Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Pemilihan Penguasa Bersandarkan Islam Menafikan Munculnya Persoalan

×

Pemilihan Penguasa Bersandarkan Islam Menafikan Munculnya Persoalan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Aniyah, S.Pd Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi

Menjelang Pilkada yang digelar November ini masyarakat disuguhkan dengan berbagai kekisruhan di berbagai daerah, mulai dari mobilisasi kepala desa, praktik suap, hingga janji masuk surga. Di Jawa Tengah, muncul dugaan mobilisasi kepala desa untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktik kotor semacam ini terjadi secara massif dalam beberapa pekan terakhir.

Rabu (23/10/2024) malam, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah mengikuti pertemuan secara tertutup dengan slogan “Satu Komando Bersama Sampai Akhir). (tirto.id). Di Aceh marak isu adanya dugaan pemberian suap sebagai ‘mahar’ kepada salah satu partai dari salah satu calon bakal Bupati Aceh Selatan. Bahkan, dalam isu yang berkembang di media disebutkan dugaan suap mencapai Rp 1 miliar (infoaceh.net).

Baca Koran

Bawaslu Kabupaten Mesuji, Lampung pun sedang melakukan penelusuran terkait pernyataan salah satu calon Bupati Mesuji yang menjanjikan pemilihnya akan masuk surga. Pengamat menilai, pernyataan tersebut sebagai strategi manipulasi emosional religius masyarakat (kompas.id).

Rakyat sejatinya hanya menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem kapitalisme demokrasi. Kebobrokan politik demokrasi ini tidak terlepas dari asasnya yang batil. Yakni, meletakkan kedaulatan hukum di tangan manusia. Konsekuensinya, politik dan jabatan dijadikan sebagai jalan meraih kekuasaan. Sebab, dengan kekuasaan bisa mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok mereka. Karena kekuasaan menjadi tujuan segala macam cara ‘dihalalkan’ demi meraih kekuasaan.

Salah satunya adalah berjalannya praktik politik uang atau suap-menyuap. Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan. Pemilihan dalam sistem politik demokrasi terbukti hanya menguntungkan kepentingan tertentu, yakni oligarki. Pasalnya, politik dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Para pemilik modal dan partai politik menjadi support utama para calon kepala daerah untuk bisa maju sebagai calon.

Alhasil, ketika terpilih kebijakan kepala daerah nyaris tidak pernah berpihak kepada rakyat, tetapi lebih banyak berpihak kepada para pengusaha yang mensupport mereka. Inilah yang disebut politik balas budi yang mutlak terjadi dalam sistem politik demokrasi. Hal ini tentu merugikan rakyat sebagai pemilih.

Baca Juga :  Salah Kaprah Kampus sebagai Pabrik Pekerja

Rakyat juga dirugikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan dalam proses pemilihan kepala daerah ini. Padahal, biaya yang digunakan adalah uang rakyat. Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024 (kompas.com).

Namun rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut. Seperti munculnya konflik horizontal hingga kesejahteraan yang selalu berujung janji semata. Sungguh, sistem politik demokrasi tidak layak diterapkan di negeri ini. Karena kebatilan dan bahayanya yang nyata atas umat.

Dalam sistem kapitalisme demokrasi, jabatan diperebutkan dengan menebar simpati, bahkan money politic agar jabatan bisa dalam genggaman. Setelah semuanya bisa diraih, lupa dengan janji-janji politik mereka. Jabatan dianggap kesempatan meraih kekayaan, karena nilai kebahagiaan yang dikejar dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah banyak materi yang didapatkan. Sehingga ini semua akan mendorong menyalahgunakan jabatan termasuk juga korupsi yang tidak akan pernah berhenti. Kedaulatan yang diserahkan kepada manusia telah membuat hukum bisa diubah-ubah sesuai selera yang berkuasa karena klaim mewakili rakyat.

Demokrasi mahal yang menjadikan uang sebagai panglima menciptakan habitat subur untuk jual-beli kebijakan dan korupsi. Semua ini menciptakan simbiosis mutualisme politisi dan pemilik modal yang membahayakan rakyat. Selain itu, dalam sistem Kapitalisme demokrasi berbagai peraturan yang bertentangan dengan Islam malah dikeluarkan.

Sudah seharusnya umat beralih pada sistem politik shahih yang pernah dicontohkan dan dipraktikkan Rasulullah Saw suri teladan terbaik bagi umat manusia. Sistem politik yang dimaksud adalah Khilafah. Dalam Islam, politik (siyasiyah) itu memiliki makna ri’ayah su’unil ummah atau mengurus urusan umat.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam buku berjudul “Pemikiran Politik Islam” menjelaskan makna politik Islam adalah mengatur urusan rakyat baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan ajaran Islam. Syaikh Ahmad ‘Athiyah menyatakan politik bermakna ‘memelihara, mengurus, dan memperhatikan urusan rakyat.’

Baca Juga :  Dosen, Ai, dan Semiotika Peirce: Menjaga Makna Dalam Proses Pembelajaran

Makna demikian dapat dipahami dari hadist Rasulullah Saw: “Dahulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Apabila seorang nabi wafat, diutuslah nabi berikutnya. Akan tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Namun, akan ada para Khalifah.” (HR. Muslim).

Jika politik dibatasi dengan makna demikian, tentu kekuasaan yang ada digunakan untuk mengurus umat. Bukan untuk mengurus kepentingan pribadi, maupun kelompok sebagimana yang terjadi hari ini. Di sisi lain, Islam juga menetapkan kekuasaan digunakan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Makna kekuasaan yang demikian dapat dipahami dari bagaimana perjuangan Rasulullah mendakwahkan Islam hingga berhasil menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menjadi kepala negara di Madinah.

Politik dan kekuasaan dalam Islam memiliki makna khas, yakni terkait mengurus urusan umat sesuai syariat dan amanah untuk menerapkan hukum syariah secara kaffah. Dalam pemilihan kepala daerah, yakni Wali atau Amil, sebagai pengurus rakyat Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya. Pemilihannya ditetapkan dengan penunjukan Khalifah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini karena posisi mereka adalah sebagai pembantu Khalifah. Khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas dan memiliki kapabilitas, yang amanah kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang diamanahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinkanya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pemilihan penguasa bersandarkan Islam, yang dilaksanakan di bawah institusi Khilafah akan meminimalkan bahkan menafikan munculnya persoalan. Khalifah akan memilih individu amanah, berintegritas dan memiliki kapabilitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan menerapkan hukum syariat, maka rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.[]

Iklan
Iklan