Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Pemujaan dan Generasi Rapuh : Negara Minus Visi Sahih?

×

Pemujaan dan Generasi Rapuh : Negara Minus Visi Sahih?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Sosial

Perhelatan konser blackpink di Jakarta beberapa waktu lalu mestinya memberi perenungan bagi semua pihak tentang kondisi generasi bangsa ini. Dari penjualan tiket yang seketika ludes meskipun mahal hingga antusiasme di hari H menunjukkan satu gejala yang mengkhawatirkan. Penonton yang mayoritas remaja berpakaian menirukan idola mereka dengan warna hitam dan merah muda. Tidak sedikit yang tampil minim, mengumbar aurat dengan berani layaknya idolanya.

Android

Mereka adalah representasi dari potret generasi yang dicetak oleh negara ini. Pemujaan mereka tak bisa dianggap remeh. Obsesi dan selera mereka yang tercermin dalam konser harus menjadi warning, peringatan. Tidakkah para orang tua, khususnya para Ibu dan nenek yang berkerudung dan menutup aurat sedih melihat anak atau cucu mereka berpakaian menirukan idolanya? Ataukah justru menormalkan dan menganggap wajar? Mengapa kecenderungan atau naluri pemujaan seolah dimanifestasikan pada pemujaan pada artis? Apa akibat buruk dari gejala ini?

Namun sungguh memprihatinkan. Sesuatu yang mengarah pada kemaksiatan dan kemunduran justru mendapat tempat di negeri Ini. Ini terlihat dari pengerahan keamanan saat konser (viva.co.id, 11/03/2023). Meskipun faktor keamanan memang harus diperhatikan dalam kerumunan. Tapi ini menunjukkan dukungan pada kegiatan ini. Dan negara menutup mata pada esensi kegiatan konser ini yang pada hakikatnya adalah eksploitasi pada generasi dan pemujaan yang seharusnya dicegah. Terlebih di tengah problem generasi seperti generasi amoral, kriminal dan mengidap penyakit mental, seharusnya semua pihak berpikir dan melakukan evaluasi. Peristiwa ini juga menjadi kritik terhadap standar ganda. Sangat berbada perlakuan dan dukungan terhadap kegiatan agama yang banyak mendapat stigma buruk dan bahkan persekusi. Semestinya problem generasi hari ini membuat semua pihak khususnya negara melakukan evaluasi terhadap arah pembinaan dan pendidikan generasi selama ini.

Sandaran Lemah, Generasi Rapuh

Riuhnya para ABG memadati konser di dunia nyata dan padatnya lalu lintas konten di dunia maya mengkonfirmasi berkuasanya nilai-nilai sekuler dan hedonisme-liberal pada benak generasi. Kebahagiaan diukur dari pemuasan kenikmatan jasadiah dan adanya sarana pemenuhan kenikmatan tersebut. Generasi mengejar tiga F (Food, Fashion, Fun). Manfaat materi menjadi standar perbuatan baik dan buruk. Artis memenuhi semua ukuran kebahagiaan materialistik tersebut. Mereka cantik, terkenal dan kaya. Mereka penuh dengan kesenangan yang dipamerkan dan diupdate di media sosial. Merekapun bebas dan lepas dalam berekspresi, dalam berpakaian dan berperilaku. Mereka menampilkan energi tanpa beban.

Kebebasan dan materialisme menjadi bentukan karakter generasi sekaligus sandaran yang lemah. Di saat bersamaan, sistem kehidupan hari ini memicu banyak persoalan. Generasi mudah limbung. Seketika zona kesenangan materialis tersebut menjadi hampa dan tidak memberi efek apapun. Mereka tenggelam, mudah berputus asa hingga stres dan depresi.

Rapuhnya generasi terlihat dari banyaknya yang bergejala mental illness. Banyak pula yang bersumbu pendek, meluapkan emosi dengan kekerasan. Dan tidak sedikit yang anti sosial, tidak ada empati dan simpati terhadap sekitar dan menjadi egois. Dan puncaknya yaitu mereka yang tidak memiliki harapan terhadap kehidupan dan berakhir bunuh diri. Mereka hanya mengenal zona kesenangan, dengan kesenangan sesaat, yang diberikan oleh jasmani dan naluri. Meskipun mirip dengan kebahagiaan tapi sesungguhnya bukan kebahagiaan. Materi dan fun memiliki keterbatasan untuk membahagiakan dan menentramkan jiwa.

Pemujaan terhadap idola dan nilai liberal hedonis memang berjodoh dengan kualitas generasi kita. Kondisi generasi hari ini lahir dari visi pembinaan dan pendidikan. Idola dan nilai-nilainya lebih dulu mendapat tempat di hati mereka dan menjadi luapan cinta, kekaguman bahkan menjadi pengabdian. Ayat-ayat suci, antusiasme terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kalah pamor. Kebahagiaan karena spiritualitas tidak mewujud dalam benak anak.

Agama diberikan dengan porsi minimal di sekolah. Agama memang dikerdilkan posisinya dalam sistem hari ini. Tidak hanya sedikit, ilmu agama itupun dihantarkan dengan metode yang tidak berpengaruh. Pembelajarannya tidak menyentuh akal pikiran dan mewujudkan perbuatan dan kebiasaan. Anak-anak disibukkan dalam pendidikan sekuler yang materialistik. Arah pendidikan semata untuk menyiapkan seorang menjadi pekerja terampil yang siap terjun bersaing di dunia kerja dan usaha. Pendidikan tidak mengolah aspek memdasar yaitu melejitkan potensi akal dan rasa manusia.

Generasi Kuat dan Unggul

Seharusnya pendidikan agama membangun kesadaran yang tinggi dan mengisi akal dengan pemikiran yang dalam dan cermerlang tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Keimanan kepada keberadaan Pencipta dan Pengatur, Allah SWT mengokoh di jiwa mereka. Dengan agama pula anak, remaja dan pemuda menyadari nikmat-nikmat yang diberikan sebagai manusia. Dengan agama juga mereka akan meyakini janji pahala dan balasan surga. Selanjutnya, keimanan menuntun mereka pada patokan nilai perbuatan yaitu halal dan haram. Mereka menjadi generasi yang terikat dengan hukum-hukum syariat agama dengan dorongan iman. Mereka akan tangguh menghadapi problem-problem diri dan mampu mendudukkan persoalan dalam pandangan dan solusi agama.

Pendidikan berbasis aqidah Islam akan mencetak generasi yang unggul. Arah kesadaran mereka bukan pada hal-hal instan, superfisial, permukaan, dangkal dan receh. Mereka memiliki minat yang tinggi pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena mereka tidak menjadi generasi penikmat teknologi, tapi akan memahami bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi bekerja. Mereka akan mencipta teknologi sebagaimana generasi muslim di masa kejayaan Islam dahulu. Generasi ini akan berkarakter penuh empati, peduli dan bertanggungjawab. Mereka akan menjadi problem solver bagi masalah personal diri mereka sendiri. Selain itu, mereka akan menjadi duta peradaban yang ditampilkan umat dan negara.

Generasi yang dibentuk oleh pembinaan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam menjalani kurikulum yang menyandingkankan ilmu tsaqofah Islam dan ilmu sains. Sistem Islam tidak mengenal dikotomi pendidikan. Spritualitas menjadi asas dalam memahami hal-hal fisik/material yang menjadi obyek ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya dimasa lalu sistem pendidikan Islam sukses mencetak ulama dan ilmuwan sekaligus.

Namun sistem pendidikan berbasis aqidah Islam hanya mungkin diterapkan apabila umat dan pemerintah memang memiliki keinginan politis menyelamatkan generasi hari ini. Umat dan Negara tidak membiarkan generasi menjadi obyek eksploitasi para kapital, pemilik modal di industri hiburan. Umat dan Negara juga menyadari untuk tidak membiarkan generasi menjadi generasi materialistik hedonis dan pemujaan terhadap hal-hal dangkal. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan