Demi Konten dan Eksistensi, Nyawa Seolah Tak Berharga Lagi
Oleh : Mu’minah S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Perempuan
Zaman sekarang eksistensi diri menjadi hal yang begitu diprioritaskan. Begitu banyak orang mendamba akan eksistensi diri. Bukan hanya pada kalangan anak muda, Ibu-Ibu bahkan dan tak jarang pula yang sudah berumur tak ingin ketinggalan mencari eksistensi diri.
Tidak dapat dipungkiri kemajuan media begitu mempengaruhi hal ini. Dapat dikatakan eksistensi diri semakin mudah didapat dengan kemajuan teknologi.
Apalagi sekarang ini begitu banyak media sosial yang mendukung eksistensi diri dengan memberikan reward yang menjanjikan membuat banyak orang semakin mendamba untuk eksistensi diri. Bonusnya cuan melimpah. Jika dipikir, siapa yang tidak ingin cuan dan eksis?
Mirisnya demi eksistensi diri, banyak cara yang mereka lakukan bahkan termasuk dengan cara membahayakan jiwa ataupun berlagak kaya raya. Tujuannya tidak lain berharap hal ini menjadi ‘jalan ninja’ untuk eksistensi diri yang di dambakan.
Dikutip dari Jakarta, CNN Indonesia, Seorang perempuan di Leuwiliang, Kabupaten Bogor ditemukan tewas dengan kondisi leher menggantung di sebuah tali. Korban berinisial W (21 tahun) tersebut tewas saat membuat konten candaan gantung diri di hadapan teman-temannya via video call.
“Dari kata keterangan dari saksi, dia (korban W) itu lagi bikin konten gantung diri, gitu,” kata Kapolsek Leuwiliang Kompol Agus Supriyanto, Jumat (3/3).
Agus mengatakan peristiwa tersebut terjadi ketika W sedang melakukan panggilan video dengan teman-temannya. Kepada teman-temannya, W sempat menyebut hendak membuat konten gantung diri, dengan kain melilit di leher.
“Saat itu sambil video call (telepon video) sama temen-temennya, korban mengatakan ‘mau live nih, gue mau bikin konten ah’, tahu-tahu kursinya yang dipakai buat pijakan di bawah itu terpeleset, jadi beneran gantung diri,” terang Agus.
“Iya (momen korban tewas tergantung), temen-temennya menyaksikan, kan lagi video call,” tambahnya.
Teman-teman W yang sedang video call pun langsung mendatangi kediaman korban di Cibeber 1, Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Namun setiba di lokasi, korban yang tinggal seorang diri ini sudah tidak bernyawa.
Membaca berita di atas membuat kita begitu miris, demi eksistensi, nyawa ikut melayang. Memang, kapan mau menjemput hanya sang Pencipta kita yang tahu. Namun disini kita bisa mengambil pelajaran, ingin eksis ada batasan dan jangan sampai melakukan hal konyol seperti di atas.
Ada lagi hal yang sering kita temui pada diri seseorang yang ingin cepat namanya naik. Yakni berlagak kaya raya.
Dilansir dari laman strategy lab, flexing adalah kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial demi mendapatkan pengakuan oleh orang lain.
Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions.
Salah satu hal yang paling kerap ditemui adalah seseorang yang flexing dengan barang-barang mewah yang digunakannya. Sayangnya, beberapa dari mereka mungkin tidak benar-benar menyukainya, hanya saja ingin mendapat pengakuan oleh orang lain.
Miris sekali memang, melihat fakta yang ada, begitu banyak cara seseorang ingin eksistensi dirinya naik. Bahkan melakukan kekonyolan seperti yang telah disebutkan tadi.
Patut diketahui bahwa perilaku ini sejatinya adalah perilaku rendah, yang muncul dari taraf berpikir yang rendah pula tentunya. Budaya ini menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan ini. Dan hal ini tidak lepas dari hasil yang bersumber dari sistem kehidupan yang diyakini masyarakat dalam seluruh aspeknya. Dan terbukti, banyak fakta yang membuktikan bahwa sistem hari ini gagal menunjukkan kemuliaan manusia melalui taraf berpikirnya. Negara telah gagal melahirkan sosok individu berilmu tinggi. Wallahu’alam bisshawab.
