Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Karakter Sistem Islam: Anti Kritik Massal

×

Karakter Sistem Islam: Anti Kritik Massal

Sebarkan artikel ini

Oleh : Istiana Rahmah
Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan

Bank Dunia atau World Bank melihat kalau stimulus program perlindungan sosial dari pemerintah merupakan kunci untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat dari krisis Covid-19. Simulasi kami, kalau pemerintah tidak memberikan perlindungan sosial, maka sebanyak 8,5 juta masyarakat Indonesia bisa jatuh miskin akibat krisis ini,” (https://nasional.kontan.co.id).

Baca Koran

Kemiskinan menjadi persoalan yang terjadi di sebuah negara. Baik sebelum pandemi Covid-19 melanda, terlebih lagi di masa pandemi Covid-19 saat ini. Pemerintah berupaya untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat dari krisis yang menyebabkan kemiskinan massal di tengah masyarakat.

Upaya yang dilakukan bukannya mampu menyelesaikan malah membuka problem baru, betapa tidak, banyak terjadi salah sasaran, syarat dan prosedur yang berbelit -belit. Sehingga menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

Pengamat sekaligus pakar ekonomi Islam Nida Sa’adah, S.E.Ak., M.E.I. menuturkan, salah satu kelemahan dan kegagalan sistem ekonomi sekuler terletak pada alat ukurnya dalam menilai kesejahteraan. Sistem ekonomi sekuler bertumpu pada angka-angka untuk menilai kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam menilai terjadinya krisis ekonomi yang berimbas pada kemiskinan yang terjadi ditengah masyarakat.

“Ekonomi Islam lebih riil dalam menilai kesejahteraan, situasi yang lebih baik, ekonomi yang stabil, dst. Parameternya adalah kehidupan masing-masing orang, per individu orang di masyarakat,” ujarnya pada MNews, 3/11/2020.

Ia menjelaskan, seseorang bisa dikatakan sejahtera ketika semua orang per individu terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia, baik kebutuhan pokok individualnya maupun massalnya.

“Artinya, masyarakat dinilai baik secara ekonomi ketika tidak ada seorang pun yang kelaparan, tidak ada seorang pun laki-laki dewasa yang menjadi pengangguran, tidak ada seorang pun bayi atau anak yang telantar, tidak ada seorang pun perempuan yang bekerja keras menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya, dst. Jadi ukurannya orang per orang, individu per individu,” urainya.

Baca Juga :  Pembinaan Remaja

Misalnya, dalam kebutuhan pokok massal akan pendidikan dan kesehatan, semua warga negara terpenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatannya secara gratis dan berkualitas, individu per individu.

Beliau menyebutkan kondisi ini pernah terwujud dalam sistem peradaban Islam di masa lalu. Kala itu, suasana kehidupan terasa berjalan baik, kesejahteraan betul-betul dirasakan semua orang dalam negara Khilafah, apa pun taraf perekonomiannya.

Sesungguhnya, para pemimpin dalam Islam memahami bahwa keberadaannya di pemerintahan adalah semata untuk beribadah kepada Allah SWT. Mereka takut akan azab Allah SWT bagi penguasa yang lalai terhadap amanahnya. Apalagi menjadikan amanahnya sebagai jalan tol perburuan rentenya.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang diamanahi mengurusi umatku lalu menyusahkan mereka, maka baginya Bahlatullahi. Para sahabat bertanya, apakah itu Bahlatullahi? Rasulullah menjawab, Laknat Allah.” (HR Abu Awanah dalam kitab sahihnya).

Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, rakyat tidak akan dibiarkan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, karena hal demikian adalah hak rakyat yang harus dipenuhi negara. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.

Landasan keimanan yang menghubungkan antara pemerintahan pusat dan daerah berlangsung harmonis, dan antardepartemen begitu sinergis. Banyaknya penguasa yang dalam benaknya selalu memikirkan kondisi umat, adalah kondisi saat sistem Islam menjadi arah pandang negaranya.

Begitulah, saat Islam menjadi ideologi negara, semua penguasa akan berpandangan sama, yaitu keberadaan mereka semata untuk umat. Tidak seperti saat ini yang menjadikan kepentingan pribadi dan golongan sebagai asas mereka bekerja. Wallahu’alam bi ashawab.

Iklan
Iklan