Reorientasi Gender

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Wanita, Keluarga dan Pendidikan Anak”

Ranah Minang Sumatra Barat kaya sekali dengan berbagai khazanah budaya. Dari sini lahir sejumlah cerita legendaris yang diangkat ke dalam novel, roman, bahkan banyak yang ditayangkan dalam film layar lebar. Sekadar menyebut, ada ‘Layar Terkembang’ karya Sutan Takdir Alisyahbana, ‘Siti Nurbaya, Kasih Tak Sampai’ karya Marah Rusli, ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ karya Buya Hamka, ‘Robohnya Surau Kami’ karya Ali Akbar Navis, dan banyak lagi.

Di antara banyak karya sastra Minang tersebut adalah cerita ‘Sabai nan Aluih’, baik versi novel maupun filmnya. Karya terbesar kedua sastrawan Minang Tulis Sutan Sati sesudah ‘Sengsara Membawa Nikmat’ ini, mengangkat cerita rakyat Minang dari Padang Tarok Baso Agam Sumatra Barat.

Diceritakan, dulu ada seorang tokoh bernama Rajo Babanding bersama istrinya Sadun Saribai. Pasangan ini memiliki dua anak, yang perempuan bernama Sabariyah (kakak), sedangkan adiknya laki-laki bernama Mangkutak Alam.

Sejatinya, anak perempuan lebih lembut dan keibuan (feminim), sedangkan laki-laki bersifat keras, gagah dan jantan (maskulin). Namun berbeda dengan dua anak pasangan ini. Mangkutak Alam yang digadang-gadang sebagai kepala keluarga pengganti ayahnya seharusnya giat berolah raga dan belajar beladiri atau berlatih bekerja sebagai modal hidup mandiri atau merantau kelak. Namun ia hanya menghabiskan waktunya di sekitar rumah dan bermain layang-layang.

Berlatih beladiri merupakan salah satu ciri khas orang Minang tempo dulu. Anak-anak laki-laki lebih banyak tinggal di surau, belajar agama sambil berlatih bela diri. Namun keharusan ini sama sekali tidak menarik hati Mangkutak Alam. Akibatnya, terpaksalah Sabariyah yang menempa diri dengan latihan beladiri dan belajar bekerja, meskipun sebagai anak perempuan seyogianya ia lebih banyak tinggal di rumah saja.

Pertarungan Curang

Meskipun rajin berolahraga, diantaranya silat beladiri sebagai salahsatu cirikhas masyarakat Minang terutama bagi kalangan prianya, Sabariyah tetap tumbuh sebagai perempuan normal, jiwanya lembut, dan parasnya cantik-rupawan. Ia pun digelari Sabai nan Aluih, artinya Si Sabai atau Sabariyah yang Cantik.

Kecantikannya terdengar oleh Rajo nan Panjang, orang kaya dari nagari sebelah, yang sudah kenal pula dengan Rajo Babanding. Ia kaya sekaligus rentenir yang kejam, suka kawin cerai dan sombong. Ke mana-mana selalu dikawal oleh para centeng bayaran.

Rajo nan Panjang yang sudah beranjak tua itu sangat berhasrat menjadikan Sabai sebagai istri mudanya. Ia yakin lamarannya tidak akan ditolak, sebab ia seorang kaya, terpandang dan disegani. Namun di luar dugaan, lamarannya ditolak oleh Rajo Babanding, dengan alasan Sabai terlalu muda untuk dijadikan istri, Sabai lebih cocok sebagai anak, bukan istri.

Merasa lamarannya ditolak ia pun marah dan menantang untuk diselesaikan secara jantan melalui perkelahian. Untuk mempertahankan marwah keluarga, Rajo Babanding tidak ada pilihan kecuali meladeni tantangan tersebut. Akhirnya dipilihlah Padang Panahunan, sebuah hutan kecil sebagai tempat berkelahi. Perjanjian semula, perkelahian harus sportif, hanya boleh satu lawan satu, dengan senjata keris masing-masing.

Berita Lainnya

Berdayakan Masyarakat Peduli Mangrove Rambai

Menyudahi Konflik Agraria

1 dari 838

Ternyata Raja nan Panjang berbuat curang, ia membawa tiga orang pengawal, satu di antaranya membawa senapan yang bersembunyi di semak-semak. Rajo Babanding yang sejak muda ahli beladiri berhasil mengalahkan Rajo nan Panjang dan dua pengawalnya. Namun di saat kritis, pengawal Rajo nan Panjang menembakkan senapannya dari balik semak, sehingga Rajo Babanding jatuh tersungkur dan tewas, sementara Rajo nan Panjang selamat dari kematian.

Mendengar kabar ini, Sabai nan Aluih sangat terkejut, sedih dan marah. Ia ajak adiknya Mangkutak Alam untuk menuntut bela. Ternyata Mangkutak tidak berani berkelahi, bahkan ia memilih menyiapkan diri untuk kawin yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Akhirnya Sabai mengambil senapan simpanan dari rumahnya dan pergi menuju hutan untuk menghadang pembunuh ayahnya. Ketika bertemu dan sempat bersitegang, Sabai menembakkan peluru ke dada Rajo Nan Panjang, hingga tersungkur dari kudanya dan tewas, sedangkan pengawalnya melarikan diri.

Peran Terbalik

Cerita di atas menggambarkan bahwa di dalam suatu keluarga, tidak selalu anak laki-laki yang berjiwa pejuang, pekerja dan pembela martabat keluarga. Tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya. Kenyataan seperti ini sering pula ditemui dalam konteks pendidikan. Ada kalanya anak-anak laki-laki malas sekolah atau kuliah, prestasinya rendah, lebih senang di rumah saja, malas untuk aktif organisasi atau berkegiatan sosial.

Sementara anak perempuan justru rajin sekolah atau kuliah, berprestasi, aktif organisasi, senang dengan kegiatan kemasyarakatan dan tampaknya ada potensi kepemimpinan dalam dirinya. Hal ini diperkuat pula oleh kenyataan betapa seringnya mendengar sejumlah siswi/mahasiswi berprestasi atau menjadi wisudawati terbaik dengan IP tertinggi. Tidak kalah bahkan lebih tinggi dari kalangan laki-laki.

Seorang bapak juga bercerita, anak-anaknya yang laki-laki hanya mau sekolah sebatas SMTA, tidak mau kuliah, senang di rumah, kurang mandiri dan tidak berani berpisah jauh dengan orangtua. Sebaliknya anak perempuannya justru kuliah ke luar daerah, dalam hal ini ke Jawa, menguasai bahasa asing, dan jurusan yang diambilnya pun memungkinkannya bekerja di luar negeri, menjadi diplomat dan sejenisnya.

Tampaklah bahwa potensi, bakat, keilmuan dan kemampuan manusia, tidak bisa digeneralisasi dan dipetakan berdasarkan jenis kelamin. Banyak perempuan unggul sejak masa mudanya, sehingga setelah dewasa pun mereka diperkirakan tetap memiliki keunggulan komparatif. Asalkan potensi dan bakat itu terus dipupuk dan dikembangkan, tidak diputus di tengah jalan.

Dari sini orangtua tentu tidak bijak untuk memaksakan sesuatu kepada anak-anak. Tidak perlu pula membatasi, bahwa yang namanya kaum perempuan itu tidak usah sekolah tinggi, karena peran sejatinya hanya dalam urusan yang dulu diistilahkan dengan kasur (mengurus suami dan anak), dapur (memasak) dan sumur (mencuci).

Kalau mereka memang memiliki bakat dan potensi tertentu, alangkah baiknya disalurkan secara proporsional, jangan boro-boro dihentikan sekolahnya lalu dikawinkan. Mengawinkan anak secara dini, sering menjadi bomerang dan beban bagi orangtuanya, apalagi jika suaminya tidak memiliki kemampuan ekonomi. Tidak sedikit orangtua mengeluh, dulu menafkahi anak, sekarang menafkahi anak sekaligus menantu dan cucu-cucu.

Kalau ekonomi yang menjadi alasan, justru lebih baik anak perempuan disekolah-kuliahkan, lalu ia mampu bekerja secara mandiri. Tidak harus menjadi pegawai negeri, tetapi bekerja swasta pun prospeknya bagus kalau digeluti dengan kesungguhan dan keahlian.

Ketua DPC IWAPI Kota Banjarmasin, Hj Aida Muslimah dan Ketua DPD IWAPI Provinsi Kalsel Hj Shinta Laksmi Dewi menyatakan, sekarang ini banyak sekali sektor usaha yang digerakkan kaum perempuan. Tidak kurang 60 persen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dikelola kaum perempuan, menyerap hingga 97 persen lapangan kerja dan memberikan income hingga 60 persen bagi daerah. Dari sejumlah pekerja tersebut ternyata kaum perempuan dan laki-lakinya sama-sama banyak. Banyak penggerak dan pemimpin usahanya perempuan, sementara pekerja atau bawahannya laki-laki. Di dunia ini tidak ada yang mustahil. Semua bisa terbolak-baik dan hal ini harus pula diterima sebagai kenyataan dan kewajaran. Wallahu A’lam.

Berlangganan via E-MAIL
Berlangganan via E-MAIL
Berita Menarik Lainnya

Situs ini menggunakan Cookie untuk meningkatkan Kecepatan Akses Anda. Silahkan Anda Setujui atau Abaikan saja.. Terima Selengkapnya