Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Potret Guru Hari Ini

×

Potret Guru Hari Ini

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dewi Yuanda Arga, S.Pd Praktisi Pendidikan

Hari Guru Nasional diperingati pada 25 November setiap tahunnya. Peringatan ini penting bagi masyarakat Indonesia, terutama untuk memperhatikan peran guru. Guru adalah pilar penting bagi negara. Guru juga sosok sentral bagi masyarakat dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Mereka selama ini dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, padahal jasa guru sejatinya sangat banyak. Selain mentransfer ilmu pengetahuan, mereka juga berperan mencerdaskan bangsa dan membentuk karakter para peserta didik.

Hari guru seharusnya seharusnya menjadi momen untuk merayakan dedikasi para guru dalam mencerdaskan bangsa. Namun, di balik pujian sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” para guru di Indonesia kerap menjalani kehidupan yang penuh tantangan, mulai dari diskriminasi hingga kesejahteraan ekonomi yang jauh dari memadai.

Baca Koran

Visi Besar?

Tahun ini peringatan Hari Guru Nasional mengambil tema besar “Guru Berdaya, Indonesia Jaya”. Tema ini menjadi harapan Indonesia mengenai esensi penting keberdayaan guru dalam membangun peradaban bangsa yang unggul dan bermartabat.

Ketika guru berdaya maka visi “Indonesia Jaya” diharapkan terwujud. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki generasi muda berkarakter tangguh, berpikir kritis, dan berdaya saing global. Semua itu bermula dari tangan-tangan guru yang berdedikasi.

Namun demikian, benarkah tema besar Hari Guru Nasional itu akan terwujud dengan terus menjadikan sistem sekuler demokrasi sebagai motor pelaksananya? Lantas, pantaskah guru terus diposisikan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Ataukah perlu ada perubahan sistemis agar visi besar Hari Guru tidak sekadar menjadi cita-cita hampa?

Korban Sistem Rusak

Karut-marut persoalan guru adalah potret buram yang kian kelam dan sulit dijernihkan. Berbagai permasalahan membelit kehidupan para guru. Mulai dari kisruh guru honorer, bongkar pasang kurikulum, guru terjebak pinjol dan judol, kriminalisasi guru, hingga kasus asusila yang melibatkan guru dan murid.

Meski guru memiliki peran yang sangat berjasa, penghargaan terhadap profesi ini sering kali tidak diimbangi dengan kesejahteraan finansial. Banyak guru, terutama di daerah terpencil atau yang berstatus honorer, menghadapi kekurangan ekonomi yang tidak sepadan dengan jasanya. Alih-alih berdaya dan sejahtera, para guru makin lama malah makin terdesak oleh kondisi yang ada.

Mereka berdiri di garis depan pendidikan, tetapi sering kali terabaikan dalam sistem yang seharusnya mendukung mereka. Bagi sebagian besar guru honorer, panggilan untuk mengabdi tak jarang diiringi dengan realitas yang pahit. Dengan gaji yang hanya ratusan ribu rupiah per bulan jauh di bawah standar kelayakan hidup mereka tetap melangkah ke ruang kelas untuk mendidik generasi penerus bangsa.

Menurut data dari lowongan kerja Jobstreet pada Oktober 2023, Indonesia berada di peringkat ke-5 negara ASEAN dalam hal gaji guru, yaitu sekitar Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun, itu pun jika guru tersebut berstatus ASN dengan golongan yang sudah tinggi. Untuk guru honorer, tentu jumlahnya jauh lebih memprihatinkan. Sedangkan di antara negara-negara anggota G20, Indonesia menduduki posisi paling bawah dalam hal gaji guru.

Bagaimanapun, guru adalah korban sistem rusak kapitalisme. Profesi mereka tidak sebombastis slogan-slogan dunia pendidikan. Gaji mereka minim, kesejahteraan tidak terjamin seutuhnya, belum lagi nasib guru honorer masih belum mengalami perbaikan signifikan. Kondisi ini makin buruk dengan adanya ancaman kriminalisasi dari para orang tua murid.

Tidak sedikit para guru yang terjerat pinjol. Menurut survei yang dilakukan NoLimit Indonesia pada 2021, sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru. Sedangkan urutan kedua pemakai pinjol terbanyak adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 21%. Yang ketiga adalah ibu rumah tangga, yakni sebesar 18%.

Realitas miris lainnya, guru akhirnya menjadi profesi marjinal. Para lulusan pendidikan tinggi yang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai bidang keilmuannya, biasanya mengambil jalan pintas dengan menjadi guru semata agar mereka tidak tuna karya.

Baca Juga :  Hadapi Ancaman Bencana, Butuh Solusi Nyata

Strategis, tetapi Dilematis

Guru memang berkontribusi langsung dalam memberikan akses pendidikan berkualitas. Guru juga menjadi sumber pengetahuan utama bagi anak didik, baik melalui kegiatan pembelajaran di kelas maupun program edukatif lain di luar kelas.

Hanya saja, di tengah kompleksitas penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, tentunya guru tidak mungkin berjuang sendiri. Sebabnya, tugas guru tidak terlepas dari rangkaian kebijakan pendidikan dan nonpendidikan yang saling terkait dan bersifat sistemis.

Guru memang memiliki peran strategis, tetapi realitas di lapangan tidak seindah slogan yang terlontar. Jasa-jasa para guru seolah-olah hanya diingat saat seremonial Hari Guru.

Sejatinya di antara target besar pendidikan, tersimpan banyak faktor seputar keterbatasan fasilitas dan sumber daya yang menjadi kendala bagi guru dalam mencerdaskan para peserta didik. Minimnya infrastruktur pendidikan dalam gurita komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan, menjadikan posisi guru terjepit oleh tarik ulur kebijakan yang cenderung menonjolkan ego sektoral dan beragam kepentingan.

Demikian pula arus deras moderasi beragama menyulitkan guru dalam merealisasikan visi pendidikan kepada para peserta didik. Moderasi beragama justru mendistorsi peran hakiki pendidikan untuk menghasilkan generasi berkualitas. Standar benar dan salah menjadi abu-abu. Dengan kata lain, moderasi beragama adalah mekanisme mutakhir untuk melakukan sekularisasi kepada para peserta didik secara sistemis.

Belum lagi dengan Kurikulum Merdeka yang membuyarkan arah bahkan mengamputasi ruh pendidikan. Teknologi digital yang konon menjadi instrumen penting dalam Kurikulum Merdeka justru menjadi pisau yang mematikan motivasi belajar. Alih-alih para guru sempat membangkitkan karakter dan budi pekerti luhur para muridnya, yang terjadi malah murid-murid makin pragmatis, berpola pikir instan, dan liberal.

Posisi Guru dalam Islam

Islam benar-benar mewujudkan guru sebagai sosok yang “digugu” dan “ditiru”. Hal ini terkait erat dengan posisi Islam sebagai mabda‘ (ideologi). Masa keemasan peradaban manusia terjadi saat ideologi Islam memimpin dunia dengan penerapan aturan Islam kafah di dalam sistem kehidupan, termasuk pendidikan. Untuk mengembalikan masa keemasan itu, penyelenggaraan sistem pendidikan harus berlandaskan akidah Islam serta terintegrasi dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya yang bersumber dari syariat Islam.

Guru mengemban amanah agung. Guru adalah cahaya di tengah gelapnya kehidupan ketika tanpa ilmu. Rasulullah SAW adalah seorang guru. Allah Taala berfirman, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 151).

Guru adalah pewaris dakwah para Nabi, serta pembina dan pencetak generasi masa depan yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan dan perilaku anak-anak didiknya, bahkan kecenderungan dan aspirasi mereka. Imam Al-Ghazali memuliakan profesi guru. Beliau mengatakan, “Siapa saja yang berilmu dan mengajarkannya, maka ia disebut ‘orang besar’ di segenap penjuru langit.”

Menjadi seorang guru sesuai tuntunan Islam adalah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah, malaikat serta penghuni langit dan bumi sampai-sampai semut yang berada di sarangnya dan juga ikan senantiasa memintakan rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR Tirmidzi).

Juga dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud ra, “Tidak ada hasad (iri) yang dibenarkan kecuali terhadap dua orang, yaitu terhadap orang yang Allah berikan harta, ia menghabiskannya dalam kebaikan dan terhadap orang yang Allah berikan ilmu, ia memutuskan dengan ilmu itu dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR Muslim).

Baca Juga :  WHEN EVER IT ISLAM

Di antara peran yang paling penting dari seorang guru adalah membentuk kepribadian muridnya. Oleh sebab itu, wajib bagi guru untuk menjadi teladan yang baik bagi muridnya. Teladan yang baik adalah salah satu cara yang paling jitu dalam pembentukan kepribadian murid.

Guru wajib mengajarkan metode berfikir yang benar dan tidak rida terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Sebaliknya, ia senantiasa meninggikan kebenaran, juga tidak zalim dan munafik. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.” (HR Muslim).

Mencermati aspek strategis peran guru, jelas problematik guru maupun dunia pendidikan secara umum harus menjadi tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan sistem pendidikan sahih secara sistemis. Peran guru juga harus memperoleh sinergi dari orang tua murid, sekolah, masyarakat, dan negara. Hal ini penting agar guru tidak berjuang sendirian saat melakukan aktivitas pendidikan dan pembelajaran sebagaimana dalam sistem sekuler demokrasi saat ini.

Negara juga harus memosisikan pendidikan sebagai bagian dari realisasi kewajiban menuntut ilmu sekaligus tanggung jawab sistemis dalam rangka mengurusi urusan umat. Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Juga dalam hadis, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Demikian halnya firman Allah Taala, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).

Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, negara Islam (Khilafah) dalam sejarah emasnya mencatatkan penghargaan yang sangat tinggi pada profesi guru. Khilafah menerapkan sistem politik yang menempatkan pendidikan sebagai sektor publik. Khilafah juga menerapkan sistem ekonomi Islam dengan pengelolaan harta berbasis baitulmal untuk mendukung kesejahteraan para guru.

Jaminan negara ini bersifat langsung. Maksudnya, hak ini diperoleh secara cuma-cuma atau berbiaya semurah-murahnya sebagai hak rakyat atas negara. Pembiayaan seluruh unsur pendidikan di berbagai jenjang (dasar, menengah, tinggi), baik yang menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.

Sejarah mencatat, gaji guru pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. sekitar 4-15 dinar per bulan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar. Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun.

Dengan demikian, betapa berat tugas guru dalam mendidik murid-muridnya yang akan meneruskan pembangunan peradaban di masa depan. Namun, dalam Khilafah, tugas berat itu diberi penghargaan sepadan yang salah satunya tampak dari tingginya gaji guru pada masa itu. Guru pun bisa fokus mengajar, mengembangkan ilmu, dan tidak perlu terbebani dengan biaya operasional atau tekanan ekonomi, apalagi sampai terlibat pinjol. Untuk itu, hanya dengan Islam visi untuk mewujudkan guru yang berdaya itu bukanlah cita-cita hampa, insyaallah. Wallahualam bissawab.

Iklan
Iklan