Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Membangun Kalimantan

×

Membangun Kalimantan

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Ekonomi

Beberapa tahun lalu, Koordinator Kaukus Kalimantan DPD-RI Prof H KMA Usop MA dalam pembukaan Semiloka “dari Kalimantan untuk Indonesia” di Mahligai Pancasila Banjarmasin menyatakan, 60% uang hanya beredar di Jakarta dan 90% di pulau Jawa. Sisanya, 10% terbagi di pulau-pulau lain, termasuk Kalimantan di posisi nomor dua sesudah Papua.

Baca Koran

Walau kini bermunculan orang kaya baru di Kalimantan, khususnya kalangan pejabat dan pengusaha tambang, akumulasi uangnya jauh dibanding Jawa. Sekiranya prinsip NKRI dijiwai dan dijalankan secara adil dan benar, tentu tidak terjadi kesenjangan yang luar biasa ini. Kalimantan sejatinya beroleh porsi pembangunan dan kesejahteraan tidak berbeda dari propinsi lain.

Sedihnya, Kalimantan yang rendah kesejahteraanya hanya Kalimantan (Indonesia), sedangkan Kalimantan Sabah dan Sarawak (Malaysia) dan Kalimantan Brunei Darussalam sangat sejahtera. Orang Malaysia dan Brunei relatif sama dengan kita; rasnya, agamanya, budayanya, fisik dan kepintarannya. Mereka hanya memiliki wilayah yang lebih sempit, Malaysia 27%, dan Brunei 1% dari seluruh luas Kalimantan. Selebihnya 72% justru milik RI dengan lima propinsi, yang rata-rata kaya SDA. Ternyata tingkat kesejahteraannya berbeda mencolok dengan kita. Jadi, pasti terjadi mismanajemen pemerintah (pusat) dalam mengayomi Kalimantan dan membangun Indonesia pada umumnya.

Sebenarnya kontribusi Kalimantan untuk Indonesia tidak kurang, sejak era perjuangan melawan penjajah hingga mengisi kemerdekaan. Ketika pemerintah meninggalkan Kalimantan dalam Perjanjian Linggajati, pejuang Kalimantan justru mencetuskan Proklamasi 17 Mei 1949 yang berisi kesetiaan kepada Republik Indonesia. Pengakuan Kedaulatan oleh Belanda hasil tekanan perjuangan rakyat yang semakin gigih, termasuk dari bumi Borneo. Tidak pernah orang Kalimantan melakukan gerakan separatis untuk menyempal dari NKRI sebagaimana dilakukan sebagian daerah lain. Padahal Kalimantan saat itu tidak beroleh apa-apa dari pusat.

Sesudah merdeka bumi Kalimantan memberi kontribusi khususnya lewat hasil migas, kayu dan kini batubara. Puluhan tahun rakyat hanya menonton ketika daerahnya mengalami booming migas dan kayu, tanpa beroleh kompensasi kesejahteraan memadai. Kalau booming batubara yang kini masih berjalan tidak juga ditandai kesejahteraan, habislah sudah. Yang tersisa hanya jalan rusak dan alam kritis, bencana beruntun, banjir, tanah longsor dan sebagainya, dan merugikan mayoritas rakyat kecil.

Tekad Baru

Di tengah keterpurukan, wajar orang Kalimantan sejak lama berteriak dan kini pun mereka terus berteriak. Rekomendasi yang dideklarasikan dari Semiloka di atas ini mestinya disikapi dengan arif. Sesudah melaksanakan kewajiban, rakyat Kalimantan juga menuntut hak. Tetapi menuntut hak di negeri ini susahnya bukan main. Perlu dibangun keberanian dan tekad kuat, agar hak-hak pembangunan dan kesejahteraan yang dituntut itu rasional, dan dapat diperjuangkan. Tidak sekadar teriakan keras di tengah hutan yang hilang terbawa angin.

Baca Juga :  Fasilitasi Kerja Oleh Negara

Men-PAN era Presiden SBY, Taufik Effendi, memberi empat jurus membangun Kalimantan yang ia sebut 4 C; concept, competence, connection dan consistent. Konsep diperlukan supaya pembangunan yang diinginkan jelas bentuk dan arahnya, diketahui kekuatan dan peluangnya dan disadari kelemahan dan tantangannya. Gubernur Kalsel berpesan, percepatan pembangunan tidak berarti tergesa-gesa, melainkan harus melalui kajian matang supaya tidak kebablasan, boros dan kontraproduktif.

Kompetensi (kecakapan, kemampuan dan keahlian) diperlukan dengan menyiapkan SDM yang handal. Kalimantan sebenarnya cukup memilikinya, ada banyak perguruan tinggi, banyak putra terbaik tersebar di dalam dan luar daerah bahkan luar negeri, baik yang duduk di institusi formal maupun nonformal. Selama ini berjalan sendiri-sendiri dan tidak terwadahi secara maksimal.

Koneksi diperlukan, sebab pembangunan berskala besar memerlukan jaringan (network) yang luas, dengan daerah lain, pusat bahkan luar negeri. Daerah tidak bisa berjalan sendiri, sebab dana pembangunan justru dikuasai pusat. Kebijakan pun sebagian besar masih di tangan pusat. Walau kini era otonomi daerah, pusat baru menjalankannya setengah hati. Kepala dilepas, ekornya dipegang.

Realisasi cita-cita yang optimal memerlukan konsistensi. Kelemahan bangsa ini adalah tidak konsisten. Kebijakan Pemerintah suka berubah-ubah, janji-janji banyak tidak ditepati. Mengantisipasi inkonsistensi, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang ketika itu secara cerdas menyiasatinya dengan membuat ikatan-ikatan kesepakatan (MoU) pembangunan dengan pemerintah, lengkap dengan target waktu, biaya, juklak dan capaiannya. Bila pemerintah lalai bisa ditagih, diperingatkan bahkan dibawa ke pengadilan.

Tetap Rasional

Agar pusat lebih memperhatikan Kalimantan, Lambran Ladjim (alm) seorang pejuang dan saksi sejarah mengusulkan perlunya sikap “nakal”. Kalau terus “ambak”, menjadi anak manis dan pendiam, pusat akan terus membiarkan Kalimantan apa adanya, sedangkan kekayaan SDA terus dikeruk. Pendapat ini mungkin ada benarnya, terbukti pemerintah pernah memanjakan Timtim era integrasi, karena elit Timtim tergolong nakal dan vokal. Walau minim SDA, pembangunannya lancar karena pasokan dana pusat dan daerah lain. Kini Timtim sudah merdeka.

Baca Juga :  Pendidikan sebagai Pilar Kecerdasan dan Perubahan Generasi Emas Indonesia

Seperti apa sikap nakal itu, masih perlu dirumuskan. Tentu tidak harus seperti Timtim, Aceh, Papua atau Maluku yang berdarah-darah. Yang jelas sikap berbeda mulai disuarakan urang Kalimantan, paling tidak dilihat dari rekomendasi Semiloka. Di antaranya menuntut otonomi khusus, pembagian keuangan 50:50, moratorium pertambangan, pemekaran daerah baru, percepatan pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan, pendidikan dan kesehatan, perluasan kewenangan DPD-RI, dll.

Rekomendasi ini logis saja. Tetapi agar practicable, diperlukan usul-usul yang lebih rasional. Mendesak sekali peningkatan kesejahteraan yang merata didahului perluasan lapangan kerja. SDA Kalimantan perlu digali secara berencana dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan masyarakat dan keselamatan lingkungan jangka panjang. Sikap berlebihan mengekploitasi SDA sangat membahayakan masyarakat sekarang dan generasi mendatang. Dana pembangunan hendaknya tidak hanya berasal dari alam, tetapi sumber lain yang lebih smart dan menyelamatkan.

Pemekaran, jika dalam arti menambah provinsi dan kabupaten, rasanya cukup penting jika muaranya untuk memeratakan pembangunan dan kesejahrteraan. Lebih strategis juga membuka isolasi antardaerah dan mempercepat pertumbuhan daerah baru. Jika dekat suatu kota, walau lain provinsi silakan dibuka bebas. Orang Sangihe Talaud sejak lama berdagang ke Filipina, bahkan tanpa paspor meski beda negara. Ternyata hal itu membantu kesejahteraan.

Membangun jalan-jalan darat, lintasan kereta api, pelabuhan sungai, laut dan udara serta memperbaiki prasarana yang sudah ada perlu dilakukan segera. Tidak kalah penting mengatasi masalah yang hari ini masih jadi problema krusial, mahalnya air dan telekomunikasi, mahalnya BBM, mahalnya transportasi dll., yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Kalau hal ini mampu diatasi pusat dan daerah, itu sudah signifikan.

Sudah waktunya pusat memandang daerah secara bertanggung jawab. Pembangunan jangan dilihat secara politis, tetapi semata untuk kesejahteraan. Dengan cara demikian pembangunan akan intens, berkesinambungan dan berorientasi kerakyatan. Sebagai NKRI, kekuatan pemerintah pusat sebenarnya ditopang daerah. Kalau daerah lemah, pemerintah sebenarnya rapuh. Janganlah daerah dijadikan sapi perah dan dibuat lemah supaya tergantung pada pusat dan mudah dibodohi.

DPD-RI dan DPR-RI sebagai wakil rakyat daerah, selayaknya diberi wewenang dan peran besar membangun daerah asalnya dan mengontrol pelaksanaannya. Mereka dipilih langsung rakyat, jadi pengorbanannya juga besar. Meminggirkan rakyat dan mengebiri peran wakil-wakilnya, karena kalkulasi politik jangka pendek, tidak sepantasnya dianut pemerintah era modern.

Iklan
Iklan