Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Valentine’s Day, Politisasi Life Style

×

Valentine’s Day, Politisasi Life Style

Sebarkan artikel ini

Oleh : Salasiah, S.Pd
Pemerhati Generasi Muda

Tanggal 14 Februari tahun ini bertepatan dengan hari pencoblosan Pemilu di Indonesia. Pesta demokrasi yang menentukan arah masa depan Indonesia lima tahun ke depan. 14 Februari sendiri adalah hari puncaknya pesta yang dirayakan sebagai pesta kasih sayang, Valentine’s Day.
Valentine’s Day adalah budaya wajib liberalisme. Budaya yang ditengarai sebagai hari kasih sayang. Warna pink, aksesoris berbentuk hati dan coklat adalah pasar yang identik dengan perayaan Valentine. Ritual lain yang mewarnai budaya Valentine adalah life syle yang berwarna free sex sebagai pembuktian cinta dan kasih pada pasangan yang belum halal dan belum tentu berjodoh, yang diistilahkan kaum milineal dengan bucin.
Eksploitasi seks terus dilakukan dengan pasar yang tidak pernah sepi, apalagi dihantar secara online langsung secara private. Seolah kehabisan barang komoditi, para pengusaha, pemilik modal dan pelaku pasar membidik pasar yang dianggap jauh lebih menghasilkan dolar. Hipotesa Freud yang naif, bahwa seks adalah kebutuhan manusia yang jika tidak dipenuhi akan mendatangkan kematian, menjadi dalil yang mendukung keberlangsungan pasar seks secara masif. Kebutuhan untuk memenuhi naluri berketurunan menjadi peluang terbuka bagi penganut kapitalis untuk meluaskan usaha.

Baca Koran

Pasar Valentine
Fashion yang dianggap seni, model baju yang sangat ‘hemat’ kain dengan harga yag mahal, berbaju tapi telanjang, sebagai mode yang diciptakan. Majalah dan film porno secara online sebagai literasi pelengkap untuk menuntun kepornonoan menjadi berkelas. Secara vulgar para model dan artis yang mengaku diri mereka sebagai public figur langsung memberi tauladan lewat media, bagaimana memamerkan aurat menjadi sebuah seni dan peghasilan yang berlimpah.
Mengambil data Synovate, persentase kawula muda yang suka blue film, melihat gambar telanjang dan membaca buku porno cukup hebat, pria 83 persen dan wanita 53 persen. Inilah jajanan yang diminati dan jadi kebutuhan para remaja dewasa ini. Hingga tidak terbantahkan jika remaja lebih banyak mengunduh situs porno daripada situs lain ketika berada di dunia maya. Target utama pasar ini memang ditujukan kepada remaja dan kaum muda. Keuntungan yang diraih oleh pelaku pasar seks secara sadar jelas bertujuan menghancurkan generasi muda.
Media-media porno yang mudah diakses membawa efek langsung yang cepat pada para remaja yang secara psikologis memang selalu ingin tahu dan suka mencoba, juga meniru. Jadilah kebutuhan akan pasar seks sebagai sebuah perilaku bagi remaja dan kaum muda.
Gaul bebas pun menjadi life style yang mengasyikkan juga hadir bebas secara online. Peremuan berpakain minim, adegan mesum, konten porno, video, game, aplikasi-aplikasi android, acara TV dan film. Mewakili kehidupan remaja saat ini. Serbuan fakta seksual yang membangkitkan syahwat, membuat hasrat seksual remaja pun menjadi tidak terbendung. Masyarakat yang indivualis semakin mendukung remaja untuk melampiaskan hasrat seksnya yang terlanjur bergelora.
Valentine’s day menjadi wadah untuk mengendorse semua produk kapitalisme itu. Tak bisa disangkal bahwa di setiap perayaan valentine’s day, alat kontrasepsi menjadi laris dipasaran. Jika tolak ukur keberadaan media sosila online hanya diukur sejauh manfaat dari sisi pemilik modal, yang juga membawa pemasukan negara, tentu akan membuat pemerintah ambigu untuk menutup jurang kehancuran generasi dalam arus liberalisasi.

Baca Juga :  Mercusuar dari Palestina yang Terlupakan

Liberalisasi Seks
Liberalisasi seks semakin merebak, ketika pemenuhan seks yang halal dihalang-halangi bahkan ditutup. Misalnya mencap pernikahan usia muda yang disunahkan dengan citra negatif karena dituduh membahayakan kesehatan, melanggar hak anak, menyebabkan penderitaan, kemelaratan, menurunkan kualitas remaja dan masa depan remaja tidak menentu. Untuk melegalkan dan ‘menyehatkan’ revolusi seks yang begitu memanjakan nafsu maka digagaslah Kesehatan Reproduksi (Kespro) pada International Conference Population Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo, termasuk Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Faham ideologi sekularisme, jikapun tidak meblok peran agama sejauh mungkin meminimalisasinya di dalam sistem kehidupan. Maka lafal yang fasih kita dengar dari pengaruh pedemi sekularisme adalah ”Jangan bawa-bawa agama dalam politik dan pergaulan”. Maka hari kasih sayang adalah hari pembebasan seks tanpa biaya, dengan dasar suka sama suka.
Budaya Valentine’s Day sengaja dipasarkan sebagai budaya global untuk menguasai pasar generasi muda dan orang-orang yang labil untuk mengubah arah pemikiran mereka sehingga mengekor budaya tertentu. Akankah dihasilkan remaja dan kaum muda sebagai generasi yang sehat yang diharapkan bisa merubah nasib bangsa ini?
Untuk memperoleh jawaban “Ya”, tentu harus mengembalikan semuanya kepada sistem aturan yang berasaskan aqidah yang menjadi penuntut hidup. Sehingga dihasilkan generasi yang tanggap membangun pemikiran dengan kasih sayang yang lurus bedasarkan aturan agama dalam kehirupan.
Semoga pesta pemilu yang bertepatan dengan valentine’s day tidak menjadi politisasi seks bebas, gambaran masa depan pemimpin Indonesia ke depan yang berkontribusi pada kapitalisme dan liberalisme. Yang berpihak pada kehidupan bebas untuk memenuhi kebutuhannya. Wallahu’alam bishawab.

Iklan
Iklan