Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Krisis Stunting dalam Kondisi Bangsa yang Genting

×

Krisis Stunting dalam Kondisi Bangsa yang Genting

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Sosial

Generasi di negeri ini dilanda banyak persoalan serius. Salah satunya adalah ancaman stunting. Betapa tidak, data stunting menunjukkan besarnya jumlah anak yang mengalami stunting. Angka prevalensi secara nasional rata-rata sebesar 24,4 persen. Di Kalsel sendiri, meski ada penurunan, namun angka prevalensi masih di atas angka nasional (JurnalKalimantan.com, 10/03/2023).

Android

Mengentaskan stunting pada generasi menjadi pertaruhan yang besar. Stunting diindikasikan dengan kurangnya pertumbuhan fisik yang berakibat lanjutan pada kecerdasan dan performa dalam berbagai aspek kehidupan. Besarnya angka prevalansi nasional menunjukkan ancaman rendahnya kualitas generasi dan sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini. Tentu resiko ini sangat tidak diinginkan. Bangsa dan umat akan kalah bersaing dan kehilangan wibawa di mata dunia. Bahkan parahnya lagi akan menjadi obyek eksploitasi bangsa-bangsa lain.

Pemerintah telah merespon persoalan stunting ini sejak lama hingga diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2011. Namun stunting tetap tinggi berdasarkan data. Sejumlah program mengatasi stunting diluncurkan oleh kementrian terkait. Salah satu wacana terkait stunting adalah banyaknya pernikahan dini. Pernikahan dini dianggap sebagai penyumbang kasus stunting. Hal ini juga diungkapkan Presiden Jokowi dihadapan wartawan di kantor BKKBN (Detiknews, 25/01/2023). Layakkah pernikahan dini dituding sebagai salah satu sebab kasus stunting?

Tentu untuk mengatasi stunting harus berawal dari diagnosa masalah yang benar dan kemudian dilanjutkan dengan langkah yang sesuai baik jangka pendek, darurat maupun perubahan dalam jangka panjang.

World Health Organization (WHO) dalam situsnya menjelaskan bahwa stunting adalah lemah atau buruknya pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak karena gizi buruk, infeksi berulang dan stimulus psikis-sosial yang tidak cukup. Stunting banyak terjadi di negara berkembang akibat kemiskinan dan sanitasi yang buruk. Apakah semua ini adalah faktor resiko pernikahan dini?

Bukan Personal Tapi Sistemik

Indonesia adalah negara yang kaya, memiliki sumber daya alam berlimpah baik di darat dan di laut. Semestinya alam Indonesia mampu memasok kebutuhan pangan dan gizi generasi dengan cukup. Indonesia berbeda dengan beberapa negara Afrika yang mengalami kelaparan akibat kekeringan sehingga terancam malnutrisi hingga kematian. Namun mengapa anak-anak mengalami stunting di tengah keberlimpahan alam?

Penyebab langsung stunting adalah kualitas asupan makanan. Aspek ini berakar utama pada kemiskinan. Kemiskinan membuat daya beli yang rendah. Banyak keluarga yang sekedar makan saja sudah bersyukur. Kualitas gizi dikesampingkan karena memang tidak mampu secara ekonomi untuk membeli sumber-sumber protein, vitamin dan karbohidrat. Beberapa waktu lalu juga diungkap penelitian bahwa banyak penduduk yang mengalami kelaparan tersembunyi. Fakta ini adalah sinyal kerawanan pangan rakyat, sehingga stunting mestinya bukan mengejutkan. Pengentasan kemiskinan adalah persoalan besar yang belum terpecahkan. Belum lagi data kemiskinan ekstrem yang juga memprihatinkan. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan harus dilakukan untuk mengatasi stunting pada generasi.

Kemiskinan juga berakibat pada buruknya sanitasi rumah dan lingkungan. Infeksi berulang pada anak karena rumah yang tidak sehat. Begitu pula lingkungan yang kotor dengan pengolahan sampah dan aliran limbah yang minim. Ketersedian air bersih juga bagian dari fasilitas publik yang harus dipenuhi. Rumah dan lingkungan yang sehat adalah prasyarat untuk pencegahan berbagai penyakit dan infeksi.

Selain persoalan kemiskinan sebagai penyebab asasi stunting, masyarakat juga memerlukan edukasi dan perlindungan untuk pola hidup yang sehat. Pola konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh pengetahuan mereka dan kesadaran. Saat ini masyarakat terdorong untuk pola konsumsi yang sekedar memanjakan nafsu makan dan lidah mereka. Prioritas belanja menjadi keliru dengan rangsangan iklan-iklan dan media sosial. Banyak makanan yang tidak sehat bahkan berbahaya bagi kesehatan dengan gencar dipasarkan sehingga dikonsumsi oleh keluarga dan anak-anak. Padahal mereka bisa memilih makanan sehat dan bergizi dengan uang mereka. Tentu peran pemerintah di sini adalah mendidik masyarakat dan juga melindungi dengan perangkat aturan.

Mampukah negara melindungi masyarakat dari pola konsumsi yang salah saat ekonomi disetir kekuatan korporasi besar pemilik modal (kapital)?

Islam Mencegah Stunting

Islam sangat memperhatikan kualitas generasi dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab, itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”. (QS. An Nisa : 9).

Ayat di atas dan beberapa ayat lain menujukkan perhatian Islam pada kualitas seorang anak manusia. Jika umat Islam yang merupakan mayoritasdi negeri ini memiliki kesadaran Islam, maka kepekaan terhadap persoalan generasi seperti stunting akan terbangun.

Tidak hanya tuntutan untuk menjadi generasi kuat dan unggul, Islam juga memberikan solusi atau arah untuk mewujudkannya. Pertama, bagi keluarga, Islam memerintahkan para ayah untuk memenuhi nafkah secara makruf atau layak. Nafkah tersebut mencakup makanan, pakaian dan tempat tinggal. Islam juga memberikan tuntunan pola konsumsi yang bertujuan agar setiap muslim mengkonsumsi sesuai kebutuhan, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Konsumsi bukan berorientasi konsumtif dan hedonis, mengedepankan kenikmatan sesat dan memunculkan mudarat. Namun Islam mengarahkan konsumsi untuk keberkahan hidup, yaitu seseorang tidak menjadi malas dan lemah melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT.

Selain arahan untuk pribadi dan keluarga, Islam juga menggariskan peran negara. Dan peran negara dalam Islam sangat besar. Negara dengan politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar per individu. Negara harus memastikan tidak ada individu yang kelaparan, terlunta-lunta dan buruk kualitas hidupnya. Mekanisme penjaminan tersebut adalah dengan penerapan syariat Islam. Pemerintah harus memastikan para suami dan bapak menunaikan kewajibannya dalam hal nafkah. Dan apabila perempuan dan anak-anak tidak memiliki penafkah mereka, maka menjadi tanggung jawab negara menanggung nafkah mereka.

Selain itu, penerapan syariat dalam sistem ekonomi akan mengembalikan manfaat kepemilikan umum kepada rakyat. Kekayaan sumber daya alam milik umum seperti hutan, gas, minyak bumi dan tambang dengan deposit berlimpah menjadi pemasukan negara. Selanjutnya hasil atau manfaatnya digunakan untuk membangun fasilitas publik yang dibutuhkan dan memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Sistem Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme saat ini yang sangat invidualis dan mematok peran negara yang minimalis. Penataan kehidupan masyarakat dengan sistem Islam dan dorongan keimanan akan mengkondisikan kualitas generasi. Generasi yang lahir akan kuat baik secara fisik, mental dan spiritual. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan