Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Pemangkasan Aturan Pemda mengenai Persetujuan Lingkungan di dalam UU Cipta Kerja

×

Pemangkasan Aturan Pemda mengenai Persetujuan Lingkungan di dalam UU Cipta Kerja

Sebarkan artikel ini

Oleh : Indah Anita Dewi
Mahasiswa Fakultas Hukum ULM

Sekarang ini Indonesia sedang dihebohkan oleh pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang telah di setujui dan di sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Pemerintah melalui Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 kemarin.

Android

Sebelum membahasnya lebih lanjut, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang apa itu Omnibus Law? Omnibus law adalah sebuah konsep yang menggabungkan secara resmi (amandemen) beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk undang-undang baru. UU Cipta Kerja ini mengatur bermacam-macam aspek yang kemudian di gabung menjadi satu menjadi perundang-undangan yang lebih sederhana sehingga dapat dikatakan bahwa satu undang-undang dapat mengatur banyak hal.

Dari hasil pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja ini banyak menimbulkan pro dan kontra disemua kalangan masyarakat. Banyak pula informasi-informasi yang beredar mengenai sejumlah draf UU Cipta Kerja ini, sehingga hal tersebut membuat UU Cipta Kerja ini menjadi kontroversial. Adanya dugaan implikasi yang serius, juga termasuk pada dugaan ancaman demokrasi dan otonomi daerah yang dianggap sangat meresahkan dan akan membawa dampak dari adanya pengesahan UU cipta kerja ini. Ancaman demokrasi dan otonomi daerah yang seperti apa yang dapat mengancam serta menimbulkan problematika?

Dalam hal ini kita akan membahas mengenai salah satu pasal dalam UU cipta kerja yang dianggap ancaman otonomi daerah, yaitu dalam Pasal 22 mengenai Persetujuan Lingkungan. Bagaimana sistematika persetujuan lingkungan di dalam UU cipta kerja yang sekarang? Apakah benar perubahan pasal dalam UU cipta kerja ini akan memberikan kemudahan dalam hal memperoleh persetujuan lingkungan?

Dilihat dalam Pasal 22 UU Cipta Kerja di dalam Ketentuan Pasal 1 angka 35 UU Cipta Kerja yang baru ini, menjelaskan mengenai persetujuan lingkungan yaitu, bahwa Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.

Dari penjelasan yang ada dalam pasal diatas menunjukkan bahwa persetujuan lingkungan itu harus didapatkan melalui pemerintah pusat, bahkan sudah ditetapkan pula norma standar prosedur dan kegiatan (NSPK) oleh pemerintah pusat. Alasannya karena hal ini dianggap akan memudahkan orang-orang dalam hal perijinan lingkungan, serta agar pemerintah pusat lebih mudah mengawasi.

Tetapi dalam hal ini artinya pemerintah daerah tidak lagi mempunyai wewenang dalam persoalan pemberian izin lingkungan, seperti yang diatur sebelumnya dalam beberapa peraturan didalam UU No. 32 Tahun 2009, salah satunya dalam Pasal 36 UU Nomor 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa izin lingkungan itu diterbitkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota selaku pemerintahan daerah yang memiliki wewenang atas izin lingkungan. Dimana hal ini menjadi tidak berlaku lagi oleh pemerintah daerah karena sudah ditarik kewenangannya dan diubah menjadi kewenangan dari peraturan pusat.

Pernyataan itu kemudian dibantah oleh Presiden Jokowi, beliau mengatakan bahwa tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Ia juga menegaskan bahwa UU cipta kerja ini tidak mengurangi kewenangan pemerintah daerah. Nyatanya, jika dilihat kembali dari UU cipta kerja ini banyak memangkas sebagian wewenang dari pemerintah daerah dengan maksud untuk mempermudahan urusan yang berkaitan dengan masyarakat dan pemerintah.

Lalu mengenai pemangkasan kewenangan pemerintah daerah ini maka akan menimbulkan dampak-dampak dan ancaman demokrasi dan otonomi yang akan merugikan, tidak hanya itu saja tetapi masyarakat yang berada disekitar lingkungan tersebut juga akan terkena dampak serta dampak dalam otonomi daerah itu sendiri, dikarenakan pemerintah pusat tidak bisa memantau secara langsung terkait lingkungan yang dimintai persetujuan itu, sehingga tidak dapat mengetahui dampak apa yang akan ditimbulkan karena masalah persetujuan itu.

Jika kewenangan pemerintah daerah dicabut, maka secara otomatis pemerintah daerah tidak memiliki tanggungjawab lagi terhadap daerahnya, sehingga hal tersebut juga akan membawa peran pemerintah daerah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat serta memperbaiki pembangunan di wilayahnya masing-masing menjadi semakin minim. Sehingga pemerintah daerah juga akan menjadi sasaran amarah bagi masyarakat jika ada permasalahan yang timbul akibat kebijakan dari pemerintah pusat. Ketika ada penolakan oleh masyarakat, pemerintah daerah tidak dapat bebuat banyak selain menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah pusat, karena pemerintah daerah sudah tidak memiliki wewenang dan tanggung jawab terhadap itu.

Hal itu diharapkan semoga pemerintah pusat dapat benar-benar mengatur perundang-undangan ini secara lebih serius dan lebih teliti agar dapat melindungi lingkungan yang berada didaerah-daerah tanpa menganggu dan membawa dampak buruk bagi siapapun.

Iklan
Iklan