Ulama dan Kyai Perempuan

Oleh : Ahmad Barjie B

Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel Penulis buku “Mengenang Ulama dan Tokoh Banjar”

Melalui forum Rakerda dan Musda MUI Kalsel 2020 dan 2021 yang lalu, Ketua MUI Kalsel Tuan Guru H Husin Naparin Lc MA meminta agar ke depannya dapat disusun buku tentang “Ulama Perempuan Kalimantan Selatan”, seraya mencontohkan beberapa tokoh perempuan yang pandai membaca kitab kuning, berceramah, mengasuh pesantren, pengajian/majelis taklim dan mengabdi masyarakat, baik yang sudah meninggal dunia maupun masih hidup. Ilmu mereka tidak kalah dengan ulama laki-laki yang di kalangan masyarakat Banjar sering disebut dengan tuan guru, guru, mualim, ustadz dan kadangkala juga disebut kyai.

Belakangan bahkan banyak pula perempuan di banua yang berhasil mencapai gelar kesarjanaan tertinggi doktor (Doktor) dan guru besar (profesor), termasuk di bidang agama. Kedalaman dan keluasan ilmu mereka juga mumpuni, tidak kalah bahkan tidak mustahil lebih tinggi dan luas daripada ulama laki-laki.

Permintaan KH Husin Naparin di atas, rasanya masuk akal dan tidak berlebihan. Sebab, penulisan buku-buku biografi selama ini, baik yang sifatnya perorangan maupun kolektif, lebih banyak didominasi oleh tokoh dan ulama laki-laki. Nyaris atau hampir tidak ada yang menyentuh ulama perempuan. Hal ini dapat kita lihat misalnya “Ulama Kalimantan Selatan dari Masa ke Masa”, edisi pertama (2010) dan kedua (2011) yang diterbitkan oleh MUI Kalsel, maupun edisi revisinya yang diterbitkan oleh UIN Antasari Banjarmasin (2020), semuanya memuat ulama laki-laki. Ulama yang diangkat hidup dalam rentang waktu lama, sejak sebelum era Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sampai era sekarang. Kenyataan ini menunjukkan adanya bias gender, padahal dalam masa berabad-abad tersebut sudah pasti ada ulama perempuan yang berperan di masanya, atau namanya tidak ditonjolkan.

Baca Juga:  GENERASI MUDA

Penulis pun merasa “ikut bersalah”, karena dalam buku-buku biografi yang penulis susun, baik individual maupun kolektif, semuanya diisi oleh ulama dan tokoh laki-laki. Baru dalam buku “Tokoh Banjar dalam Kenangan”, penulis memasukkan dua orang perempuan, yaitu Hj. Asmah Sjahruni (1927-2014) seorang politisi asal Kalsel yang menjadi anggota DPR RI lebih dari 30 tahun, dan menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU selama tiga periode. Kemudian Hj. Joerliani Djohansjah (1936-2018) seorang budayawati, maestro tarian Banjar dan pencetus agar kain sasirangan go public, tidak lagi sebagai kain yang dipakai kalangan bangsawan Banjar atau hanya dipesan dan digunakan untuk berobat secara nonmedis.

Antara Kyai dan Nyai

Persoalan ini sebenarnya sudah lama dirasakan di kalangan masyarakat. Di era sebelum kemerdekaan, di Jawa terutama, sempat muncul istilah kyai dan nyai. Seorang kyai adalah ulama, ajengan, guru atau ustadz yang mengasuh pondok pesantren. Ketika dia memperistri seorang atau lebih perempuan, maka otomatis perempuan tersebut akan menjadi nyai dari kyai bersangkutan.

Ada pula nyai yang mendapatkan predikat tersebut karena bersuamikan orang Belanda, melalui nikah resmi maupun bawah tangan. Perempuan, biasanya dipilih yang cantik, ketika bersuamikan orang Belanda, baik kalangan pejabatnya, yang biasa dipanggil tuan atau meneer, maka ia juga disebut dengan nyai. Status tersebut dianggap terhormat, meskipun hak-hak perempuan dan anak-anaknya, kadang juga diabaikan oleh sang suami.

Sebagai contoh, Snouck Hurgronje, memiliki beberapa orang istri Indonesia yang dinikahi dan digelari nyai. Menurut kajian Prof Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2017: 134-6), Hurgronje sempat berhaji di tanah suci dan memiliki seorang budak wanita (harem), ia juga berkhitan dan mengganti namanya dengan Abdul Gaffar al-Hollandy. Ia menikah dua kali dengan wanita (muslimah) Sunda; pertama dengan Sangkana anak penghulu Ciamis dan beroleh empat orang anak yaitu Salmah, Oemar, Aminah dan Ibrahim.

Baca Juga:  Menepis Kekhawatiran PTM saat Wabah Melandai

Sepeninggal Sangkana ia menikah lagi dengan Siti Khadijah anak seorang hakim agama di Bandung dan beranak Raden Joesoef. Namun kelima anaknya tidak menggunakan nama Hurgronje di belakang namanya. Setelah Hurgronje pulang ke Belanda, hubungan dengan kelima anaknya terputus, ia tidak mendorong mereka untuk menempuh pendidikan di Eropa, dan ia dianggap tidak begitu bertanggung jawab terhadap keluarganya di Indonesia.

Tampak di sini bahwa status nyai Belanda tidak otomatis mengangkat derajat perempuan (istri) dan anak-anaknya. Mungkin lebih terhormat nyai dari seorang kyai, karena ia sangat dihormati dalam komunitasnya dan anak-cucunya biasanya juga akan menjadi ulama.

Belakangan, nyai juga dijadikan panggilan untuk istri kalangan manapun. Seorang suami yang sayang sama istrinya, kadang juga memanggil istrinya dengan nyai. Ingat lagu Jaja Mihardja, “Aduh Nyai”, betapa sang istri yang dianggapnya nyai, dipuja, dipuji dan disayangi sepenuh jiwa.

Kyai Hajjah

Kembali ke soal ulama perempuan, jujur kita akui peran mereka semakin besar. Begitu banyak perempuan masuk pesantren, perguruan tinggi Islam, bahkan kuliah hingga ke timur tengah, misalnya ke Haramain, Mesir, Hadramaut dan sebagainya. Termasuk dari Banjar, jumlah mereka sangat banyak, dan rata-rata atau kebanyakan hafal Alquran (hafizhah). Mereka menguasai bahasa Arab, sudah berhaji, dan sudah pasti pandai membaca kitab kuning, satu hal yang sangat dipersyaratkan sebagai ulama, terutama menurut kacamata masyarakat Banjar tradisional.

Ketika mereka pulang, hampir pasti mereka akan menjadi ulama, aktif berceramah, mengasuh pesantren, pengajian, tahfizh, memberi kuliah, dan sebagainya. Tetapi selama ini panggilan untuk mereka sering hanya ustadzah. Ada kesan, karena mereka perempuan, tidak dianggap ulama. Padahal jika dibandingkan dengan ulama laki-laki yang biasa disebut Kyai Haji (KH), ulama perempuan itu sejatinya juga dapat disebut Kyai Hajjah (KHj). Sekiranya tidak ada kontroversi dalam penggunaan nyai, mungkin mereka dapat disebut Nyai Hajjah (NHj).

Baca Juga:  Kita Harus Hadapi Dua Virus Mematikan Sekaligus

Apapun sebutannya, yang jelas kehadiran ulama perempuan semakin nyata adanya dan dibutuhkan perannya, mengingat masalah keperempuanan semakin besar dan kompleks. April 2017 diadakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat. Dihadiri 500-an orang ulama perempuan, daiyah/muballighah, pengasuh dan pemimpin majelis taklim, para dosen dan cendekiawati muslimah. Selain dari berbagai daerah Indonesia, KUPI juga mendatangkan sejumlah narasumber ulama perempuan mancanegara, khususnya dari negara-negara Timur Tengah, India, Pakistan dan Asia Tenggara.

Ketua Streering Committee, Bariyah Fayumi mengatakan, di antara tujuan KUPI adalah untuk melegitimasi dan mengafirmasi keberadaan ulama perempuan di Indonesia serta merespon berbagai masalah terkait relasi perempuan dan agama. Juga memberi rekomendasi kepada para pengambil kebijakan untuk mengatasi berbagai masalah bangsa, terutama terkait perempuan. Pihaknya ingin menegaskan kepada masyarakat Indonesia dan dunia bahwa ulama perempuan itu nyata adanya dan telah lama memberikan kontribusinya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selama ini memang masih ada kontroversi tentang sebutan dan keberadaan perempuan sebagai ulama. Ada kalangan menyatakan, ulama itu hanya laki-laki. Alasannya, ada hadits shahih riwayat Imam Bukhari bahwa ulama adalah pewaris Nabi, sementara semua nabi adalah laki-laki, tidak ada perempuan. Jumlah Nabi 124 ribu orang dan Rasul 313 orang, semua laki-laki. Dalil ini tentu tidak perlu menjadi halangan suatu istilah. Ulama itu pewaris nabi, tapi bukan nabi. Jadi ia boleh laki-laki boleh perempuan. Wallahu A’lam.

  • Related Posts

    Prostitusi Online Pada Anak, Memalukan Atau Memilukan? 

    Oleh : Ummu WildanPemerhati Anak Kasus demi kasus bermunculan ke permukaan. Jual beli kemaluan anak perempuan dilakukan. Sebuah kenyataan pahit yang harus ditelan namun harus menjadi perhatian untuk dihentikan.  Polsek…

    Legalisasi Aborsi Mengakibatkan Beban Ganda Korban Pemerkosaan

    Oleh : Alesha MaryamPemerhati Generasi Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. PP tersebut di antaranya mengatur…

    Baca Juga

    Ini Kata Psikolog Tentang Anak Korban Kekerasan Seksual

    • By EDP JKT
    • September 7, 2024
    • 17 views
    Ini Kata Psikolog Tentang Anak Korban Kekerasan Seksual

    Banyak Manfaatnya Berolahraga di Pagi Hari

    • By EDP JKT
    • September 4, 2024
    • 84 views
    Banyak Manfaatnya Berolahraga di Pagi Hari

    Ada Lima Gejala Tersembunyi Seseorang Alami Sindrom Metabolik

    • By EDP JKT
    • September 3, 2024
    • 104 views
    Ada Lima Gejala Tersembunyi Seseorang Alami Sindrom Metabolik

    Harga Emas Antam Stabil

    • By EDP JKT
    • September 2, 2024
    • 124 views
    Harga Emas Antam Stabil

    Antisipasi Menghadapi Gempa Megathrust

    • By EDP JKT
    • September 1, 2024
    • 148 views
    Antisipasi Menghadapi Gempa Megathrust

    Bangkitkan Skena, Perbasi Gelar E-Basketball Championship 2024

    • By EDP JKT
    • Agustus 29, 2024
    • 152 views
    Bangkitkan Skena, Perbasi Gelar E-Basketball Championship 2024