Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi
Saat ini, seperti yang telah diketahui bersama, keran kebebasan berpendapat telah dibuka seluas-luasnya. Hal itu sebagai salah satu tanda negara kita menganut paham demokrasi. Namun, kebebasan tanpa batasan ini tentu bukan tanpa ancaman. Ada beberapa potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak sebab ulah tangan-tangan tak bertangungjawab. Tengok saja di jagad maya. Betapa banyak netizen yang kita yang dengan mudahnya melontarkan ujaran kebencian dan melemparkan fitnah terhadap pemimpin kita. Tak terhitung jumlahnya, warganet yang dengan sengaja mengumpat dan mengejek pemimpin-pemimpin kita. Bukan kritik dan saran yang beradab, justru nada-nada kebencian yang digaungkan. Menyerang personal. Hemat saya, kebebasan berekspresi semacam itu sudah benar-benar kebablasan. Tidak menjujung tinggi etika dan keadaban. Sungguh, menginjak-nginjak adat dan norma ketimuran.
Dengan dalih demokrasi, sebagian dari kita seolah tidak memiliki rem untuk mengungkapkan isi kepala. Semua uneg-uneg disampaikan dengan bahasa yang kotor. Padahal, demokrasi yang kita dambakan bukan semacam itu. Memang, kebebasan berpendapat harus dibuka lebar. Tapi juga harus dibatasi. Bukan justru menjadi bumerang yang mencabik-cabik identitas dan jati diri kita sebagai bangsa yang beradab. Selama ini, guru-guru kita sudah sering kali mengajarkan bagaimana bersikap sopan dan santun kepada siapa pun. Lebih-lebih kepada pemimpin kita, yang mestinya harus dijunjung tinggi harkat dan martabatnya.
Demokrasi minus etika akan menjadi ancaman yang berpotensi memecah belah bangsa. Menimbulkan permusuhan. Bahkan, bisa menyebabkan terjadinya pertikaian berdarah dan konflik berkepanjangan. Semua itu karena ulah lisan atau ketikan di medsos yang tanpa difilter terlebih dahulu. Demokrasi kita sama sekali tidak menghendaki bahkan mengharamkan yang namanya ujaran kebencian. Sebab, kebebasan berbicara di ruang publik, baik itu secara online maupun offline, harus memperimbangkan dampak buruknya, semisal terciptanya perpecahan dan runtuhnya harmoni sosial.
Memang benar, kebebasan beraspirasi telah dinaungi payung hukum yaitu Pasal 28E UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Diperkuat lagi oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 33 ayat 2: Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Merujuk pada regulasi tersebut, yang menjadi penekanan saya selaku penulis yaitu, kita sebagai warga negara yang baik dan beradab mesti menyampaikan pendapat, kritik, dan saran, secara lisan dan tulisan tanpa melabrak nilai agama, norma kesusilaan, dan tidak menggangu kepentingan publik serta tidak menimbulkan perpecahan. Sehingga, dalam hal ini dilarang keras menyampaikan pendapat dengan cara kasar, kotor, dan aksi perusakan fasilitas umum. Tidak diperkenankan membuat dan menyebarkan pernyataan, baik di media cetak, elektronik, maupun media sosial, yang bernada kebencian terhadap individu atau golongan tertentu. Apalagi, dimaksudkan untuk menciptakan keresahan di tengah masyarakat dan menimbulkan keonaran. Sebab itulah, saya rasa, ujaran kebencian yang dibuat dan disebarkan, khususnya yang menyangkut pemimpin, bisa menumbulkan gejolak sosial. Dan parahnya lagi, bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Itu sangat menghambat pencapaian cita-cita besar kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Sebab, rakyat dan pemerintah memang harus bergandengan. Kontrol diperlukan. Tapi jangan sampai kehilangan hati nurani. Jangan sampai dikuasai nafsu sehingga gampang mengolok-olok pemimpin kita.
Mengutip pendapat Ahnaf & Suhadi (2014), ada empat bahaya ujaran kebencian bagi kelompok dan demokrasi. Pertama, ujaran kebencian pada dasarnya adalah intimidasi dan pembatasan terhadap kebebasan berbicara karena ujaran kebencian memperkuat situasi sosial yang menghambat partisipasi warga negara dalam demokrasi. Kedua, ujaran kebencian berperan penting dalam terciptanya polarisasi sosial berdasarkan kelompok identitas. Ketiga, ujaran kebencian tidak hanya dimaksudkan untuk menciptakan wacana permusuhan, menyemai benih intoleransi atau melukai perasaan kelompok identitas lain, tapi juga telah menjadi alat mobilisasi atau rekrutmen oleh kelompok garis keras. Keempat, ujaran kebencian mempunyai kaitan baik secara langsung dan tidak langsung dengan terjadinya diskriminasi dan kekerasan.
Sebab itulah, ujaran kebencian yang dibiarkan terus menerus tumbuh subur, akan berpotensi mengacak-ngacak kerukunan. Sehingga, aparat penegak hukum memang perlu menindak tegas siapa saja yang dengan sengaja menyebarkan ujaran kebencian, hasutan, hinaan, dan sejenisnya di jagad maya maupun di dunia nyata. Apalagi menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sangat rawan menciptakan perpecahan. Kita semua juga harus kompak memerangi segala upaya yang bertujuan menciptakan ketidaktertiban sosial, permusuhan, dan pertikaian. Bersama-sama mencegah ujaran kebencian dengan cara melaporkan ke pihak berwajib, atau setidaknya meng-counter narasi ujaran kebencian dengan fakta dan data yang valid.
Kita juga bisa menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan pentingnya toleransi di berbagai platform medsos untuk menciptakan kedamaian dan kesejukan. Tanamkan dalam hati sanubari bahwa kita semua sebenarnya saudara sebangsa dan se-Tanah Air. Sama-sama manusia ciptaan Tuhan yang wajib saling menghargai, menghormati, dan menyayangi satu sama lainnya. Mari tangkal ujaran kebencian dengan menyadarkan diri kita masing-masing terlebih dahulu bahwa ujaran kebencian yang disebarkan bisa merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Percayalah, dengan menghindari dan mencegah ujaran kebencian berarti kita sedang berupaya menjaga dan merawat stabilitas nasional. Lakukan saat ini; dari sekarang, dan dari hal yang kecil yang kita bisa. Semisal bikin status di Facebook atau Instagram yang tujuannya mempersuai orang lain agar saling menghormati dan menghargai segala jenis perbedaan yang terjadi. Sebab, perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan.