Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Isra dan Mikraj, Logika atau Dokrin?

×

Isra dan Mikraj, Logika atau Dokrin?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Amal Fathullah
Peserta Kuliah Program S3 UIN Antasari Banjarmasin

Pendahuluan

Baca Koran

Umat muslim di Kalimantan Selatan telah memasuki bulan Rajab 1444 Hijriyah, yaitu sejak terbenamnya mata hari di ufuk barat, beberapa hari lalu, Senin (23/1/2023) lalu. Kini sudah berada di penghujung bulan Rajab.

Banyak keistimewaan bulan Rajab ini, sehingga di kalangan masyarakat muslim pengelola majelis taklim, langgar, masjid di Kota Banjarmasin dan sekitarnya, bahkan di belahan dunia umat Islam memperingati bulan bersejarah ini, dengan berbagai kegiatan. Diantaranya dengan mengundang para dai, penceramah, akademisi, untuk mengulang kembali kisah (cerita ) peristiwa perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw, yaitu perjalanan dari masjidil Haram di Kota Makkah menuju Baitul Maqdis di Palastina, dengan menggunakan Buraq, — kendaraan tercepat nabi digunakan ketika melakukan perjalan peristiwa Isra Miraj — kemudian naik ke Sidratul Muntaha, yaitu langgit ke tujuh. (puncak tertinggi dalam alam semesta).

Apa lagi bulan Rajab tahun ini di Kalimantan Selatan, bersamaan dengan digelar haul akbar Guru Sekumpul atau KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Ijai), ulama besar asal Martapura, Kalimantan Selatan. Maka bulan ini semakin tambah semarak. Haul akbar ke-18, Muhammad Zaini bin Abdul Ghani yang dilahirkan pada malam 11 Februari 1942 di Desa Dalam Pagar, Martapura Timur, Kabupaten Banjar, di kawasan rumah pribadi Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor di Kampung Keramat, Martapura Timur, Kabupaten Banjar, Kalsel, bahkan dihadiri Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin.

Selain itu, pengelola masjid di daerah ini, diantaranya Sekretaris Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Syamsul Rani, menceritakan momentum seperti Isra dan Mikraj selalu menjadi agenda untuk memperingati, melalui berbagai kegiatan, baik itu kegiatan rutin pengajian atau pun kegiatan lainnya.

Substani bulan Rajab, selain dijalankannya Nabi Muhammad SAW untuk menerima perintah shalat lima waktu, Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Setelah itu kembali lagi ke bumi dalam satu malam, pada 27 Rajab, 14 Abad yang lalu, seperti dikutip dalam al Quran, Surat Al-Isra’ ayat 1.

Peristiwa di bulan Rajab ini, mengandung berkah sekaligus menarik untuk dipelajari dan dikaji secara mendalam dengan berbagai sumber disiplin ilmu, bahkan pendekatan logika filsafat sekalipun. Apakah peristiwa Isra dan Mikraj tersebut, bisa dianalogikan? Dan peristiwa Isra Mikraj ini, berkaitan dengan doktrin?

Baca Juga :  Membangkitkan Kesadaran Batin

Isra Mikraj dan logika

Menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, Isra artinya adalah perjalanan di malam hari. Secara istilah, Isra’ adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Sedangkan kata Mikraj menurut bahasa artinya naik ke atas, dikutip dari, terjemah Mu’jamul Wasith, diterjemahkan oleh Ibrahim Anis (Kairo: Maktabah Asy-Syuruk Al-Dauliyyah, 2008).

Mengenai kapan peristiwa Isrâ Mikraj, terjadi tahun kesepuluh dari nubuwah, –kenabian– (pendapat Al-Manshurfuri). peristiwa ini dinilai luar biasa ini, menempuh jarak tempuh antara masjidil Haram Kota Makkah ke Baitul Maqdis tersebut, sekitar ribuan kilometer, jika ditempuh dengan menggunakan mobil antara 15 jam, sedangkan pesawat sekitar dua jam.

Sementara perjalan menggunakan kendaraan Unta waktu itu, dari masjidil Haram ke Baitul Maqdis, ditempuh selama 40 jam untuk sekali jalan, sehingga perjalanan pulang pergi (PP) selama 80 hari. Sebuah perjalanan yang panjang dan waktu cukup lama. Menurut ukuran penduduk bumi saat itu, seperti diungkapkan Dr Syarif Hade Basyaiban, dalam ceramahnya salah satu di canal youtube.

Sehingga diasumsikan masyarakat jajirah Arab Saudi dengan kondisi sosial, budaya dan pola pikir 14 abad lalu, maka perjalanan Isra dan Mikraj adalah impossible (hal yang mustahil), tidak rasional dan di luar akal dan nalar manusia pada saat itu, jika perjalanan itu, ditempul dalam semalam. Namun saja, di era digital saat ini, perjalanan Isra dan Mikraj bisa saja diterima oleh akal manusia. Yaitu dengan melihat fenomenologi kemajuan teknologi. Apollo 13 merupakan misi berawak tujuh dalam Program Apollo NASA, sekaligus misi ketiga yang ditargetkan mendarat di Bulan. Misi ini diluncurkan dari Pusat Luar Angkasa Kennedy pada 11 April 1970. Namun sebelumnya, pendaratan di bulan, buatan manusia pertama yang mencapai permukaan bulan adalah Luna 2 milik Uni Soviet mendarat pada 13 September 1959. (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Lain lagi, jika kejadian Isra dan Mikraj menggunakan pendekatan paham rasionalitas, logika, seperti pendapat Rene Descartes (1596-1650) tokoh filsafat modern, asal Prancis, karena menurut paham ini, bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah.

Baca Juga :  Kalsel Darurat Kekerasan Seksual

Pertanyaan selanjutnya, apakah peristiwa Isra dan Mikraj ini, Nabi Muhammad SAW tersebut, secara fisik atau hanya kejadian roh. Pertanyaan ini, memang sejak lama berkembang, karena cara berpikir menggunakan pendekatan logika, maka selalu bertanya dan bertanya untuk mencari kebenaran. Ini tentu saja memerlukan telaah lebih mendalam, dengan berbagai disiplin ilmu. Wallahualam Bissawab artinya secara garis besar adalah hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Isra Mikraj dan dokrin

Peristiwa Isra dan mikraj, jika menggunakan pendekatan logika, tentu saja tidak semua kejadian di alam semesta ini, bisa dirasionalkan, karena keterbatasan, akal dan nalar serta ruang juga waktu, selain itu, dalam ajaran Agama Islam, ada yang harus diimani, diyakini, dengan mengunakan referensi Al Quran dan hadis, dogma, doktrin —  adalah ajaran agama– dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dogma berarti “pokok ajaran (tentang kepercayaan ) yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan; keyakinan tertentu.

Contohnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad SAW yang tidak berbasa-basi lagi saat mendengar tentang peristiwa sakral Isra Mikraj. Ia langsung percaya, meski sulit masuk akal saat itu, karena dia pendekatannya adalah imani.

Peristiwa Isra dan miraj ini, termasuk dalam kitab suci Al Qur’an, “Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”. (QS Al-Isra : 1).

Kesimpulan

Pejalanan Isra dan mikraj, sebuah perjalan luar bisa, sakral dan mukzijat, yang merupakan kejadian luar biasa, di luar deminsi, ruang, waktu dan tidak mudah diterima akal, logika, namun pendekatannya adalah pendekatan keimanan. Sebagai orang yang beriman, Mikrajnya Nabi Muhammad SAW benar adanya, seperti yang diungkapkan oleh sahabatnya Abu Bakar, jika yang dikatakan oleh Muhammad SAW selalu benar. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya peristiwa luar biasa ini.

Iklan
Iklan