Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi
Tepat pada Senin (21/10), Kabinet Merah Putih resmi dilantik di Istana Negara, Jakarta. Pelantikan para menteri tersebut berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 133/P Tahun 2024 tentang Pembentukan Kementerian Negara dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2025. Pelantikan tersebut menuai sorotan dari publik. Ada yang beranggapan kabinet bentukan Prabowo terlalu ‘gemuk’ dan berpotensi menyedot anggaran negara. Tentu sah-sah saja pendapat semacam itu. Namun, pelantikan 48 menteri dan 56 wakil menteri tersebut, jika dilihat dari sudut pandang lainnya, bisa mempercepat beragam pekerjaan rumah yang di masa kepemimpinan Jokowi belum selesai. Bisa juga untuk membantu Prabowo mengakselerasi program kerjanya agar lebih cepat menyentuh masyarakat dan tepat sasaran. Apalagi kita tahu, penduduk Indonesia ini merupakan negara besar, jumlahnya penduduknya melimpah, tersebar dari Sabang hingga Merauke. Dengan latar budaya yang heterogen pula.
Jika ditelusuri lagi, sebenarnya kabinet era Prabowo-Gibran bukanlah kabinet dengan jumlah menteri terbanyak. Sebelumnya, di era Orde Lama, tepatnya pada tahun 1965, dengan nama Kabinet Dwikora II, Sukarno merekrut 132 menteri. Itu artinya, penambahan jumlah menteri di era Prabowo bukan hal yang sepenuhnya baru. Apalagi, secara payung hukum sudah mengizinkannya. Lebih tepatnya termaktub dalam revisi Undang-Undang Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara yang disahkan pada 19 September 2024. Kini, sorotan publik akan tertuju pada 100 hari kerja Kabinet Merah Putih. Sejauh mana efektivitas kinerjanya, akan dipantau betul oleh masyarakat.
Memang, pendapat pro dan kontra terkait pembentukan Kabinet Merah Putih ini menjadi perbincangan hangat yang terus bergulir sampai sekarang. Sebab, di saat jumlah utang negara yang makin membengkak, Prabowo justru memilih untuk menambah jumlah menteri. Itu artinya otomatis perlu penambahan anggaran untuk membayar gaji dan tunjangan para menteri tersebut. Bahkan, kabinet ‘gemoy’ itu dinilai memperlemah semangat reformasi birokrasi yang tujuannya menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam tata kelola pemerintahan. Kabinet gemuk tersebut juga bisa memicu terjadinya tumpang tindih kebijakan dan membuat alur birokrasi semakin panjang dan rumit. Di sisi lain, adanya pemekaran jumlah menteri tersebut, diharapkan bisa memberikan kesempatan untuk setiap menteri agar lebih fokus menjalankan tugas. Para menteri bisa lebih fokus menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dan keahliannya.
Tidak hanya itu menambah jumlah menteri, Prabowo juga melakukan beberapa perombakan dalam kabinet anyarnya. Di antaranya menambah kementerian koordinator baru, memecah beberapa kementerian menjadi dua, hingga mengubah nama dua kementerian. Tentu saja, saya pun dan Anda semua juga pasti penasaran dan bertanya-tanya apa sebenarnya maksud dan tujuan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Saya menebak-nebak, mencoba menafsirkan dari sudut pandangan orang awam. Jangan-jangan itu memang sengaja didesain jauh-jauh sebelumnya untuk mengakomodasi pendukungnya baik yang dari parpol maupun non-parpol untuk turut menikmati ‘kue’ kekuasaan. Kasarannya, bisa jadi, memang sudah ada lobi dan kesepakatan politik mengenai skema, rancangan, dan orang-orang di Kabinet Merah Putih. Bagi saya itu sah-sah saja dan wajar. Tentu dengan catatan, menteri yang dilantik bisa bekerja dengan amanah.
Integritas dan profesionalisme para menteri akan dinilai dan dievaluasi dalam 100 hari kerja ke depan. Tidak hanya oleh Prabowo, tapi seluruh rakyat Indonesia akan mengamatinya. Lebih-lebih di era sekarang, saluran informasi beragam dan banyak. Rakyat bisa mengaksesnya kapan saja dan di mana saja. Rakyat akan menilai mana menteri yang hanya duduk ongkang-ongkang kaki di kantornya, main tunjuk sana-sini, enggan bersentuhan dengan rakyat, dan mana yang rela ‘berkeringat’ untuk mendarmabaktikan dirinya demi kepentingan rakyat. Nantinya, akan kelihatan, mana menteri yang hanya pandai beretorika tapi minim aksi nyata. Meskipun secara struktural menteri tersebut bertanggungjawab kepada presiden, tapi sejatinya, mereka bertangungjawab kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebab, di atasnya presiden itu rakyat. Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.
Wajib kiranya, setiap menteri untuk senantiasa merenungi janji pendabdiannya kepada Ibu Pertiwi. Seperti yang telah diucapkan dalam sumpahnya yaitu akan setiap pada UUD 1945, menjalankan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darma bakti kepada bangsa dan negara, menjunjung tinggi etika jabatan, dan bekerja dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.
Besar harapan kita semua, Prabowo dan para menterinya langsung tancap gas. Sebab, ragam persoalan sudah menunggu. Mulai dari lapangan kerja yang semakin minim, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), mahalnya biaya pendidikan tinggi, krisis jati diri dan identitas kaum muda, ancaman radikalisme dan terorisme, dan sebagainya. Tentu dalam pelaksanannya, ada pekerjaan beberapa menteri yang membutuhkan sinergitas dan koordinasi sebab wilayah garapan yang sama.
Kerja sama yang baik antar-kementerian diharapkan mampu mempercepat proses pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, justru mempersulit, membuat kita pusing tujuh keliling. Dalam hal ini, menteri mesti mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri, keluarga, dan golongannya. Selalu mengupayakan untuk mempersembahkan pelayanan yang optimal kepada rakyat. Hal itu akan bisa lebih enteng dilakukan jika semua menteri melayani setulus hati. Kemudian, jangan sampai program kerjanya bertolak belakang dengan visi dan misi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Harus selaras. Satu lagi, saya harap Prabowo tidak segan-segan memecat siapa saja yang tidak becus dan main-main dengan jabatannya. Tidak usah menunggu 100 hari kerja, jika memang terbukti tidak amanah, langsung saja copot. Ganti yang lebih amanah, kredibel, dan bertanggung jawab. Semoga ada gebrakan baru dari Kabinet Merah Putih. Kita semua menunggunya.