Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Setengah Hati Berantas Korupsi

×

Setengah Hati Berantas Korupsi

Sebarkan artikel ini

oleh: Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi

BENAR-benar melukai rasa keadilan. Putusan hakim Eko Eryanto menuai kecaman publik. Bagaimana tidak, Harvey Moeis, koruptor tata niaga timah ratusan triliun rupiah hanya divonis 6,6 tahun penjara plus denda Rp1 miliar. Sungguh, hukuman yang sangat ringan. Tak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Kepercayaan publik terhadap penegak keadilan semakin terkikis. Komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi bisa dikatakan setengah hati. Ini menjadi ‘warning’ bahwa demokrasi kita sedang ‘sakit’. Reformasi berjalan mundur jauh ke belakang.

Baca Koran

Kepada siapa lagi masyarakat akan berharap, jika hakimnya pun tak bisa diandalkan. Memang, saya bukan ahli hukum. Tapi rasa-rasanya, kita semua sepakat, vonis ringan itu, sudah bertolak belakang dengan nilai keadilan. Hukuman yang seharusnya menjadi efek jera justru membuat koruptor tersenyum lebar. Hal ini membuat peluang melakukan hal yang serupa di kemudian hari sangat besar. Dampaknya, korupsi semakin merajalela, melebar ke mana-mana, menyentuh setiap sendi kehidupan. Dan salah satu penyebab utamanya adalah bisa jadi karena hukuman ringan dan ketidaktegasan penegak hukum.

Padahal, dampak dari ulah koruptor ini sangat luar biasa. Selain menghambat pembangunan nasional. Hak-hak masyarakat kecil semakin dikebiri. Sebab, uang yang semestinya digunakan untuk peningkatan pelayanan terhadap masyarakat, justru masuk kantong pribadi. Dalam hal ini, koruptor menjadi beban negara dan benalu bagi masyarakat. Mirisnya lagi, tak sedikit yang mempergunakan hasil rampokannya itu untuk memenuhi gaya hidup ‘jet set’. Semisal, membeli tas bermerek, mobil mewah, traveling keliling Eropa, kuliner di restoran mahal, pakaian branded, dan semacamnya. Seolah tanpa rasa bersalah dan berdosa, mereka berfoya-foya dengan uang rakyat.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto, dalam suatu kesempatan, mengatakan membuka peluang memaafkan koruptor apabila uang kerugian negara akibat korupsi bisa dikembalikan. Di kesempatan yang lain, dia juga melontarkan pernyataan sindirian terkait hakim yang menghukum ringan koruptor ratusan triliunan rupiah. Kedua pernyataan Prabowo tersebut mendapatkan sorotan publik. Dari kacamata masyarakat awam pun, bisa menilai, bahwa terjadi inkonsitensi antara kedua pernyataan itu. Tidak hanya itu, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, juga mengemukakan wacana pengampunan bagi koruptor melalui upaya denda damai. Terkait hal itu, pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menyampaikan bahwa menyelesaikan kasus korupsi dengan cara damai justru akan menjadi kolusi. Apalagi, cara semacam itu tidak ada payung hukumnya.

Baca Juga :  MERAMPAS

Mungkin maksud pemerintah adalah ingin mengembalikan aset negara yang dirampok koruptor. Atau setidaknya meminimalisir kerugian yang ditimbulkan. Tapi, hemat saya, tindakan semacam itu justru membuat koruptor semakin berani dan melunjak untuk melancarkan aksinya. Belum hukuman yang seolah bisa diakali, dipangkas sesuai permintaan, akan membuat koruptor meremehkan hukum dan penegak hukum kita. Ini menjadi persoalan serius untuk segera diatasi. Terutama bagaimana agar marwah penegak hukum tetap terjaga. Sebab, akhir-akhir ini, sebagian suara publik seolah menunjukkan terjadinya krisis kepercayaan kepada para hakim yang sedang menangani sebuah perkara korupsi. Keadilan semacam menjadi ‘barang mewah’ untuk diperoleh. Pantas saja semisal ada yang mengatakan reformasi birokrasi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih berjalan mundur.

Di sisi lain, ingin membabat habis koruptor, tapi di lain sisi, justru ingin memaafkan koruptor yang mengembalikan uang negara. Publik pun bertanya-tanya terkait komitmen dan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Jangan-jangan, tekad memberantas korupsi itu hanya lips service. Apa yang diucapkan tak sama dengan yang dilakukan. Tentu, kita semua tak ingin hal ini terus-terusan terjadi. Bagaimanapun juga, korupsi harus diberantas hingga akar-akarnya. Sebab, yang dirugikan adalah ratusan juta rakyat Indonesia. Mestinya, tidak ada wacana pemaafan atau jalan damai bagi para perampok uang negara. Bahkan, diperlukan peninjauan kembali terkait hukuman bagi koruptor. Sebab, saya rasa, banyak perkara korupsi, yang vonis hukumannya membuat kita semua mengelus dada. Seolah, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Seakan-akan hukum di negeri ini benar-benar pandang bulu. Setiap yang bertahta dan berharta lebih leluasa untuk lolos dari jeratan hukuman berat. Sebaliknya, yang bukan siapa-siapa, bukan penguasa, bukan pulaelit pengusaha, tak ada irisan dengan penguasa, dan tak sanggup membayar pengacara, begitu sukar mendapatkan keadilan.

Baca Juga :  Membangun Ketangguhan Masyarakat Menghadapi Bencana

Oleh karena itu, melalui catatan ini, saya merekomendasikan penguatankekuatan masyarakat sipil untuk mengontrol jalannya pemerintahan yang baru seumur jagung ini. Publik harus berani bersuara lantang lewat beragam plaform media sosial jika ada penyahgunaan wewenang oknum pejabat negara. Pun demikian ketika ada hakim yang kebelinger dalam memutuskan perkara korupsi. Harus diawasi. Kalau perlu diviralkan jika memang terbukti keliru. Sebab, di era sekarang ini, seolah berlaku rumus: no viral, no justice. Sebagian aparat penegak hukum justru bersiaga ketika mendapatkan atensi publik secara luas. Selanjutnya, singeritas dan kolaborasi antara pemerintah, masyrakat, dan lembaga terkait pemberantasan korupsi perlu dikuatkan juga. Keproaktifaan masyarakat dalam melaporkan kasus korupsi juga membantu penegak hukum. Intinya, bersama-sama, bersatu padu, bergerak serentak, untuk melawan korupsi.

Kemudian, penting juga untuk menerapkan budaya malu di kalangan pejabat negara. Malu ketika perkataan dan perangainya bertentangan dengan hukum. Atau memilih mundur dari jabatanya ketika terindikasi terlibat kasus korupsi. Sikap semacam itu sejatinya adalah sikap seorang patriot. Berani mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangnya lagi. Bukan sebaliknya, seolah tidak terjadi apa-apa, dada-dada di depan kamera, merasa tak bersalah. Budaya malu ini, saya rasa, perlu digaungkan di ruang-ruang publik, untuk segara diamalkan, dalam setiap instansi pemerintahan, baik daerah maupun pusat. Baik legislatif, eksekutif, dan maupun yudikatif.

Ditambah lagi, perlu juga menggandeng lembaga internasional untuk bekerja sama dalam pemberantasan korupsi. Terutama ketika terjadi pelarian koruptor dan penyimpanan hasil korupsi di luar negeri. Terakhir, segera mengesahkan UU Perampasan Aset yang selama ini masih berjalan di tempat. DPR dan Pemerintah harus secepatnya mewujudkan UU tersebut menjadi landasan hukum yang sah dalam mengembalikan aset negara. Pastinya, kita semua berharap betul, pemberantasan korupsi di negeri ini dilakukan sepenuh hati. Demi terwujudkan Indonesia yang lebih bersih, beradab, dan berkeadilan. Tentu muaranya untuk menciptakan Indonesia yang sejahtera. Kita menagih janji pemerintah untuk lebih serius dan sungguh-sungguh menunaikan sumpah janjinya kepada rakyat. Sebab, mandat yang diterimanya sejatinya dari rakyat.

Iklan
Iklan