Banjarmasin, KP – Peristiwa Jumat Kelabu di Kota Banjarmasin silam mungkin terdengar asing bagi generasi milenial. Padahal, kejadian berdarah yang pecah pada 23 November 1997 itu menjadi sejarah kelam bagi Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ini.
Sebut saja contohnya Fuadi, remaja berusia 19 tahun ini mengakui bahwa pengetahuan yang ia dapat mengenai kerusuhan yang banyak memakan korban jiwa itu sangatlah minim.
“Saya lebih banyak tau tentang ini (kejadian Jumat Kelabu) lewat sosial media, itu pun sangat sedikit informasinya,” ungkapnya saat dibincangi Kalimantan Post, Minggu (23/05) siang.
Memang menurutnya, guru di sekolah tempat ia menimba ilmu ada sedikit menyentil soal kejadian yang memilukan tersebut. Namun tetap, tidak ada penjelasan secara rinci.
“Kalau tidak ditanya soal ini, malah bisa-bisa saya lupa,” ujarnya.
Fenomena yang terjadi pada generasi milenial penerus bangsa itu menjadi alasan utama bagi para mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sanggar Titian Barantai (STB) Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al-Banjari (MAB) untuk menggelar aksi menolak lupa tragedi berdarah Jumat kelabu 23 Mei 1997 lalu.
Puluhan Mahasiswa organisasi seni kampus ini mengenang kembali sejarah kelam tragedi terbesar yang pernah tercatat di Kalimantan Selatan, sebagai bagian dari program kerja wajib mereka.
Ketua Umum Sanggar Titian Barantai Uniska, Angga Triwahyudi mengatakan, tujuan aksi ini tidak lain untuk merawat ingatan bahwa pernah terjadi kerusuhan besar di kota Banjarmasin.
Ia berharap, melalui aksi tersebut, STB Uniska Banjarmasin menyisipkan pesan kepada masyarakat kota Seribu Sungai agar tetap saling menjaga keharmonisan bermasyarakat dan menjunjung tali persaudaraan di kota Banjarmasin
“Hal ini terus dilakukan setiap tahunnya, dengan harapan untuk mengingatkan kepada masyarakat betapa pentingnya menjaga keharmonisan dan selalu menjunjung tinggi tali persaudaran tanpa mempertimbangkan perbedaan,” ucap Angga.
Berdasarkan pantauan Kalimantan Post, aksi tersebut diawali dengan Long March dari Jalan Hasanudin Majedi menuju Jalan Sudimampir, hingga berakhir di Perempatan Hotel A di titik 0 Kilometer Kota Banjarmasin.
Aksi yang disuguhkan berupa Teatrikal berjudul “ABU – ABU”, racikan Unyai STB yang sudah dipersiapkan selama sepekan lamanya.
Ia membeberkan, selain memberikan informasi bagi generasi milenial. Aksi tersebut juga mengingatkan kepada para kaula muda agar untuk lebih bijak dalam menerima informasi yang beredar di masyarakat
“Kita mengetahui, kejadian ini pecah karena adanya kesalahpahaman dan misinformasi yang terjadi di masyarakat, sehingga kerusuhan pun tercipta. Jadi kita hendaknya para masyarakat di era teknologi seperti sekarang ini untuk lebih bisa menyaring informasi yang ia terima,” tukasnya.
Angga menjelaskan, berhubung masih dalam suasana pandemi, STB Uniska tidak mengumpulkan massa. Sehingga teatrikal yang dilakukan hanya dilakukan dengan sedikit personel saja.
“Aksi yang dilakukan antara lain Pembacaan Puisi, Orasi, doa bersama, dengan melibatkan 35 orang. Tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan ketat,” tambahnya
Saat ditanya mengapa lokasi bundaran Hotel A yang dipilih menjadi titik aksi, Angga menjelaskan, bahwa hal tersebut dikarenakan masyarakat yang menjadi sasaran aksi teatrikal mereka bisa tersampaikan secara menyeluruh, khususnya bagi pengguna jalan.
“Dua tahun yang lalu gelaran aksi ini dilakukan di depan gedung Mitra Plaza. Tapi setelah di evaluasi, masyarakat yang jadi sasaran utama aksi tersebut sangat minim. Jadi kita putuskan untuk menggelar disini (bundaran Hotel A),” pungkasnya.
Perlu diketahui, gedung Mitra Plaza, Masjid Noor dan Hotel A merupakan saksi bisu atas terjadinya peristiwa berdarah tersebut di Kota Banjarmasin. Banyak korban yang tidak bisa dikenali gugur dalam kerusuhan yang berbau SARA itu.
Alhasil, terpaksa para korban tanpa identitas ini dimakamkan secara masal di Tempat Pemakaman Umum (TPU) milik Pemko Banjarmasin, yang berada di Jalan Bumi Selamat kilometer 22 Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru. (Zak/KPO-1)