya? Lantas masihkah kita berpangku tangan dari upaya penegakkan Khilafah? Padahal tegaknya Khilafah itu sebagai junnah atau perisai bagi kaum muslimin.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang Imam atau Khalifah itu sebagai perisai (pelindung), tempat kaum muslimin berperang bersamanya dan berlindung di belakangnya”. Wallahu’alam bi ash-showab.