Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pariwisata Halal, Solusikan untuk Penyelamatan Ekonomi?

×

Pariwisata Halal, Solusikan untuk Penyelamatan Ekonomi?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Kayyis Ummu Maryam
Pemerhati Sosial Ekonomi

Indonesia meraih Top Muslim Friendly Destination of the Year 2023 dengan julukan “surga wisata halal dunia” dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno dalam keterangan resminya mengatakan merupakan suatu capaian luar biasa karena Indonesia berada di peringkat keempat pada 2021 dan kedua pada 2022. (Katadata, 3-6-2023).

Baca Koran

Posisi Indonesia memang cukup strategis di kawasan Asia Tenggara maupun Indo-Pasifik. Pascapandemi, kawasan Indo-Pasifik adalah kawasan yang paling cepat pemulihan ekonominya di dunia serta menyimpan potensi besar bagi perputaran ekonomi internasional.

Sektor pariwisata menjadi sektor andalan dalam pemulihan ekonomi Indonesia. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga menargetkan sebanyak 400 ribu lapangan kerja baru tercipta di sektor pariwisata. (Jawapos, 20/1/2022). Maka wajar sebagai konsekuensinya, dengan alasan menstimulus ekonomi, kucuran dana APBN semakin deras pada sektor ini. Berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali pariwisata guna menopang pertumbuhan ekonomi, pasca dihantam pandemi. Termasuk pembangunan wisata halal yang hari ini menjadi destinasi yang paling dicari, mengingat Indonesia sebagai negeri yang penduduknya mayoritas muslim dan menjadi kiblat wisata halal dunia.

Namun, di bawah pengaruh kuat kapitalisme yang hari ini mencengkram, wisata halal hakikatnya sangat jauh dari sarana tadabur alam. Realitasnya, sektor pariwisata secara umum selama ini justru menjadi wahana melegalkan beragam unsur liberalisasi, yakni gaya hidup bebas dan kebebasan ini sendiri sejatinya adalah produk ideologi kapitalisme yang merupakan salah satu pilar bagi sistem demokrasi.

Label “halal” yang diusung di sektor pariwisata nasional justru tidak berbeda dengan label “syariah” pada bank syariah, sukuk syariah, ataupun asuransi syariah. Bagaimanapun, semuanya adalah instrumen ekonomi kapitalisme. Sehingga, label “halal” tersebut pun tidak lebih dari sekadar penarik pasar warga muslim, mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Selain melenceng dari tadabur alam, sejauh ini, potensi pariwisata dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pemasukan utama APBN selain pajak. Maka tidak heran, setiap pertemuan internasional, pemerintah selalu menarget secara serius jumlah wisatawan asing yang bisa masuk karena mereka adalah sumber devisa. Berbagai kebijakan bahkan dileluasakan pada masa pandemik yang lalu, meski harusnya negara kita melakukan pembatasan maupun penguncian (lockdown) terhadap keluar masuknya warga dari luar negeri.

Baca Juga :  Saatnya Bijak dalam Mengulurkan Tangan

Mengutip siaran pers Kemenko Perekonomian (27-9-2021), melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pada 2021, pemerintah mengalokasikan dana hingga Rp7,67 triliun untuk mendukung pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional dan pelatihan SDM pariwisata.

Dukungan besar pemerintah terhadap pariwisata—khususnya wisata halal—tidak bisa dikatakan kebijakan yang tepat sasaran, karena kita tidak bisa menutup mata bahwa sektor pariwisata hanya bagian reremahan dibandingkan bongkahan kekayaan SDA negeri ini.

Gelontoran dana fantastis untuk pariwisata jelas kebijakan alpa, pada saat yang sama, banyak kebijakan lain yang melegalkan asing, aseng, maupun jejaring swasta oligarki nasional untuk meliberalisasi SDA Indonesia. Sungguh miris kondisi ini. Sistem ekonomi kapitalisme yang tegak di negeri ini telah memuluskan jalan bagi kaum korporat untuk merampok SDA seolah tanpa menyisakan sedikit pun, atau kalaupun ada hanya reremahannya saja bagi ratusan juta rakyat yang membutuhkannya.

Separuh aset nasional dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. Dalam laporan 2019, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. TNP2K juga menyatakan, meski tingkat kemiskinan bisa ditekan sejak 2015, tetapi kesenjangan sosial nasional masih menjadi tugas besar yang belum terselesaikan. Bahkan Indonesia menjadi negara tertimpang keempat di dunia, di bawah Rusia, India, dan Thailand. Ketimpangan tersebut terjadi pada akses kebutuhan dasar, selain sekolah, sanitasi, kesehatan, listrik, air bersih, serta lapangan pekerjaan. Lihat, pantaskah ketimpangan yang demikian terjadi di negeri yang dikatakan “potongan Surga yang jatuh ke Bumi”?

Jelas biang kerok bagi kisruhnya perekonomian Indonesia hari ini adalah penerapan ekonomi kapitalistik yang menyengsarakan. Sistem ekonomi kapitalisme memberi peluang besar hanya kepada para Kapital, yang berkuasa dan memiliki modal besar untuk memperoleh kekayaan, mengusahakannya, dan mengelolanya dengan cara sesukanya. Inilah yang sangat berbahaya karena akan memunculkan gejolak dan kekacauan, serta mengakibatkan keburukan dan kerusakan.

Baca Juga :  KINERJA LEGISLATID DI DAERAH

Cara sesukanya ini meniscayakan kekayaan/harta yang ada akan dimonopoli oleh orang-orang kuat—yang juga rakus—sehingga orang-orang yang lemah akan terhalang untuk memperoleh harta tersebut. Dan parahnya, cara “sesukanya” ini legal, bahkan dipayungi undang-undang dan lazim terjadi dalam ekonomi kapitalisme. Tidak heran jika harta yang ada di tengah masyarakat hanya dikuasai oleh orang-orang kuat yang dalam hal ini adalah orang-orang kaya sekaligus kapitalis besar.

Semua itu sangat berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh sistem Islam (Khilafah). Dimana negara memiliki peranan penting mengelola ekonomi negara berdasarkan pembagian jenis kepemilikan, yakni individu, umum, dan negara.

Negara melindungi kepemilikan individu dari upaya perampasan oleh pihak lain, seperti penipuan, pencurian, dan perampokan. Negara juga menjamin terlaksananya distribusi harta di kalangan individu secara adil sehingga kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) masing-masing individu bisa terpenuhi.

Pada saat yang sama, Negara menggunakan standar syara’ untuk mengklasifikasi jenis-jenis harta kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki individu dan negara. Demikian juga ketika mengklasifikasi jenis-jenis harta milik negara yang tidak boleh bercampur dengan harta kepemilikan individu maupun umum.

Namun di sisi lain, Negara memegang peran utama untuk mengelola harta milik umum agar bisa digunakan demi kemaslahatan masyarakat luas. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yaitu air, padang (rumput), dan api.” (HR Abu Dawud).

Karena SDA termasuk di dalam pembahasan hadits ini, maka SDA adalah milik umum kaum muslimin, tidak layak dimiliki oleh individu tertentu, apalagi secara rakus sebagaimana para kapitalis itu. Wallahualam bissawab

Iklan
Iklan