Oleh : Ahmad Barjie B
Budayawan
Penduduk asli ibukota Jakarta adalah suku Betawi yang terkenal fanatik beragama Islam dan kental dengan budayanya. Tetapi kini suku Betawi umumnya hanya menghuni daerah pinggiran Jakarta, dan tidak lagi menjadi tuan yang dominan di ibukota. Hal itu terjadi karena di masa lalu, orang-orang Betawi suka menjual tanahnya kepada orang lain. Harga tanah yang semakin mahal menggoda mereka, sehingga memilih berpindah dan membeli tanah di daerah pinggiran dan luar Jakarta. Kini Jakarta semakin metropolistik dan pluralistik, dengan segala konsekuensinya terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan agama.
Realitas yang kurang lebih sama agaknya terjadi juga di banua Banjar, khususnya Banjarmasin, Batola, Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan beberapa wilayah di Kalsel. Semakin banyak tanah strategis yang dijual oleh urang Banjar, dan kini dikuasai oleh etnis non Banjar, baik untuk kepentingan usaha, pemukiman dan peruntukan lain. Bahkan tidak sedikit daerah perkebunan dan lahan yang dianggap memiliki deposit barang tambang juga dijual. Tergoda oleh harga tanah yang makin mahal, dan keinginan untuk hidup enak, membuat urang Banjar nekad menjual harta warisan atau tanah leluhur.
Sebagai daerah yang terus berkembang dan mengalami akulturasi, sebenarnya tidak ada hal yang terlalu salah dalam hal ini. Tetapi konsekuensinya pasti ada, sekarang dan puluhan tahun ke depan, urang Banjar mungkin tidak lagi menjadi tuan di banua Banjar sendiri. Etnis Banjar kemungkinan akan makin terdesak ke daerah-daerah marjinal. Tanah sesungguhnya adalah simbol ekonomi, siapa yang memiliki dan menguasai tanah maka dialah yang menguasai ekonomi. Jadi kalau urang Banjar tidak lagi memiliki tanah, lantas bagaimana mereka bisa berkuasa? Sekali tanah strategis dijual, hampir pasti mereka tak mampu lagi membeli tanah dengan kualitas yang sama.
Belum di segi risiko sosial, moral dan agama. Tanah yang dijual putus bisa saja digunakan sebagai lokasi hotel, tempat hiburan bernuansa maksiat, atau pun tempat usaha yang mematikan usaha penduduk sekitar. Tanah sawah yang dijual, lalu diurug dan fungsinya dirubah menjadi tempat pemukiman, pertokoan, gudang dan sejenisnya, dipastikan akan mematikan persawahan di sekitarnya, sebab air tidak lagi dalam kondisi normal. Merasa tidak enak, akhirnya tanah itu pun kembali dijual.
Pakar pertanahan Belanda Van Dijk memperingatkan, “Tanahlah modal yang terutama, dan untuk sebagian terbesar rakyat Indonesia, tanahlah yang merupakan modal satu-satunya”.
Mampu Bertahan
Orang Minang terkenal memegang kuat adat budayanya, termasuk dalam mempertahankan tanah. Ranah Minang Sumatra Barat dan sekitarnya hingga harini tetap dikuasai oleh urang Minang sendiri. Pengusaha besar, menengah hingga kecil kebanyakan urang Minang sendiri. Pengusaha etnis lain, yang di banyak daerah lain di Indonesia begitu dominan, di ranah Minang umumnya hanya jadi pedagang kecil dan itu sudah lama berlangsung. Pengusaha besar non Minang agak kesulitan menembus Minang karena pertahanan adat dan budayanya sangat kuat. Tidak mudah mereka membeli tanah urang Minang, karena adat setempat melakuan proteksi secara ketat.
Budaya Minang menempatkan tanah yang notabene harta bawaan suami atau istri sebagai harto pusako tinggi, yang tidak boleh dijual. Harta ini dianggap harta wakaf milik keluarga besar, hanya boleh dikelola, ditanami, diambil hasilnya atau didirikan rumah keluarga di atasnya. Hanya harto pusako rendah yaitu harta bergerak hasil perolehan suami istri yang boleh dijual.
Kalau terpaksa, tanah harto pusako tinggi hanya boleh digadaikan, jika: (a) gadih gadang indak balaki (perawan tua belum bersuami atau tidak ada biaya untuk mengawinkan padahal usianya sudah telat dan di sana banyak wanita yang membayar mahar kepada pria); (b) mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah, tidak ada biaya untuk menyelenggarakan jenazah hingga menguburkan); (c) rumah gadang katirisan (rumah besar bocor, rusak tak layak huni); (d) mambangkik batang tarandam (tak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu, atau perlu biaya untuk menyekolahkan anak ke tingkat yang lebih tinggi). Setelah ada kemampuan, tanah yang digadaikan harus segera ditebus.
Karena itu nyaris mustahil harto pusako tinggi berupa tanah dalam ukuran luas dijual kepada pihak lain. Bahkan tanah yang statusnya harto pusako rendah pun jika mau dijual, diberlakukan persyaratan ketat dengan melibatkan tetuha adat. Pertama, pembelinya diupayakan kerabat yang tergolong kaya. Kalau bisa jangan dijual kepada orang yang kalau sudah membeli tanah nyaris tidak akan mereka jual lagi kepada pihak lain, kecuali kalau harganya sangat tinggi. Mereka senang membeli tanah sebagai investasi, tetapi jarang menjualnya lagi. Tidak seperti orang kita, apa saja yang bisa jadi duit dijual saja tanpa ada rasa sayang. Dan kedua, jangan menjual tanah kepada orang yang dikhawatirkan menggunakan tanah itu untuk bangunan dan/atau peruntukan yang bertentangan dengan ajaran agama, atau tidak disetujui masyarakat di sekitarnya, sehingga menimbulkan keresahan sosial.
Ambil yang baik
Adat budaya demikian tentu dapat diperdebatkan, karena semua etnis dan agama berhak untuk eksis dan berkembang di mana saja. Tetapi prinsip urang Minang untuk mempertahankan tanahnya perlu ditiru urang Banjar. Ini bukan soal SARA, tetapi lebih kepada perlunya upaya untuk memberdayakan urang Banjar sendiri. Kita perlu lebih inovatif dan produktif, melihat jauh ke depan. Menjual tanah, di luar bisnis kapling tanah, apalagi warisan, tergolong cara mencari uang yang kurang cerdas, kecuali memang digunakan untuk usaha-usaha produktif. Sekiranya uangnya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumeristik, lebih baik diurungkan.
Bagi urang Banjar, tidak ada istilah harto pusako tinggi, yang tidak boleh dijual. Semuanya berstatus harto pusako rendah, walaupun sifatnya warisan. Artinya kalau sudah menjadi harta hak milik, baik warisan maupun membeli, maka boleh dijual kapan dan dengan siapa pun, dan digunakan untuk keperluan apa pun. Dalam keadaan demikian, tak heran sangat banyak urang Banjar yang sudah, sedang dan akan terus menjual tanahnya, tanpa memikirkan akibatnya di kemudian hari. Tanah yang hakikatnya merupakan padaringan, dan jantung hati kehidupan sering dijual tanpa ada rasa sayang. Lebih-lebih harta warisan, terasa ringan menjualnya, karena tidak merasa berjuang susah payah membelinya. Padahal banyak fakta menunjukkan, uang hasil menjual tanah warisan cepat sekali habisnya, seolah kurang berkah.
Bung Drs Radius Ardanias Hadariah MPA dulu setiap ketemu orang yang mau menjual tanah selalu dinasihatinya agar mengurungkan niatnya. Dia tak mau ambil kesempatan dan membujuk orang agar menjual tanahnya. Sampai-sampai sang calon penjual heran, dirinya mau membeli atau tidak. Bagi Radius, tanah memang merupakan harta yang sangat berharga dan investasi yang nilainya terus meningkat signifikan. Jadi, sayang sekali kalau harus dijual kecuali karena terpaksa.
Mengingat mudahnya urang Banjar menjual tanahnya, maka kita hanya bisa menghimbau agar hal itu sebaiknya dihindari kecuali terpaksa. Kalau ada investor atau pengusaha yang berminat, alangkah baiknya ditempuh cara kerjasama, misalnya di atas tanah itu dibuat gudang, ruko, perumahan atau apa saja, lalu berbagi kapling dan disewakan, sehingga hasilnya terus mengalir, jadi tidak dijual putus. Misalnya, di atas tanah dibangun ruko lima pintu, 3 pintu untuk pengusaha (pembeli), dan 2 pintu untuk pemilik tanah, demikian seterusnya.
Begitu juga para investor dan pengusaha, sebaiknya datang dengan semangat pemberdayaan. Tanah yang diminati tidak harus dibeli putus, tapi dikelola dengan kerjasama. Beberapa pemilik tanah di Banjarmasin ada yang pandai menyiasati demikian, dan tampak sangat menguntungkan. Sewa bulanan/tahunan cukup besar tanpa kehilangan hak kepemilikan atas tanah dan bangunan. Kalau dijual putus dikhawatirkan kita tak pandai mengelola uangnya sehingga habis begitu saja tanpa sempat dikembangkan untuk usaha-usaha produktif.
Membangun kesadaran ini tentu sangat susah. Pemilik tanah mungkin bilang, “Tanah milikku, harta warisan orangtuaku, uangnya hak aku, orang lain mengapa ikut pusing?”. Pikiran pendek begini jelas melupakan aspek sosial yang melekat pada tanah. Kadung terlambat hal-hal begini perlu dipikirkan secara cermat. Sesal kemudian tak berguna.
Kita mengharapkan pemerintah daerah, Kesultanan Banjar dan jajarannya, kepala suku dan adat, para ulama, tetuha masyarakat dsb agar tidak henti-hentinya menanamkan kesadaran dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya arti tanah. Barangkali diperlukan pula sebuah perusahaan daerah yang khusus bergerak di bidang tanah, fungsinya membeli tanah-tanah milik masyarakat yang ingin dijual (semacam Bulog) dengan harga yang wajar. Dengan kepemilikan oleh pemerintah, maka tanah itu terpelihara dari penguasaan pihak lain, dan jika akan dijual kembali dapat dipastikan peruntukannya memang untuk kesejahteraan dan kebaikan masyarakat.