Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi
Bagaimana jadinya hidup kita jika setiap penilaian orang lain dijadikan patokan dalam melangkah. Menjadikan setiap komentar dari sekeliling kita sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Padahal, belum tentu yang dikatakan orang lain sesuai dengan diri kita. Bisa-bisa kita kehilangan keotentikan diiri jika semua yang dikatakan orang dipikirkan dan dimasukkan hati. Bisa jadi kita tak akan mengalami kemajuan yang selalu overthinking dengan komentar orang lain. Padahal, hidup terlalu berharga jika hanya sekadar memikirkan penilaian orang.
Hidup ini terlalu berarti jika hanya pusing memikirkan apa yang diucapkan orang. Kita akan kehilangan identitas dan jati diri jika semua yang disampaikan manusia dimasukkan otak dan hati. Bisa jadi beban. Bisa jadi berat langkah-langkah kita. Selalu bingung bagaimana agar setiap orang senang dengan kita. Padahal, sesungguhnya tidak mungkin dan tidak akan pernah bisa setiap dari kita mampu menyenangkan hati setiap orang. Sebaik dan sehebat apapun diri kita, percayalah pasti ada yang kontra dan bahkan tidak senang dengan diri kita. Dan itu bukan persoalan kita.
Yang terpenting adalah kita terus berupaya menjadi pribadi yang semakin baik dari hari ke hari. Memiliki orientasi dan prinsip hidup yang jelas. Tidak mudah diombang-ambingkan sekeliling kita. Artinya, kita tak boleh kehilangan sifat dan sikap baik kita hanya karena ingin menyenangkan hati orang lain. Jangan jadi bunglon yang gampang berubah bentuk hanya karena ingin menyesuaikan dengan lingkungannya. Kita tetap harus menjadi diri kita sendiri yang terbaik.
Menyandarkan hidup kepada manusia hanya akan mendulang kekecewaan. Manusia tidak bisa dijadikan tempat bersandar. Tidak bisa dijadikan patokan dalam melangkah. Lagian, manusia adalah makhluk yang serba terbatas. Terhadap dirinya sendiri pun, dia tidak berkuasa. Maka sudah saatnya kita berefleksi dan mengevaluasi diri. Jangan-jangan selama ini sudah menjadikan penilaian orang lain sebagai acuan dalam menjalani hidup. Semisal, ketika hendak bersedekah secara terang-terangan, merasa malu dan sungkan karena takut dikira sok dermawan. Jika seperti itu, berarti secara tidak langsung penilaian orang telah dijadikan rujukan dalam beramal.
Kita tidak bisa mencegah penilaian orang lain terhadap diri kita. Kita tidak bisa menangkal rasa iri dan dengki yang mungkin ada pada diri orang lain atas apa yang kita miliki. Bagi, sebagian kawan kita, mungkin kita sosok pribadi yang menyenangkan. Bagi sebagian yang lain, mungkin memiliki penilaian yang berbeda; yaitu sebagia pribadi yang jumawa atau menjengkelkan misalnya. Itu hak mereka semua untuk memberikan pandangannya terhadap personal kita. Dan kita tidak bisa memaksa mereka untuk menilai kita sebagia pribadi yang memiliki watak atau budi yang luhur.
Sekali lagi, kita berupaya sekuat tenaga untuk menjadi pruabdi yang memiliki akhlak yang agung itu karena berharap ridha Allah. Kita berupaya menjadi pribadi yang menebar kebermanfaatan untuk orang lain, itu karena mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Bukan karena ingin dipandang mulia di hadapan manusia. Bukan karena ingin dipuji di tengah-tengah masyarakat. Penilaian manusia bisa memalingkan niat awal kita. Sehingga kita terjebak pada yang namanya penilaian makhluk. Sehingga hal itu bisa merusak amal ibadah kita.
Jika penilaian manusia dijadikan patokan, maka ketika mengerjakan amal kebaikan merasa kecewa ketika tak dipuji. Merasa sakit hati ketika tak mendapatkan apresiasi positif dari lingkungan sekitar. Maka orang semacam itu lebih gemar beramal soleh secara terang-terangan karena memang menyimpan maksud tersendiri. Yaitu untuk memenuhi hasrat ingin dipuji dan dikatakan mulia di tengah-tengah masyarakat. Niat semacam itu mesti segera disingkirkan. Sebab, selain bisa menghapus pahala, bisa juga merusak hati. Membuat hati kita semakin berdebu. Sebab, menggantungkan diri pada penilaian makhluk.
Lebih-lebih di era digital saat ini di mana setiap orang bisa memposting apapapun di media sosialnya. Baik gambar, tulisan, dan video-video pendek. Ada yang sengaja memposting untuk arsip pribadi tanpa tujuan apapun. Ada juga yang memposting hanya karena ingin mendaptakan like, komen, dan share sebanyak-banyaknya. Semakin banyak yang menyukai, berkomentar, dan membagikan postingannya, hatinya merasa berbunga-bunga. Sebaliknya, jika tidak ada yang merespon atau nihil tanggapan, hatinya merasa kecewa. Merasa dirinya tak lagi eksis dan populer di jagad maya. Eksistensi dirinya dikaitkan dengan like, share, dan komen,
Maka tak heran di jagad medsos banyak orang yang kehilangan dirinya yang sebenarnya. Maksudnya bagaimana? Lebih jelasnya lagi, banyak yang hidup dalam kebohongan dan penuh pura-pura hanya karena ingin eksis. Postingan-postingannya dipermak sedemikian rupa untuk menarik simpati orang lain. Meskipun kadang jauh dari kehidupan yang sebenarnya. Meskipun tak sesuai dengan kepribadiannya sendiri. Itu tak menjadi persoalan. Yang penting like, komen, dan share-nya membeludak. Orang semacam itu biasanya terjebak pada ekssistensi semu. Penilaian orang lain dijadikan tujuan utama dalam aktivitasnya. Baik di dunia nyata maupun maya. Perangai semacam itu biasanya membuat hati semakin gersang. Sebab, yang namanya penilaian manusia itu beragam. Tidak semua seperti yang kita harapkan.
Maka sudah saatnya, kita kembali memantapkan diri untuk tidak menjadikan penilaian makhluk sebagai acuan dalam melakukan segala aktivitas hidup kita. Apalagi selalu dipenuhi dengan gimmick dan sandiwara. Percayalah, orang semacam itu tidak menemui kenyamanan dalam batinnya. Meskipun nyaman, itu hanyalah ilusi. Bukan yang sebenarnya. Jiwanya akan kering kerontang karena sibuk memikirkan pandangan makhluk terhadap dirinya.
Maka dari itulah, untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengimbau kepada terutama diri saya sendiri dan pembaca sekalian untuk kembali menemukan tujuan yang sebenarnya dalam hidup ini. Yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Dan yang terpenting selalu fokus agar Allah dan Rasulnya mencintai kita. Urusan yang lain biar ditaruk belakangan. Percuama disenangi jutaan orang jika Allah dan Rasulnya tidak cinta kepada kita. Jadi, dalam beraktivitas, yang paling utama adalah berorientasi pada akhirat dan menjadikan Allah sebagai prioritas utama. Jadi yang terpenting adalah penilaian Tuhan kita. Bukan makhluk.